Saat berjaya segala jenis lou han seperti cencu, kemalau, hingga kamfa “high class” mengisi 200—300 akuarium, milik Bensi Asra di Surabaya. Pemilik Virgo Akuarium di jalan Ngagel Tirtosari itu getol mengimpor 10—15 boks atau setara 500—2.500 ekor lou han dari Pulau Penang, Malaysia. Selain dijual eceran di Surabaya, ia pun melayani permintaan dari Samarinda, Bali, dan Sulawesi yang mencapai 200—300 ekor per bulan.
“Dulu lou han luar biasa. Ikan yang sangat fenomenal, semua pedagang untung saat booming,” katanya. Di masa keemasan lou han 3 tahun silam, ayah 1 putra itu mampu menjual anakan 10—12 cm dengan harga Rp75-ribu—Rp2-juta per ekor. Bahkan tak jarang 1 akuarium berisi anakan 2,5 cm seharga Rp125-ribu menjadi rebutan. Wajar jika Bensi dapat menangguk laba besar, Rp200-juta—Rp300-juta per bulan.
Menurut kelahiran Palembang 42 tahun silam itu, tak hanya pemain ikan yang untung. Penjual kaca hingga penjaja mainan lou han pun menangguk laba. Meski kini gerainya sepi ia tidak rela bila ikan kualitas tinggi dihargai murah.
Yang bertahan
Tren lou han yang menurun tetap membuat Andry di Surabaya bergeming. Pemilik 21th Century Flower Horn itu tidak putus asa dan patah arang menghadapi lesunya pembelian lou han di farmnya di bilangan Bali, Surabaya. Di sana belasan cencu dan kamfa tetap dipajang di dalam akuarium bertingkat 2 berukuran 1 m x 0,5 m x 0,5 m.
Untuk tetap eksis, Andry mulai melirik Indonesia bagian timur sebagai pasarnya seperti Samarinda, Banjarmasin, Makassar, dan Palu. Menurut pengusaha sepeda itu perdagangan lou han di luar pulau Jawa tak sepenuhnya mati. Permintaan tetap kencang walaupun tak sederas masa kejayaan. Contoh di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saat lou han berjaya permintaan mencapai 10 boks per bulan atau sebanyak 200 ekor. Sekarang yang diminta 5 boks per minggu.
Walaupun mengalami penurunan, setidaknya 20 gerai di Banjarmasin masih tetap memajang lou han. “Banyak yang masih suka lou han,” kata Chandra Purnama, hobiis di Banjarmasin. Menurutnya untuk menaikkan gairah pedagang dan hobiis lou han di ibukota Kalimantan Selatan itu, perlu diadakan kontes. Wajar bila pada penghujung Juli nanti akan diadakan kontes lou han bertaraf nasional di kota kelahiran Pangeran Antasari itu.
Tak ada yang menyangkal bila lou han masih “hidup”. Hasil lacakan Trubus di sentra-sentra ikan hias di Surabaya, Jakarta, dan Bandung terdapat geraigerai menjajakan lou han. Walaupun tampak lengang tanpa pembeli, akuarium berisi cencu, kamfa, dan kemalau setia mengisi pojok-pojok ruangan.
“Meski penjualan turun drastis, pesanan tetap ada,” tutur Rudi Wahyudin, pemilik Atlantik Akuarium di Bandung. Tiga tahun silam ia mampu menjual 50.000 ekor per bulan, kini hanya 1.000 ekor per bulan. Harga pun turun. Seekor cencu berkualitas tinggi yang dulu mencapai Rp50-juta—Rp100-juta per ekor kini hanya dihargai Rp15-juta.
Hal serupa dialami pedagangpedagang ikan hias di Plasa Maspion, Jakarta Pusat. Keruntuhan lou han tampak jelas membekas. Saat kejayaan lou han, belasan showroom seakan memanjakan pengunjung dengan kilau mutiaranya di semua akuarium. Kini kilauan itu kian pudar. Yang tersisa hanya 4—5 gerai yang masih setia menjajakan lou han.
Dicari yang berkualitas
Meski perdagangan ikan nongnong di beberapa kota tampak lesu, hobiis di Kediri dan Madiun tetap memburu ikan berkualitas. Setali tiga uang dengan hobiis di Banjarmasin, Balikpapan, dan Samarinda. Mereka tetap mencari lou han berukuran <15 cm. “Penjualan memang lesu. Tapi ikan berkualitas tinggi tetap diburu,” ujar Chandra Purnama, hobiis yang baru saja membeli kamfa bernongnong apik seharga Rp10-juta di sebuah toko ikan di Banjarmasin.
Diakuinya mencari ikan berkualitas tinggi kini bak mencari jarum dalam jerami. Permata Flower Horn misalnya. Gerai khusus menjual lou han di Plasa Maspion itu, mengaku kesulitan mendapatkan lou han kamfa berkualitas. “Ukuran kecil tapi jenong gede tetap diburu. Hanya barang nggak ada,” kata Lukman, penjaga gerai. Menurut pria berpostur tinggi itu untuk kamfa berukuran kecil dijual Rp2-juta per ekor.
Langkanya lou han eksklusif disebabkan karena pasokan ikan berkualitas dari Negeri Jiran, sangat langka dan terbatas. “Mendapatkan 2–3 ekor yang berkualitas saja sangat sulit di Malaysia,” kata Andry yang sempat berburu ke sana. Jika ikan keluarga siklid itu terjamin kualitasnya mungkin Andry, Rudi Wahyudi, dan pedagang luar pulau tetap getol bertahan di dunia lou han. (Rahmansyah Dermawan/Peliput: Destika Cahyana dan Pupu Marfu’ah).
Denda Rp50-juta
Jangan pernah membuang lou han ke perairan umum Malaysia. Jika itu Anda lakukan, denda RM20.000 atau setara Rp50-juta siap menimpa. Pilihan lainnya ialah meringkuk di penjara selama 2 tahun. Jika pelanggaran dianggap berat, Anda bisa terkena sanksi kedua-duanya sekaligus.
Bukan tanpa alasan pemerintah Negeri Jiran menerapkan tindakan tegas itu. “Lou han bersifat teritorial dan agresif yang menyebabkan kematian terhadap spesies lain,” kata Datuk Junaidi Che Ayub, Ketua Pengarah Jabatan Perikanan. Menurutnya, pada fase pembiakan, ikan nongnong itu dapat memangsa spesies ikan lain. Jadi, keseimbangan ekosistem perairan pasti terganggu.
Mereka yang bersalah akan dihukum sesuai aturan yang tertera di Seksyen 27 Bahagian V berdasarkan Akta Perikanan yang dikeluarkan pada 1985. Menurut Datuk Junaidi peraturan itu akan dituangkan dalam Kaedah-kaedah Darat (Akuakultur) 2003 oleh Peguam Negara.
Namun di Indonesia lou han bak barang bekas, setelah manis tercecap sepah pun dibuang. Puluhan bahkan ratusan flower horn yang tidak laku dibuang di sungai, rawa, dan kali. Itu dilakukan lantaran para pedagang tak sanggup menutupi biaya pakan dan operasional, sedangkan harga jual semakin terperosok.
Tengoklah nasib lou han di Danau Sunter, Jakarta Utara. Tak jarang masyarakat sekitar yang sedang memancing tersenyum sumringah menatap hasil pancingan. Nila yang diharap, lou han yang tertangkap. Jangan heran jika Anda memancing atau menebar jala di danau, sungai, kali atau rawa, bukan lele atau nila yang berkecipak, melainkan lou han. (Rahmansyah Dermawan)