Dengan sebatang asap rokok yang terus mengepul orang bakal mengira dirinya laiknya preman. Namun, dugaan langsung sirna begitu Yoe Kok Siong, pria itu, berjalan menuju kasir dan membayar beberapa pot aglonema koleksi berharga puluhan juta rupiah.
Penampilan nyentrik seperti mewakili sepak terjang Yoe, panggilan akrab Yoe Kok Siong, sebagai kolektor aglaonema. Aglaonema-aglaonema eksklusif seperti lady valentine dan juwita itu bakal diboyong ke sebuah green house seluas 1.500 m2 di Kaliurang, Yogyakarta. Di sanalah Yoe mengumpulkan hasil perburuannya.
Pemilik Perusahaan Jamu Merit itu memang tidak tanggung tanggung. Dengan level pemula seperti dirinya, deretan koleksi yang sudah dipunyai tergolong istimewa. Dari tiara, hasil silangan terbaru Greg Hambali sampai legacy, grand champion 1st Semarang Aglaonema Show 2005, semua berderet rapi di Kaliurang dan Magelang, tempat tinggalnya.
Demi mendapatkan aglaonema incaran hampir semua nurseri tanaman hias dan aglaonema pernah ia singgahi. Tidak hanya di Indonesia, Th ailand pun pernah dijajaki. Padahal 5 tahun lalu ia bukan penggemar chinese evergreen itu. Awalnya hanya hobi sehari-hari Yurike, istrinya. Wanita itu gemar merawat aglaonema di teras belakang rumah. Ketelatenannya menyebabkan tanaman tumbuh subur, sehat, dan indah dipandang. Tanpa bisa menghindar, setiap pulang kantor mata Yoe selalu tertumbuk pada sosok tanaman itu. Lama kelamaan cinta pun bersemi. “Saya jadi kegatuan (suka, red), melebihi ibu malah,” ujarnya sambil tertawa.
Terus berburu
Maka mulailah anak ke-10 dari 12 bersaudara itu berburu aglaonema. Kadang Yoe harus rela menunggu, terutama jika tanaman yang diincar belum diproduksi massal, baru sebatas milik pemulia seperti Greg Hambali. Maklumlah, jenis-jenis baru itu diincar banyak kolektor. Koleksi pehobi barang antik itu pun makin bertambah. Dari mulai pride of sumatra, donna carmen, hingga tiara.
Lama kelamaan halaman belakang seluas 300 m2 di Magelang itu menjadi penuh sesak. Dalam benak ayah 4 anak itu terpikir membangun t e m p a t k h u s u s untuk menampung seluruh koleksinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, ada lahan kosong di dekat rumah peristirahatannya di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Kondisi cuaca dan lahannya cocok. Awal 2004, dimulailah pembangunan kebun koleksi di lahan seluas 2.000 m2, termasuk di dalamnya greenhouse seluas 1.500 m2 .
Awal 2005 bangunan berkerangka besi beratap fi ber glass berhasil tegak berdiri, menaungi aglaonema dan koleksi lain. Sebut saja sansivieria, anthurium, adenium, euphorbia, pakis, philodendron, hingga deretan bonsai cemara udang. Kumpulan tanaman itu tidak diletakkan sembarangan. Pot-pot anthurium besar ditata rapi di atas steger hitam. Di sebelahnya, bromelia dan sansevieria memajang keindahannya.
Dengan selesainya pembangunan kebun koleksi itu kesibukan Yoe makin bertambah. Pagi hari pehobi motor besar itu berkantor di Magelang. Jika jam sudah menunjukkan pukul 16.00 mobil langsung dipacu menuju Kaliurang. Rutinitas ini berulang setiap 2 hari sekali. Magelang—Yogyakarta dikebut dalam waktu 45 menit. Sesampainya di kebun, tangan langsung bekerja. Mengecek kondisi tanaman satu persatu atau memberi pengarahan kepada 2 pegawainya.
Untuk menambah perbendaharaan koleksi Yoe selalu meluangkan waktu mengunjungi kontes-kontes aglaonema. Tak jarang jika harga disepakati, pemenang pun bisa diboyong ke Magelang.
Gagal
S e p e r t I k e b a n y a k a n hobiis pemula, kendala tak luput menghadang. Soal perawatan contohnya. Awalnya aglaonema disiram setiap hari. Karena cuaca di daerah lereng Gunung Merapi itu sudah lembap, akar menjadi busuk. Seharusnya cukup disiram 2 hari sekali. Alhasil sepot tiara seharga Rp1-juta per lembar daun harus direlakan mati membusuk.
Pengalaman lain saat memperbanyak anakan. Karena penasaran ingin mendapatkan tanaman baru, batang-batang pride of sumatra dipotong dan ditanam di media. Seluruhnya gagal tumbuh dan membusuk. Penasaran, pria asal Magelang lalu kasak-kusuk mencari formula tepat untuk memacu pertumbuhan sekaligus melindungi setek.
Pengetahuan keluarga tentang ramuan alam tak luput digunakan. Sejak 1977 keluarganya memang sudah bergerak di industri jamu. Setelah serangkaian uji coba selama beberapa bulan jadilah pasta khusus untuk membantu keberhasilan setek. Pasta itu dioleskan setelah pemotongan batang. “Ternyata berhasil, saya jadi terpacu,” ujar Yoe. Kecintaan pada anggota famili Areceae itu pun makin bertambah. Hingga detik itu sudah Rp2-miliar uang dikeluarkan Yoe untuk menekuni hobinya. Sebagian besar habis untuk membangun fasilitas dan prasarana greenhouse.
Seperti puncak
Kini, 2 tahun setelah proyek greenhouse dimulai, kebun di sekitar objek wisata Kaliurang itu makin semarak. Yoe tidak ingin berhenti hanya sebagai kolektor. Kelak jika materi tanaman dan prasarana sudah memadai, ia berencana membuka sebuah nurseri tanaman hias. Tidak hanya aglaonema, jenis lain pun hendak ia kumpulkan.
Kegemaran lelaki yang selalu berkostum celana pendek selutut ini tidak berhenti di tanaman-tanaman kecil. Di halaman depan vilanya tegak berdiri seruntia berumur 100 tahun. Tanaman purba itu ditemukan di Blora, Jawa Tengah. Bonsai raksasa itu berhasil diboyong ke Kaliurang setelah Yoe merogoh uang Rp40-juta dari koceknya. Padahal, tanaman itu sudah dimiliki oleh 3 generasi secara turun temurun.
Selain mengoleksi, ada sebersit obsesi di dada Yoe: meramaikan kawasan wisata Kaliurang agar bisa berkembang seperti Puncak, Jawa Barat. Maklum, selama ini daerah di kawasan Kabupaten Sleman itu hanya marak saat musim liburan. “Padahal, tempatnya cocok untuk tanaman hias,” kata Yoe. Dibanding Magelang yang panas, Kaliurang memang lebih sesuai untuk budidaya aglaonema. Boleh jadi keinginan itu bukan sekadar harapan. Bagi Yoe semua layak dicoba. (Laksita Wijayanti)