Mobil pick up bakal mengangkut 4,5 ton sayuran per musim panen dengan jarak tempuh lebih dari 50 km, Lembang-Caringin.
Sayuran yang semula segar, jadi tampak layu setelah sampai tujuan, tutur pria kelahiran Bandung itu. Daun sobek karena benturan, terinjak, dan gesekan dengan benda keras menjadi risiko lain yang sulit dihindari. Harga pun anjlok, bila normalnya bayam segar laku Rp500 menjadi Rp250 per ikat. Apalagi saat pasokan melimpah, kemungkinan busuk meningkat hingga 50% karena lambat terjual.
Saat itulah ide mengeringkan bayam hadir. Rupanya upaya itu ibarat peribahasa; sekali dayung dua pulau terlampaui. Dengan pengeringan, harga jual lebih tinggi dan lebih awet, ujar pria kelahiran Bandung itu. Ia tak lagi khawatir saat pasokan melimpah dan harga merosot.
Sebenarnya kebiasaan menjemur sayuran itu telah lama. Awal abad ke-20, kaum wanita Samsui-kelompok pekerja keras dari Kwangtung, Cina, yang berimigrasi ke Singapura-telah mengeringkan wortel, sawi, selada, bayam, seledri, kemangi, dan buncis. Meski secara tradisional alias pengeringan di bawah terik mentari, mereka sukses mengawetkan sayuran hingga musim panen berikutnya tiba. Kini cai po-sebutan sayuran kering di Singapura-menjadi ciri khas yang melegenda dari kaum imigran itu.
Namun, pengeringan konvensional sangat tergantung pada cahaya matahari dan memakan waktu berhari-hari. Saat musim kemarau, jumlah hari panas-hari yang bersuhu 30oC-efektif hanya 90 hari dari total 180 hari. Apalagi pada musim hujan, hari panas hanya terjadi kira-kira 10 hari.
Demi menepis ketergantungan pada kebijakan alam itu, Aslim Syarbini, produsen alat dan mesin pertanian di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, merakit alat pengering sayuran sederhana. Pria berkulit gelap itu prihatin ketika menjumpai di belakang rumah kerap ada onggokan sayuran yang membusuk. Sejak setahun silam, ayah 3 putra itu bertekad menciptakan vacuum drying. Kini, bayam, selada, seledri, cabai, kentang, dan lain-lain bisa kering dalam 1 jam.
Selain untuk sayuran alat itu kerap digunakan untuk membuat keripik buah, seperti nangka, durian, mangga, salak, pisang, dan apel. Sang alat pun mahir mengeringkan bahan jamu-jamuan seperti jahe, kunyit, temulawak, sampai buah mahkota dewa. Bila kondisi cuaca tidak mendukung, alat tetap dapat difungsikan.
Praktis
Alat pengering ciptaan Aslim dirakit dari beberapa komponen yang terbuat dari besi. Kontrol panel sebagai tombol untuk mengaktifkan alat, pengatur suhu, dan waktu. Bagian utama berupa tabung pemanas berukuran panjang 125 cm dengan diameter 100 cm. Tabung akan berfungsi sebagai pemanas saat tombol ditekan. Mesin dilengkapi alat sentrifugal, bak berkapasitas 60 l minyak goreng (untuk keripik), dan sirkulator air untuk pengatur suhu.
Di bagian atas terdapat exhaust tempat mengeluarkan uap panas bahan yang dikeringkan. Keseluruhan alat berukuran 150 cm x 120 cm x 135 cm, tergolong sedang, sehingga tidak menyita tempat untuk menyimpannya.
Sebelum dioperasikan, alat mesti distel sesuai dengan jumlah sayuran dalam kilogram yang akan dikeringkan, kata Aslim. Alarm akan berbunyi pada waktu yang telah ditentukan. Itulah kepraktisan sang alat, tanpa ditunggui bisa bekerja sendiri.
Alat itu sesuai untuk skala industri kecil hingga menengah. Dengan kapasitas 7 kg/jam bisa didapatkan sayuran kering 56 kg/hari. Satu kg sayuran kering diperolah dari 20 kg sayuran segar. Sang alat istimewa lantaran hemat waktu dan tidak mengubah rasa asli bahan yang dikeringkan. Alat ini mampu menurunkan kadar air hingga 5%, ujar pria kelahiran Aceh itu.
Pantas jika daya tahan produk kering mencapai 3 bulan hingga setahun. Di pasar harga bayam, selada, wortel, dan seledri kering mencapai rata-rata Rp75.000-Rp100.000 per kilo. Keistimewaan lain, produk yang dikeringkan dengan alat itu jika direndam ke dalam air selama 5 menit, bakal kembali ke bentuk asli.
Diiris-iris
Sebelum dikeringkan, sayuran segar dibersihkan dari kotoran, diiris-iris, dan dicuci. Setelah itu bahan dapat dimasukkan ke dalam tabung. Pintu ditutup untuk menjaga udara di dalam alat mendekati hampa.
Uap yang tercipta akan keluar melalui cerobong di bagian atas hingga sayuran kering merata. Pengatur waktu akan mematikan mesin dan sayuran kering dapat dikeluarkan. Produk itu dapat dijual sebagai sayuran kering atau diolah lagi menjadi sayuran bubuk alias gochugaru.
Serapan pasar produk itu terbentang dari pasar swalayan, rumah-rumah makan, maupun restoran. Dari hasil lacakan Trubus, rata-rata mal-mal di Jakarta seperti Mal Kelapagading, Mal Pondok Indah, dan Sogo melayangkan permintaan sayuran kering 80.000 kg/hari. Industri mi instan pun siap menampung pasokan sayuran kering.
Menurut Ir Himawan Adinegoro, MSc dari Direktorat Pengkajian Industri Pengolahan dan Rekayasa, BPPT, Jakarta, pengeringan sayuran salah satu langkah perluasan usaha. Itu karena selain bisa diserap perusahaan pangan dalam negeri, juga komoditas ekspor unggulan yang masih terbuka pasarnya.
Perawatan tergolong mudah. Sebulan sekali minyak goreng dalam bak penggorengan yang berkapasitas 60 l diganti. Bersihkan dengan kain lap basah, mesin berbahan bakar solar itu pun siap untuk kembali beroperasi.
Secara ekonomi mesin itu layak usaha dan menguntungkan. Kemampuannya memproduksi sayuran kering mencapai 56 kg/hari. Dengan harga Rp75.000/kg, keuntungan jutaan rupiah pun bisa dikantongi. Harga Rp35-juta untuk mesin pengering yang bisa dioperasikan selama puluhan tahun tergolong setimpal. Sebab pengering sayuran itu pantas menjadi solusi bila bakteri penyebab busuk menyergap sayuran dalam pengangkutan. (Hanni Sofia)