Wednesday, January 22, 2025

Vanili: Sekilo 3-Juta

Rekomendasi
- Advertisement -

Di sisinya berdiri Borradapa berbekal busur dan anak panah di punggung. Ayah dan anak itu bukan siap berperang, tapi menjaga 200 batang vanili yang tengah berbuah di lahan 300 m2. Saat harga jual melambung, vanili menjadi tambang rupiah. Dengan modal Rp700.000 Fransiskus Badepa menangguk laba bersih Rp4,7- juta pada panen perdana.

Keuntungan tinggi itu diperoleh dari 30 tandan polong asal 60 batang Vanilla planifolia berumur 3 tahun. Total jenderal ia membudidayakan 200 setek yang ditanam 2 kali sejak November 2000. Saat ini 100 tanaman di antaranya sedang lebatlebatnya memamerkan polong.

Fransiskus terpaksa memanen polong muda berumur 5—6 bulan untuk menghindari pencurian. Saat panen perdana sebanyak 18 kg ia memperoleh pendapatan Rp5,4-juta. Penampung vanili dari Waykabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, hanya menghargai Rp300.000 per kg basah.

Angka itu dianggap memadai karena pengeluaran rutin selama 3 tahun pemeliharaan nyaris nol. Pupuk kandang didapat dari 12 ekor kerbau yang digembala. Gamal Glyricida sepium untuk panjatan vanili cukup ditebang dari hutan. Saat berbunga penyerbukan dilakukan sendiri. Praktis biaya produksi hanya pengadaan bibit berukuran 3 ruas seharga Rp3.500 per setek. Artinya total biaya yang dicemplungkan cuma Rp700.000. Dengan total pendapatan Rp5,4-juta diperoleh laba bersih Rp4,7-juta.

Andai pekebun di Desa Weerame, Kecamatan Wewewa Timur (baca: Wejeva, red), Sumba Barat, itu menjual kering, penghasilannya jauh lebih tinggi. Dari 18 kg basah dikeringkan menjadi 3,5 kg kering. Dengan hargaRp3-juta per kg, Fransiskus menuai laba bersih Rp9,8-juta. Lebih tinggi Rp5,1-juta daripada laba bersih menjual basah. Peningkatan pendapatan di atas kertas itu memang belum terwujud. Pria 60 tahun itu tidak paham mengeringkan vanili. Baginya menjual basah lebih cepat mendatangkan rupiah.

Keuntungan mengebunkan vanili juga diendus oleh Boby Lianto. Pekebun kakao dan kopi di Desa Weetana, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat, itu menyelipkan 4.600 setek vanili di antara pertanaman kopi di areal 2 ha. Penanamannya bertahap hingga 3 kali sejak November 2001. Kebun dikelilingi kawat duri setinggi 2 m dan dikelola intensif. Vanili dirambatkan di gamal yang ditata di atas lajur-lajur guludan setinggi 40 cm. Jarak antartanaman 1,5 m x 1,5 m.

Total biaya perawatan selama 2,5 tahun mencapai Rp25.000 per tanaman. Pada panen perdana Februari 2004, 81 batang vanili dari penanaman pertama menghasilkan 4.095 polong. Alumnus Universitas Kristen Petra di Surabaya itu kemudian mengeringkan sehingga diperoleh 13,5 kg kering kualitas kelas 1. Saat Trubus berkunjung, sulung 2 saudara tampak sibuk mengepak vanili itu untuk dikirim ke Bali. Dengan harga Rp3-juta per kg kering, Boby menangguk pendapatan Rp40,5-juta.

BBP bukan momok

Rupanya para pekebun itu tidak takut lagi pada penyakit busuk batang panili (BBP) akibat Fusarium oxysforum yang menjadi momok mengerikan sejak akhir 1980-an. Toha, pekebun di Desa Wangunjaya, Kecamatan Pakenjeng, Garut, mengendalikan dengan menebar trichoderma. Jika BBP membandel, kombinasi trichoderma dan semprotan pestisida nabati daun cengkih sanggup menurunkan tingkat serangan hingga 40%.

Cara lain ditempuh Ketut Dharma di Desa Semanik, Badung, Bali. Pekebun yang pernah “bangkrut” lantaran wabah fusarium pada 1989 itu merambatkan vanili di pakis yang sengaja ditempel di dadap Erythrina variegata. Setiap ruas vanili mengeluarkan akar yang mengikat pakis. Begitu batang bawah terserang BBP, ia tinggal dipangkas. Vanili tetap hidup dengan akar udaranya yang lain. Menurut Ketut, cara ini lebih efektif bila dikombinasi dengan pemakaian mulsa.

