Umurnya tak lagi muda, kini 400-an tahun. Namun, pohon cengkih afo 3 masih tegak berdiri di Airtege-tege, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Diameter afo 3 mencapai dua pelukan orang dewasa. Dalam bahasa setempat afo berarti yang paling tua. Kini cengkih itu memang yang tertua di planet Bumi. Cabang dan ranting pohon anggota famili Myrtaceae itu menjulur ke berbagai arah.
Berjalan menanjak dari lokasi afo 3 selama 20 menit, tampak cengkih afo 2 yang menanti dentang lonceng kematian. Pohon yang melintasi abad itu hanya menyisakan sebuah cabang yang hidup. Cabang dan ranting lain tumbang atau mengering. Peneliti Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan di Ternate, Maluku Utara, Ramli Lanandi, mengatakan kondisi afo 2 semakin memburuk sejak 2007.
Banyak pengunjung yang membuat coretan atau melukai batang sehingga mempercepat proses kematian. Ia ingat pada 1980-an mantan Menteri Pertanian Thoyib Hadiwidjaja memberikan 1 ton pupuk kandang untuk pohon itu. Ramli turut serta menuangkan dan meratakan pupuk di bawah kanopi pohon. Ia mengisahkan produksi afo 2 mencapai 1 ton per sekali panen. Para pemanen membawa bekal makan siang dan minuman sebelum naik.
Harap mafhum, panen bisa berlangsung seharian atau beberapa hari. Dengan demikian mereka tak perlu naik-turun hanya untuk makan. Afo 3, afo 2, dan afo 1 pohon cengkih bersejarah yang hidup sejak zaman kolonialisme Belanda. Trubus melacak afo 1 dengan mendaki punggung Gunung Gamalama—dalam bahasa setempat berasal dari kata Kie Gam Lamo berarti negeri yang besar.
Perjalanan mendaki relatif sulit menerobos hutan cengkih dan pala. Ramli Lanandi menjadi penunjuk jalan. Sementara dua rekannya, Bahrudin Sarbin dan Muhammad Syamlan Latuwale, berhenti di tengah perjalanan. Mereka memilih mengaso ketimbang menempuh perjalanan mendaki untuk melihat afo 1. Ramli berjalan cepat meski medan menanjak. Kerap kali ia berteriak memberi kode untuk memastikan Trubus tidak tersesat. Sebab, jarak kami berjauhan.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Ramli berhenti di sebuah pokok cengkih. Diameter pohon sepelukannya. Dengan napas tersengal-sengal, ia berujar, “Di sini bekas pohon afo 1.” Tangan kanannya menunjuk lokasi yang kini tertutup serasah. Ia beberapa kali mengunjungi lokasi itu sehingga hafal benar tempat tumbuh afo 1. Di antara tiga pohon cengkih bersejarah itu kini tersisa satu pokok, yakni afo 3.
Untunglah pemerintah telah memperbanyak afo 2 dan afo 3 ketika pohon itu masih segar-bugar. Pemerintah memang merilis keduanya sebagai varietas unggul. Cengkih—juga pala—menjadi komoditas penting bagi peradaban manusia. Ketika kulkas belum ditemukan, cengkih berperan penting mengawetkan daging pada musim dingin bagi masyarakat Barat. Mereka memotong sapi saat musim beku untuk mengurangi pakan yang keberadaannya terbatas.
Sayangnya, daging juga tak tahan simpan sehingga cepat membusuk. Bunga cengkih Syzygium aromaticum mengandung eugenol yang bersifat antibakteri. Peran itulah yang dimanfaatkan untuk mengawetkan daging. Lima ratus tahun lalu—sejak Portugis menjangkau Maluku pada 1512—Barat berebut rempah-rempah, cengkih dan pala.
Mereka membangun benteng untuk mengamankan perniagaan komoditas mahapenting ketika itu.
Pada 1660 Belanda yang menguasai New Amsterdam menukar guling dengan Inggris yang menguasai Pulau Run, Maluku Tengah, yang kaya rempah. Inggis mengubah New Amsterdam menjadi New York— kini negara bagian Amerika Serikat yang gemerlap. Kini Pulau Run sepanjang 3 km di Kabupaten Maluku Tengah senyap. Sejarah mencatat arti penting rempah-rempah dalam peradaban (baca: Rempah Sebagai Kunci Sejarah halaman 94—95).
