Suara di ujung telepon memintanya meninjau kebun vanili di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Beberapa menit berselang, sebuah pesan singkat muncul di layar. Kali ini dari seorang pekebun di Denpasar, Bali, yang menghendaki kedatangannya. Siang itu ia baru saja kembali dari Bolaangmongondouw, Sulawesi Utara, atas undangan seorang pengusaha vanili di sana.
Bandara Adisucipto Yogyakarta menjadi saksi bisu tingginya mobilitas pria kelahiran Wonosobo 56 tahun silam itu. Undangan bertubi-tubi dari berbagai kalangan memaksanya berada di dalam perut pesawat hampir setiap hari. Dengan burung besi itu Bambangmelanglangbuana dari satu daerah ke daerah lain.
Saat Trubus berkunjung ke rumahnya di penghujung April 2004, ia sedang mempersiapkan perjalanan panjang. Rute direncanakan meliputi Denpasar, Lombok, Kupang, Sumba, Makassar, dan Ternate. Di sana pekebun-pekebun vanili menanti wejangan Bambang. Wawancara Trubus pun terpaksa dilakukan di atas Colt L-300 milik Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Siang itu guru besar bidang Epidemiologi Penyakit Tumbuhan itu harus mendampingi tamunya, Drs Andi Harta Sanjaya, Bupati Soppeng, Sulawesi Selatan, yang berkunjung ke berbagai tempat di Yogyakarta.
Tidak berlebihan jika banyak pekebun mengharap Bambang meninjau lokasi kebun. Doktor dari ENSA de Montpellier—sebuah universitas ternama di Perancis—inilah yang membidani kelahiran bibit vanili tahan penyakit busuk batang (BBP). Berkat tangan dingin Bambang, momok yang menghancurkan pertanaman vanili di seluruh Indonesia itu bukan lagi sesuatu yang menakutkan.
Belajar dari tomat
Menghasilkan tanaman sehat memang obsesinya sejak lama. “Sejak 1960-an, saya melihat banyak vanili rakyat mati karena busuk batang,” tuturnya. Itu membawanya pada bidang Epidemiologi Penyakit Tumbuhan kala melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian UGM. Obsesi menghasilkan vanili bebas busuk batang dibawa pula saat mengambil gelar master dan doktor di Ensa de Montpellier pada 1983—1987 di Perancis. Sayangnya, keinginan mendalami vanili mesti dibuang jauh-jauh lantaran obyek penelitian itu tak tersedia di sana.
Ia tak hilang akal. Vanili diganti dengan tomat yang juga rawan fusarium—penyebab BBP. “Yang penting metode penelitian dan penyakit yang dipelajari tak berbeda,” ujar ayah 2 putra itu. Pilihan itu didukung 3 profesor yang membimbingnya.
Jadilah hari-hari Bambang dihabiskan di laboratorium. Yang dipelajari cara mendapatkan autovaksin—diisolasi dari cendawan yang dilemahkan dengan teknik khusus. Nantinya autovaksin dimasukkan pada bahan tanaman dari induk sehat agar dihasilkan bibit tahan penyakit.
Empat tahun “mengurung diri” di laboratorium, tak hanya gelar doktor diperoleh. Teknik mendapatkan autovaksin kini berada di genggaman. Tak ingin kehilangan momen, ilmu itu langsung diterapkan pada vanili begitu kembali ke kampus tercinta.
Asal biji
Sayang, perjalanan Bambang tak mulus. Setek yang tersedia tak bisa dipakai. Pasalnya, “Tanaman di lapangan semuanya sudah terkontaminasi penyakit,” papar mantan dekan Fakultas Pertanian UGM periode 1997—2000 itu.
Yang kemudian terlintas di benak adalah menghasilkan “kehidupan” dari tanaman baru yang benar-benar belum tercemar. Pilihan paling tepat adalah menyemai biji untuk menghasilkan bibit baru. “Bibit asal biji itu bagai bayi yang belum terkontaminasi penyakit lingkungan,” jelasnya.
Lagi-lagi batu sandungan menghadang. Vanili belum pernah diperbanyak dengan biji. Maka pria ramah itu kembali bergelut di laboratorium. Dari serangkaian penelitian selama 6 tahun, dari 1987—1993, ia menemukan cara terbaik, menyemai bibit dalam media agar.
Meski media yang tepat sudah didapat, kesabaran Bambang masih diuji. Dengan berdebar ia mengamati hari demi hari benih berkecambah dalam botol. Baru 36 bulan kemudian benih menjadi tanaman sehat siap diimunisasi. Masa 30 bulan dijalani di dalam botol—sejak benih hingga tanaman siap diaklimatisasi. Setelah itu tanaman masih harus ditumbuhkan di media tanah selama 6 bulan. Dari tanaman inilah setek-setek sehat diambil dan diinjeksi dengan autovaksin sebelum ditanam di lapang.
Modal 3 ayam
Keberhasilan menghasilkan bibit vanili sehat sepertinya sudah suratan takdir suami Diah Sugiartini itu. Ia sudah menjadi pekebun kerabat anggrek itu sejak 1963, kala masih ingusan.
Minat menekuni vanili muncul setelah melihat vanili mendapat perlakuan istimewa dari seorang cukong hasil bumi di Wonosobo—kota kelahirannya. Waktu itu sang cukong menjemur kelembak, kopi, dan vanili. Kopi dan kelembak dibiarkan, tetapi vanili dijaga terus. Malah, Bambang kecil yang masih usia sekolah dasar diusir ketika ingin melihat dari jarak dekat. Setelah ditelusuri, “Ternyata harga vanili memang jauh lebih mahal. Nilai 1 kg polong kering setara dengan 1 g emas pada waktu itu,” paparnya.
Tingginya harga vanili mendorong Bambang untuk mengebunkan. Hasil penjualan 3 ekor ayam digunakan sebagai modal membeli 300 setek dari Temanggung. Vanili ditanam di lahan 1.000 m2.
Kegigihan Bambang itu menyita perhatian pengepul. Dengan sukarela ia membimbing Bambang mengawinkan vanili—kunci budidaya. Jerih payah itu dibayar dengan panen perdana sebanyak 200-an kg basah. Bambang melompat kegirangan melihat ratusan ribu rupiah mengalir ke tabungan di kantor pos. Itu pembayaran dari pengepul yang mengambil semua hasil panen. Nilai yang luar biasa besar buat remaja tanggung waktu itu.
Pengalaman manis itulah yang membuat Bambang tak pernah meninggalkan vanili. Hampir seluruh hidupnya kini diabdikan untuk si emas hijau. Saat berada di rumah pun, vanili tetap mendapat perhatian utama. Begitu bangun di pagi hari, pria bersahaja itu langsung mengutak-atik deretan bibit dalam polibag yang memenuhi halaman rumah. Malam hari, saat penghuni rumah lain terlelap, ia masih asyik di laboratorium mini yang dibangun di halaman depan rumah. Bagi Bambang, vanili seakan istri kedua. (Fendy R Paimin)