Penemuan bibit bebas BBP pun semakin menjulangkan asa pekebun. Menurut Toha, ia dan Kelompok Tani Permata Hijau binaannya sejak 2 tahun lalu memperoleh sumbangan 125 setek tahan fusarium penemuan Prof Dr Bambang Hadisutrisno, peneliti UGM. Bibit itu lalu diperbanyak hingga 1.500 setek pada 2003. Kelahiran Garut 58 tahun silam itu lalu menanam 600 setek. Sisanya disebar ke anggota kelompok berjumlah 30 orang.

Meluas

Kerabat anggrek itu tidak melulu ditanam di bawah naungan pohon-pohon tinggi yang identik dengan hutan. Anaxi Tangkesalu, pengusaha hotel dan biro perjalanan di Rantepao, Sulawesi Selatan, umpamanya. Sejak 6 bulan lalu ia memanfaatkan halaman samping untuk penanaman vanili. Saat ini 60 tanaman setinggi rata-rata 2,5 meter merambati gamal. “Vanili menjadi tabungan yang menarik untuk masa depan,” ujar Anaxi.

Di salah satu sudut halaman Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) di Bogor, vanili ditanam di bawah naungan net. Sulur vanili setinggi 1,5—2 m dirambatkan di pipa PVC berlapis ijuk. Pemandangan serupa ditemukan di dak gudang Harwanto di Temanggung. Model seperti itu cocok bagi mereka yang ingin menanam vanili tapi tak punya lahan luas. (baca: Panen Emas Hijau di Atap Rumah, hal 26—27).

Lacakan Trubus di berbagai daerah seperti Garut, Sukabumi, Bali, Temanggung, dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan penanaman vanili kian marak. Di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) umpamanya, pada 2000 hanya ada 75 ha pertanaman dengan produksi 10 ton. Setahun kemudian melonjak menjadi 92 ha (18,7 ton). Peningkatan signifikan terjadi pada 2002, yakni 116 ha dengan produksi 24,3 ton.

Pemandangan serupa juga tampak di sentra lama seperti Temanggung. Menurut Mohammad Slamet dari Dinas Perkebunan Kehutanan dan KSDA Kabupaten Temanggung, pada 2000 tercatat 3,7 ha lahan dengan produksi 0,8 ton. Memasuki 2003 terjadi lonjakan sampai 41,375 ha yang tersebar di 9 kecamatan dengan total produksi 4,422 ton basah.

Itu setali tiga uang dengan data Badan Pusat Statistik. Pada 2000 total areal perkebunan vanili rakyat 14.571 ha dengan produksi 1.680 ton. Selang 2 tahun jumlah itu meningkat 15.796 ha dengan produksi 2.731 ton. Penanaman itu mencakup 22 provinsi, dengan sentra terbesar di Sulawesi (9.879 ha, 1.625 ton), Nusa Tenggara (3.334 ha, 545 ton), Jawa (1.311 ha, 156 ton), Sumatera (1.094 ha, 397 ton), dan Maluku—Papua (117 ha, 4 ton). Nilai ekspor vanili ke- 14 negara tujuan ekspor pada 2002 mencapai 3.599 ton setara US$19.160.000. Jumlah itu 5—6 kali lebih tinggi daripada 2000 sebesar 496 ton (US$19.309.000) dan 2001, 350 ton (US$8.503)

Kendala menghadang

Sayang, vanili tak melulu melahirkan kisah manis. BBP memang sudah bukan ancaman serius, tapi tetap perlu diwaspadai. Menurut Umus Maryus, pekebun di Garut, rata-rata tingkat serangan mencapai 20% meski sudah membentengi diri dengan trichoderma dan pestisida nabati. Sekitar 50—80% yang terserang di antaranya mati. “Yang sudah terkena biasanya cukup dicabut dan disulam lagi,” ujarnya.

Balittro mencatat 7—32% bibit yang beredar terkontaminasi fusarium walaupun tanaman induk tidak menunjukkan gejala serangan fusarium. Andai bibit sehat tersedia pun, harga jadi batu sandungan. Bibit asal Balittro mencapai Rp15.000 per setek. Harga menjulang 3 kali lipat, jika yang dibeli bibit hasil riset Prof Dr Bambang Hadisutrisno. Bandingkan harga di pekebun Rp1.500—Rp5.000 per setek.