Itulah yang mendorong Dewan Rempah Indonesia ingin mengembalikan kejayaan rempah-rempah di negeri ini. Caranya antara lain, meningkatkan kualitas pala dan cengkih serta membuka pemasaran seluas-luasnya. Lembaga itu menyelenggarakan pelatihan budidaya hingga pascapanen bagi para pekebun. Dewan Rempah Indonesia cabang Maluku, menjembatani pemerintah, pelaku usaha, dan para pekebun rempah.
Ketua Dewan Rempah Indonesia cabang Maluku (DRM), Dr Ir Gun Mardiatmoko MP, mengatakan, “Kami ingin mencapai kesejahteraan bagi petani dan para pelaku bisnis rempah.” Gun menyatakan lembaga yang berdiri pada 31 Agustus 2012 itu ingin melestarikan budidaya rempah, meningkatkan industri pengolahan, dan mendorong pola kemitraan. Gun memiliki optimisme bahwa rempah-rempah kembali berjaya.
Salah satu jalan menuju cita-cita itu adalah pengembangan cengkih di segitiga emas seluas 1.500 ha. Dari luasan itu sekitar 600 ha di antaranya produktif. Lokasi budidaya di Kabupaten Halmahera Timur, Halmahera Barat, dan Halmahera Utara yang cocok untuk pengembangan cengkih. “Cengkih terbukti bisa menghidupi beberapa generasi sekaligus. Kenapa tidak kita kembangkan?” ujar warga Ternate, Provinsi Maluku Utara, Yaman S Latif.
Pendapat Latif merujuk pada cengkih afo yang mampu bertahan hingga ratusan tahun. Dengan demikian pohon tetap dapat diwariskan utuk generasi-generasi berikutnya. Jika rata-rata umur manusia 63 tahun, maka pohon cengkih dapat diwariskan untuk lima generasi. Itulah sebabnya banyak daerah terutama di Provinsi Maluku dan Maluku Utara mengembangkan cengkih.
Meski demikian pengembangan cengkih yang dahulu bunganya untuk pengharum mulut sebelum menghadap raja itu menghadapi banyak kendala. Husein Rehalat dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan menyatakan hambatan pengembangan cengkih di segitiga emas antara lain produktivitas rendah. Husein mengatakan para petani tak pernah memupuk tanaman kerabat jambu air itu.
Mereka beranggapan pemberian pupuk memicu kematian pohon. Akibatnya produktivitas rendah. Menurut Husein produktivitas cengkih hanya 15 kg kering per pohon umur 5 tahun. Padahal, idealnya petani mampu memetik hingga 70 kg kering. Satu kilogram bunga cengkih kering berasal dari 4—5 kg segar. Itulah sebabnya penyuluhan menjadi solusi untuk mengubah pola pikir petani.
Hambatan lain adalah petani pada umumnya beranggapan semakin banyak pohon kian banyak produksi. Celakanya lahan mereka terbatas, rata-rata 3—4 ha per petani. Akibat pola pikir itu mereka menanam bibit cengkih berjarak 6 m x 6 m, idealnya 10 m x 10 m. Pola tanam rapat pada akhirnya berdampak buruk antara lain memicu serangan penyakit.
Selain itu ketersediaan tenaga kerja saat musim panen juga terbatas. Para petani di Halmahera lazimnya menggunakan jasa pemetik bunga cengkih dari Sulawesi Utara yang berpengalaman. Para pemetik berdatangan ketika musim berbunga tiba. Meski demikian jumlahnya tak mencukupi kebutuhan. Akibat keterbatasan tenaga kerja, maka bunga berubah menjadi polong atau buah.
Sayangnya, polong tak laku di pasaran. Polong berguna untuk perbanyakan generatif. Menurut Sugiyono dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan bunga cengkih berubah menjadi polong setelah 14 hari. Rekan Sugiyono, Roby Lekahena SP menyatakan untuk mengembalikan kejayaan rempah sebaiknya dibentuk Dinas Perkebunan secara mandiri. Selama ini Dinas Perkebunan bergabung dengan Dinas Pertanian.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara, Muhlas Marsaoly, SP, MSi, memiliki tekad yang sama, mengembalikan kejayaan rempah. “Jangan sampai rempah hanya menjadi catatan sejarah bagi cucu kita. Sudah saatnya kita kembalikan kejayaan rempah-rempah,” kata Muhlas Marsaoly. Alumnus Universitas Khairun, Kota Ternate, itu membuat dua kebijakan, yakni rehabilitasi dan penanaman baru.
