Tuesday, September 30, 2025

Sungai Penyangga Kehidupan: Saatnya Bertindak Lawan Sampah Plastik dan Krisis Ekologi

Rekomendasi
- Advertisement -

Trubus.id—Sungai-sungai di Indonesia lebih dari sekadar air yang mengalir, tetapi urat nadi kehidupan, yang menopang tatanan sosial-ekonomi dan ekologi masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Fungsinya lebih dari sekadar irigasi dan transportasi—sungai menyediakan mata pencaharian, memperkuat ikatan sosial, serta mendukung keanekaragaman hayati yang kaya. Namun saat ini, jalur kehidupan ini terancam oleh krisis polusi plastik yang semakin meningkat dan degradasi lingkungan yang lebih luas.

Di seluruh Indonesia, sungai-sungai seperti Citarum di Jawa Barat dan Musi di Sumatra Selatan mengalami pencemaran akibat campuran limbah beracun. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (2023) mengungkapkan bahwa 80% pencemaran plastik laut berasal dari sumber di daratan, dengan sungai berperan sebagai saluran yang membawa sekitar 0,27–0,59 juta ton sampah plastik setiap tahunnya ke laut. Sungai Brantas, misalnya, telah mencatat konsentrasi mikroplastik setinggi 30 partikel per liter, yang tidak hanya mengancam kehidupan akuatik tetapi juga kesehatan manusia melalui sumber air yang terkontaminasi.

Dolly Priatna, Pengajar Program Studi Manajemen Lingkungan Universitas Pakuan / Direktur Eksekutif Yayasan Belantara

Krisis ini tidak berhenti pada polusi. Ekosistem sungai di Indonesia—terutama daerah riparian dan lahan basah—kehilangan keanekaragaman hayati pada tingkat yang mengkhawatirkan. IUCN (2022) menggolongkan beberapa spesies yang bergantung pada air tawar di Indonesia sebagai terancam, termasuk kukang jawa (Nycticebus javanicus) dan berbagai spesies ikan endemik.

Fragmentasi habitat, konversi lahan, dan polusi air merupakan penyebab utama. Di Sumatra, alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan telah sangat mengurangi kadar oksigen terlarut di sungai, sehingga membahayakan organisme akuatik. Di Sulawesi, penambangan emas yang tidak diatur telah menyuntikkan logam berat ke dalam sistem sungai, membahayakan keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada perairan tersebut.

Kerusakan ekologi ini juga menimbulkan ancaman ekonomi. Sungai memainkan peran penting dalam mendukung perekonomian lokal melalui perikanan, pertanian, dan pariwisata berbasis sungai. Di tempat-tempat seperti Desa Temulus, Jawa Timur, pariwisata sungai berkelanjutan telah muncul sebagai penggerak pembangunan ekonomi berbasis masyarakat.

Sungai-sungai perkotaan mendukung perikanan dan pertanian skala kecil, yang seringkali menyediakan jaring pengaman penting bagi masyarakat miskin. Namun, seiring menurunnya kualitas sungai, peluang-peluang ini pun ikut menurun, yang memperkuat siklus kemiskinan dan kerusakan ekologi.

Secara budaya, sungai lebih dari sekadar fungsional—mereka adalah fondasi. Bantaran sungai di kota-kota seperti Yogyakarta berfungsi sebagai ruang komunal untuk rekreasi, festival, dan aktivisme lingkungan. Upaya restorasi sungai berbasis masyarakat di Jawa telah menunjukkan bahwa keterlibatan lokal dapat mengurangi kemiskinan dan memperkuat ikatan sosial. Namun, gerakan akar rumput ini membutuhkan dukungan kebijakan, pendanaan, dan partisipasi publik yang lebih luas agar dapat berkembang.

Secara ekologis, sungai dan lahan basahnya mengatur kualitas air, menyaring polutan, dan mengendalikan banjir. Vegetasi riparian berperan sebagai penyangga, memerangkap sedimen, dan menstabilkan bantaran sungai. Layanan ini sangat penting dalam mitigasi dampak perubahan iklim, terutama di negara yang rentan terhadap kekeringan dan banjir.

Namun, tekanan terhadap sungai-sungai di Indonesia semakin meningkat. Faktor-faktor antropogenik—seperti alih fungsi lahan, pembangunan bendungan, deforestasi, limbah industri, dan pertanian yang tidak berkelanjutan—terus menurunkan kesehatan sungai. Urbanisasi di Jawa, misalnya, telah mengganggu beban sedimen alami dan mengubah aliran sungai.

Di banyak daerah, plastik kini menjadi bagian pemandangan yang umum terlihat di sepanjang aliran sungai. Misalnya Sungai Brantas di Jawa Timur, menurut laporan ECOTON pada 2022 diperkirakan membawa hampir 400.000 potong sampah plastik setiap hari,.

Untuk membalikkan arah ini, Indonesia harus segera mengadopsi strategi pengelolaan daerah aliran sungai terpadu. Strategi ini harus menggabungkan kerja sama hulu-hilir, partisipasi masyarakat, dan penegakan hukum pembuangan limbah yang lebih ketat.

Yang tak kalah pentingnya adalah memperkuat inisiatif ekonomi sirkular—seperti program pembelian kembali plastik dan skema tanggung jawab produsen yang diperluas (EPR)— yang dapat mengurangi volume sampah plastik yang masuk ke sistem sungai sejak awal.

Lebih lanjut, mengurangi tekanan pada sungai membutuhkan penataan ulang pembangunan perkotaan dan pedesaan. Hal ini mencakup pembuatan zona penyangga riparian, pemulihan lahan basah yang terdegradasi, serta dukungan terhadap mata pencaharian alternatif yang bergantung pada sungai yang sehat—seperti ekowisata, akuakultur berbasis masyarakat, dan agroforestri di tepi sungai.

Sungai-sungai di Indonesia telah lama menopang kehidupan, mata pencaharian, dan identitas lokal. Semoga Hari Sungai Nasional tahun ini, yang diperingat setiap tanggal 27 Juli tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga sebagai seruan untuk bertindak. Sejalan dengan tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, “Mengakhiri Polusi Plastik”, sekaranglah saatnya untuk berkomitmen pada solusi nyata. Dengan demikian, kita turut memastikan bahwa sungai terus berfungsi sebagai penyangga kehidupan—bukan simbol kelalaian kita. (Dolly Priatna, Pengajar Program Studi Manajemen Lingkungan Universitas Pakuan / Direktur Eksekutif Yayasan Belantara)

Artikel Terbaru

Sulawesi Utara Didorong Jadi Sentra Hilirisasi Perkebunan Nasional

Trubus.id-Pemerintah pusat menegaskan komitmennya untuk menjadikan Sulawesi Utara sebagai pusat hilirisasi sektor perkebunan nasional. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img