Bibit dari Bambang memang mahal. Wajar karena untuk membidani kelahirannya, guru besar Epidemiologi penyakit tanaman itu perlu berguru ke Perancis selama 4 tahun. BBP dilawan dengan menyuntikkan autovaksin dari cendawan fusarium yang dilemahkan. Cendawan itu merangsang munculnya fenol yang toksik bagi fusarium. Dengan begitu daya tahan tanaman meningkat (baca: Prof Dr Bambang Hadisutrisno, Vanili Istri Kedua Saya, hal 28—29). Hasilnya, umur produksi tanaman mencapai 10 tahun, lebih lama daripada bibit lokal yang cuma 6—7 tahun.

Kendala serius lain adalah faktor keamanan. Vanili tengah berbuah paling rentan dicuri. Pada 2003, Toha, tak sempat mencicipi panen dari 900 setek vanili. Emas hijau di kebun habis digasak para pencoleng hingga ke akar-akarnya saat ditinggal melayat selama 2 jam. ”Yang tersisa hanya 15%. Ketika dijual hanya dapat Rp90.000,” ujar ayah 5 putra itu. Sebab itu banyak pekebun akhirnya memilih panen muda untuk menghindari pencurian.

Dengan alasan keamanan, Boby Lianto sejak 4 bulan lalu menyewa orang untuk menjaga kebun. Penjagaan diutamakan saat malam hari. Untuk keperluan itu setiap bulan Rp4-juta dikucurkan. Menurut Boby jasa pengamanan itu dipakai sejak vanili mulai berbuah hingga selesai panen. Beragam cara ditempuh pekebun lain untuk melindungi vanili. Ada yang men”tato” setiap buah, tidur di kebun bersama anjing penjaga hingga memasang jebakan bambu runcing.

Kekurangan pasokan

Setumpuk kendala itu membuat vanili sulit dijumpai di pasaran. Harwanto, pengumpul di Temanggung, sejak Februari 2004 silam sudah tidak membeli lagi emas hijau itu. “Buah sudah dipetik pada Desember. Padahal idealnya Mei—Juni saat polong berumur tua,” ujar penampung di Parakan, Temanggung itu. Untuk memenuhi permintaan 50 ton per tahun ia perlu berkeliling ke sentra-sentra penanaman, beradu cepat dengan pengepul lain.

Kerepotan serupa dialami I Gusti Putu Widia. Penampung di Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali, itu terpaksa mendatangkan vanili dari Makassar, Manado, NTB, dan Papua. Namun, hanya 10 ton basah per minggu yang bisa dikumpulkan saat panen setiap Maret—April. Dengan rendemen 5:1 berarti cuma 12 ton kering yang diproduksi selama 2 bulan. Padahal permintaan mencapai 50—60 ton per tahun.

Eksportir pun ikut kena getahnya. “Mencari 100 ton sekarang sulit,” kata Suwandi dari bagian ekspor PT Djasulawangi. Padahal kebutuhan perusahaan di Jakarta itu mencapai 180 ton per tahun. Jumlah lebih besar 200—250 ton dibutuhkan Sam Filiaci, eksportir di Klaten. Jumlah itu untuk memasok konsumen di Amerika Serikat, Jerman, Perancis, dan Denmark. Untungnya, di pasar ekspor barang kualitas rendah pun saat ini laku karena memang langka.

Kelangkaan pasokan mendongkrak harga beli. Pada Januari—Februari lalu harga vanili kering menyentuh Rp2,5- juta—Rp3-juta per kg. Pekebun di Sumba Barat sejak akhir silam menerima harga Rp250.000—Rp300.000 per kg basah. Di Manado, Rp475.000. Padahal pada kurun 2000—2001 harga paling banter Rp100.000—Rp150.000 per kg basah; Rp400.000—Rp700.000 per kg kering.

“Harga ini sudah gila-gilaan,” ujar Harwanto. Ia mensinyalir itu ulah spekulan (penampung dadakan, red). Mereka berani membeli dengan harga tinggi. Tak heran harga berubah dalam hitungan jam. “Setelah ada kesepakatan harga dengan pekebun kita harus langsung bayar. Jika ditunda sebentar saja sudah disambar orang lain dengan harga lebih tinggi. Besok begitu lagi,” ujar penampung sejak 1980-an itu.