Rehabilitasi atau peremajaan khusus untuk pohon-pohon tua di sentra pala Gurabunga, Kota Tidore Kepulauan. Di sentra Gurabunga rata-rata pohon pala berukuran besar. Trubus yang menelusuri Gurabunga setelah menempuh perjalanan panjang Jakarta—Ambon—Ternate—Tidore. Di sentra itu tumbuh pohon-pohon pala sepelukan atau dua pelukan orang dewasa. Menurut Marsaoly itu adalah pala warisan orang tua.
“Apa yang akan kita wariskan untuk generasi berikutnya? Itulah sebabnya kami juga menanam pala,” kata Marsaoly. Kebijakan peremajaan berpusat di empat kecamatan, seperti Dukiri dan Afa-afa. Sementara itu penanaman baru di empat kecamatan lain, yakni Oba, Oba Tengah, Oba Selatan, dan Oba Utara. Pada September 2015 ia baru saja mengirimkan 15.000 bibit ke Oba Tengah. Petani memperoleh bibit gratis.
Marsaoly mengatakan, “Untuk peremajaan dan pengembangan, kami mensyaratkan asal bibit harus jelas, bukan asalan, dan bibit asal penangkar bersertifikat. Bibit asalan hanya menghasilkan produksi rendah,” kata Marsaoly. Pemerintah merekomendasikan varietas tidore 1. Periset di Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan, Charlota J Risamena, mengatakan Maluku dan Maluku Utara menyimpan keragaman plasma nutfah pala. Sekadar menyebut beberapa ada pala makian, pala berbiji ganda, dan pala banga.
Selain itu Marsaoly juga memanfaatkan bibit pala atau cengkih untuk reboisiasi atau penanganan lahan kristis. “Daripada menanam pohon lain, lebih baik tanam cengkih atau pala. Jika orang menanm pohon kayu, sekali tebang habis. Jika menanam pala orang tak akan menebang, akan mengambil buahnya,” ujar Muhlas. Bagi para pemilik pohon, pala tak ubahnya tabungan yang menjanjikan laba besar.
Lihatlah Muhammad Habib yang mengelola 200 pohon pala warisan ayahnya. Pada September 2015 anak kedua dari enam bersaudara itu memetik 160 kg pala dari 20 pohon. Ia menjual Rp110.000 per kg sehingga omzetnya Rp17-juta. Jangan lupa, pria kelahiran 11 Januari 1961 itu juga memperoleh 10 kg fuli—lapisan berwarna merah yang menyelubungi biji pala. Saat itu harga jual fuli Rp137.000 per kg. Habib mengatakan, tak pernah memberikan pupuk untuk pohon-pohon pala warisan itu.
Warga Desa Seith, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, juga gencar mengebunkan pala. “Setiap hari selalu ada penanaman. Mereka memanfaatkan pegunungan Seith. Di sana ada kavling penanaman untuk masing-masing marga,“ ujar Rony Pattiasina. Sayangnya, para petani hanya memanafaatkan biji dan fuli, sedangkan kulit buah terbuang. Beby Lekahena memanfaatkan peluang itu.
Ibu tiga anak di Urimessing, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku, itu mengolah 100 kulit buah pala menjadi manisan dan anggur per pekan. Para pembeli datang langsung ke kediaman Beby. Itulah sebabnya Beby tak sempat membawa manisan dan anggur pala keluar rumahnya. Selain untuk memasok pasar domestik, pala dan cengkih juga mengalir ke mancanegara.
PT Ollop di Hila, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, rutin mengekspor biji buah Myristica fragrans ke Belanda. Setiap bulan perusahaan yang berdiri pada 2006 itu mengirimkan 10—13 ton biji pala dan 5 ton fuli. Pengelola PT Ollop, Abdul Gani Ollong, mengatakan bahwa keberlangsungan ekspor karena bermitra dengan 400 pekebun di Hila dan 200 petani di Kaitetu—keduanya di Kabupaten Maluku Tengah.
Para pelaku bisnis pala optimis bahwa rempah kembali berjaya. Penanaman, rehabilitasi, dan penemuan varietas baru hanya sebagian cara untuk mewujudkan impian itu. Dengan demikian rempah-rempah seperti pala dan cengkih tetap terjaga. “Jangan sampai pala dan cengkih itu hilang sehingga kita hanya menceritakan kepada anak cucu kita. Ketika mereka bertanya, “Pohon pala itu yang mana? kita hanya bisa menunjuk gambar karena pohonnya sudah habis,” ujar Marsaoly. (Sardi Duryatmo)