Itulah ritual di Dukuhseti, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, pada malam bulan purnama. Pemilik pohon berharap, persentase kelapa kopyor dapat meningkat.
Setiap kepala keluarga di desa itu memang memiliki beberapa pohon kelapa kopyor. Di pekarangan atau halaman, Cocos nucifera itu tumbuh tegak. Ada yang berumur lebih dari setengah abad menandakan kopyor sudah lama dikembangkan di kota yang dicapai 2 jam dari Semarang. Selama ini dalam satu tandan yang terdiri atas rata-rata 10 buah, 4—5 kelapa di antaranya menjadi kopyor.
Tak jelas kaitan antara pemukulan batang dan peningkatan kelapa kopyor. Namun, itulah warisan budaya di kota tayub—sejenis tarian khas Jawa, julukan bagi Pati—yang terpelihara hingga kini. Pati salah satu sentra kopyor terbesar dengan populasi 47.261 pohon, setara 378 hektar. Sebagian mulai dikebunkan intensif, tapi masih banyak yang menanam di pekarangan rumah.
Kopyor adalah kelapa abnormal lantaran daging buahnya mudah terkelupas dari tempurung. Dalam bahasa Jawa, kopyor juga berarti tidak jadi. Istilah telur kopyor berarti telur yang gagal menetas. Lalu kelapa kopyor? Kelapa yang gagal menjadi kelapa seperti lazimnya. Tekstur daging kelapa kopyor amat lunak. Permukaannya tidak rata, melainkan bergelombang.
Dicatut
Akibat tekstur tak beraturan, ketika buah diguncang-guncangkan suaranya berbeda dengan kelapa biasa. Ingat bunyi ketika mencampur air dan detergen sebelum merendam pakaian? Nah, begitulah bunyi kopyor; kelapa biasa, lebih nyaring. Kelapa menyimpang itu lazim dinikmati dengan sirop atau sebagai bahan baku beragam penganan seperti es krim dan selai. Karena kelezatannya harga kopyor 5—10 kali lipat lebih mahal ketimbang kelapa biasa.
Penjual kelapa muda kandang-kadang mencatut nama kopyor. Tujuannya Cuma satu, mengeruk laba sebesar-besarnya. Akal bulusnya bekerja dengan cara menancapkan bambu seukuran paku di ujung buah kelapa muda. Itu dilakukan ketika buah masih menggantung di pohon. Setelah dipetik lalu diperdengarkan kepada calon pembeli dengan cara mengguncang-guncangkan buah, bunyi gemericik air mirip kopyor.
Oleh karena itu pastikan indra pendengaran Anda berfungsi dengan baik. Ada lagi tipu muslihat sang pedagang, memeram kelapa biasa dalam timbunan kapur selama beberapa hari. Seperti peribahasa negeri seberang, Caveat emptor, pembeli memang harus berhati-hati. Soalnya secara fi sik, penampilan kopyor dan nonkopyor bagai pinang dibelah dua. Betapa sulit dibedakan.
Gara-gara kopyor, lahir profesi baru di setiap sentra. Namanya tukang totok. Tugas mereka menyeleksi kelapa kopyor di antara yang bukan. Syaratnya, selain harus dapat membedakan keduanya, tentu saja mesti mampu memanjat pohon kelapa. Seleksi itu biasanya memang dilakukan ketika tandan masih menggantung. Di Pati, tukang totok bekerja dengan cara menepuk-nepukkan telapak tangan di permukaan kelapa; di Sumenep, menyentil buah. Bagi mereka indra pendengaran modal besar yang harus dijaga. Dulgoni, tukang totok di Pati, belajar seleksi kopyor bertahun-tahun.
Banyak orang berhasrat mengebunkan kopyor lantaran harganya lebih mahal ketimbang kelapa nonkopyor. Dulu ketika teknologi kultur embrio penghasil bibit kopyor belum ditemukan, berbagai cara ditempuh untuk menghasilkan kelapa kopyor. Selain memukul batang, ada juga yang memberikan bubuk kapur di sekeliling pohon. Sebagian lain membudidayakannya di tepian sungai. Keruan saja cara itu gagal menyulap pohon kelapa biasa berbuah kopyor.
Tabu membelakangi
Dikiri—sebutan kopyor di Sri Lanka—jelas tak dapat dijadikan bibit. Harap mafh um, endospermnya rusak sehingga tak dapat dimanfaatkan sebagai hara bagi pertumbuhan embrio. Pekebun di Pati menggunakan kelapa tua yang setandan dengan kopyor. Ir Ruslan, pekebun kopyor di Dukuhseti, Pati, selalu meletakkan calon bibit di dekat pohon induk. Pekebun lain juga melakukan hal serupa yang populer disebut persusuan.
Lamanya, ada yang cuma sepekan atau hingga tumbuh tunas. Mereka tak sembarang meletakkan calon generasi penerus itu. Tabu hukumnya bila posisi calon bibit membelakangi pohon induk. Di sana calon bibit selalu diletakkan berhadapan dengan sang induk. Artinya bagian tangkai buah ada di belakang, tidak berdekatan dengan pokok kelapa. Begitu pun ketika penanaman, posisi bibit harus menghadap induk. Intinya membelakangi induk dilarang.
Ir Mulyono, petugas Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pati menuturkan, sebelum menanam biasanya orang makan dulu agar kelak kopyornya bernas. ”Yang pasti mencangkul untuk membuat lubang tanam perlu tenaga besar. Kalau sudah makan jadi tak mudah capai,” katanya.
Serbakelapa
Saking berharganya kopyor, masyarakat Batangbatang, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, enggan mengebunkan kelapa jauh dari rumah. Saat ini harga sebuah kopyor di sana mencapai Rp11.000. H Sisnawar, contohnya. Pada 1972, 600 buah kopyor yang ditanam 3 km dari rumahnya dijarah orang. Itulah sebabnya penduduk Batang-batang menanam kelapa di dekat rumah.
Pekebun kopyor di Pati percaya, membersihkan tapas alias seludang pelepah yang telah kering mempengaruhi persentase kopyor. Malahan daun yang kering pun tak dipotong dan dibiarkan jatuh dengan sendirinya. Secara turun-temurun kepercayaan itu tumbuh subur di antara pekebun maprao khiti—sebutan kopyor di Th ailand.
Kopyor memang bukan monopoli Indonesia. Negeri jiran seperti Th ailand dan Sri Lanka juga mengenalnya sebagai bahan pangan yang lezat. Bahkan Filipina merayakan Pekan Kelapa pada minggu terakhir Agustus. Wajah Zamboanga—tempat diselenggarakan perayaan itu—tampak meriah. Setiap rumah dihias dengan beragam ornamen kelapa seperti manggar alias bunga kelapa dan janur atau daun muda.
”Makapuno (berarti abnormal, sebutan kelapa kopyor di Filipina, red) menjadi minuman andalan,” ujar Dr Ismail Maskromo, periset Balai Penelitian Tanaman Kelapa yang pernah menghadiri perayaan itu. Berbeda dengan kopyor kita, daging buah makapuno lebih lunak mirip jeli. Apa pun namanya, kopyor, macapuno, maprao khiti, atau dikiri, semuanya adalah bentuk penyimpangan. Namun, itulah yang diharapkan karena menjanjikan laba besar dan kelezatan. (Sardi Duryatmo/ Peliput: Evy Syariefa Firstantinovi, Rahmansyah Dermawan, Rosy Nur Apriyanti)