Bebas benda asing

Besarnya kebutuhan vanili tak lepas dari macetnya pasokan Madagaskar, produsen terbesar dunia. Serangan angin besar menghancurkan kebun-kebun di sana. Padahal hampir seperempat kebutuhan dunia, 2.000—2.200 ton per tahun, dipasok oleh negara beribukota Tananarive itu. Otomatis negara produsen lain seperti Indonesia mendapat limpahan pasar.

Kondisi itu terus berlanjut lantaran untuk merehabilitasi lahan perlu waktu cukup lama, 8 tahun. “Selama itu, Madagaskar belum bisa berbicara banyak lagi,” ujar Suwandi. Isu pelarangan vanili sintetis asal ekstrak cengkih di Amerika Serikat—salah satu negara tujuan ekspor—membuat “kue” pasar vanili kian membesar.

Peluang itu pantas direbut pekebun lokal. Pasar ekspor sangat menyukai vanili Indonesia lantaran kadar vanilin mencapai 2,75%. Lebih tinggi daripada pesaing seperti Madagaskar (1,41%) dan Meksiko (1,88%). Sayang, belakangan keunggulan itu dirusak oleh segelintir orang. “Banyak yang nakal memasukkan kawat dan paku untuk menambah bobot,”ujar Suwandi. Padahal bebas benda asing salah satu kriteria ekspor.

Seperti dimuat Lampung Post pada 24 April 2004, seorang eksportir di Lampung rugi miliaran rupiah. Vanili yang dikirim ke Amerika ditolak dan dikembalikan lagi. Setelah diselidiki, polong itu ternyata disuntik cairan timah. Menurut Suwandi banyak eksportir lain mengeluhkan hal serupa. ”Sudah sebulan lebih kami menyetop pembelian vanili sambil melihat kelanjutan reaksi dari negara importir,” katanya.

Toh, begitu kendala diatasi pekebun siap menuai untung. Arifin Rahman di Sukabumi, Umus Maryus di Garut, Felix Fernandus Ruah di Flores—sekadar menyebut nama—adalah para pekebun yang sudah mencicipi manisnya vanili. Kini mereka kembali menunggu polong membesar. Membayangkan gemerincing rupiah seperti yang diperoleh Fransiskus Badepa. (Dian Adijaya S/Peliput: Fendy R Paimin, Syah Angkasa, Rahmansyah Dermawan & Laksita Wijayanti)

Sekaleng Kerupuk Rp30-Juta

Bak mendapat durian runtuh. Pepatah itu terasa pas bagi Yu Thing, saudagar tembakau di Temanggung. Ketika membersihkan gudang, sepasang bola matanya menangkap kotak berbahan kaleng yang lazim dipakai menyimpan kerupuk. Permukaan kaleng berdebu lantaran terlalu lama tersimpan di gudang. Ia melangkah ke luar gudang untuk mengelap kaleng.

Ingatannya pada peristiwa 10 tahun lampau belum lekang digerus perjalanan waktu. Saat itu Yu Thing memasukkan polong vanili kering ke dalam kaleng yang saat ini tengah dibersihkannya. Sebelumnya dinding dalam kaleng dilapisi kertas cokelat yang biasa digunakan anak-anak untuk sampul buku. Di bawah tutup yang bundar juga dilapisi kertas yang sama. Jumat petang di penghujung Maret 2004, harta karun itu ditemukan.

Kepada Harwanto, penampung di Temanggung, Jawa Tengah, Yu Thing menawarkan polong Vanilla planifolia itu. Harwanto sepakat membeli Rp3,2-juta per kg. Sayang, transaksi urung dilakukan lantaran Yu Thing menginginkan pembayaran tunai. Senja itu bank tempat Harwanto menyimpan uang telah tutup.

Tiga hari berselang saat mereka bertemu harga emas hijau turun. “Kalau mau saya bayar sekarang Rp3-juta sekilo,” kata Harwanto. Tanpa banyak cingcong Yu Thing menyetujui. Hasil timbangan menunjukkan, bobot vanili 10 kg. Uang tunai sebesar Rp30-juta berpindah tangan. Dalam hidup Yu Thing vanili benar-benar emas hijau. Jumlah itu berbiak berlipat-lipat dari harga beli 10 tahun silam yang hanya Rp60.000 per kg. (Sardi Duryatmo/Peliput: Fendy Ruspandy Paimin)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pekebun Ungkap Peluang dan Tantangan Ekspor Durian, dari Kebun ke Pasar Global

Trubus.id–Pasar besar ekspor durian menjadi peluang bagi para petani. Menurut Ni Kadek Puspayani, harga jual durian ekspor bisa 3...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img