Pohon dluwang menyebar luas di Indonesia seperti di Basemah, Provinsi Sumatera Barat, Banggai (Sulawesi Tengah), Seram (Maluku), Garut (Jawa Barat), Sukoharjo (Jawa Tengah). Oleh karena itu penyebutan pohon itu pun beragam. Masyarakat Basemah menyebut pohon itu sepukau, orang Sunda menyebut saeh, dan orang Sumba menamai kembala. Sebaran yang meluas itu menyebabkan banyak orang sangsi bahwa dluwang Broussonetia papyrifera itu berasal dari Cina.

Manfaat pohon anggota famili Moraceae itu bukan hanya sebagai bahan baku kertas. Ahli Botani asal Jerman, George Eberhard Rumpf alias Rumphius yang pernah tinggal di Ambon, Provinsi Maluku, mengisahkan penduduk Banggai, Sulawesi Tengah, mengolah kulit batang tembuku alias dluwang menjadi pakaian. Serat kulit halus sehingga nyaman dikenakan. Apalagi saat tidur, pakaian asal kulit pohon dluwang memberi kesan teduh. Kesaksian sang ilmuwan yang pada akhir hayatnya buta karena glaukoma itu terdapat dalam “Tumbuhan Berguna Indonesia” karya K. Heyne.
Pemanfaatan kulit pohon dluwang menjadi pakaian tidak ditemukan di Jawa yang berhubungan erat dengan budaya-budaya asing. Selain sebagai bahan baku kain, ada juga manfaat daluwang. Menurut perajin kertas di Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, Deden Rahmat Hidayat, getah dluwang bermanfaat untuk mengatasi kurap atau kudis. Ia menyarankan untuk mengoleskan getah pada kudis agar cepat sembuh. Adapun daun yang permukaaannya berbulu itu sebagai pakan kambing.
Namun, pemanfaatan daluwang paling lazim memang sebagai bahan baku kertas. Ahli Botani dari Swedia Carolous Linnaeus memberi nama spesies pohon dluwang papyrifera yang berarti kertas. Sejak lama secara tradisional pohon itu memang menjadi bahan baku kertas. K Heyne menyebutkan sentra budidaya dluwang pada 1900 di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, serta Pamekasan, Sumenep, dan Ponorogo—semua di Provinsi Jawa Timur. Kualitas kertas dluwang asal Banyumas lebih baik daripada kertas sejenis asal Jawa Timur.
Belanda mengirimkan deloewangpapier alias kertas dluwang ke negeri Kincir Angin. Di sana kertas dluwang digunakan untuk keperluan percetakan dan hasilnya sangat bagus. Namun, hasil kajian Laboratorium voor het onderzoek van vezelstoffen te Bogor (Laboratorium Penelitian Serat) pada 1910 menyebutkan kertas dluwang tak tahan lipatan. Saat ini di tanahair harga jual kertas dluwang relatif tinggi. Deden menjual kertas berukuran 120 cm x 60 cm Rp150.000.
Sementara Joko Ngadimin di Sukoharjo, Jawa Tengah, pernah menjual selembar kertas dluwang berukuran 90 cm x 75 cm Rp10-juta kepada pelancong Jepang yang berkunjung ke sanggarnya. Ahli bahan baku kertas dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Ir Wasrin Syafii MAgr, mengatakan kertas yang dibuat secara manual seperti dluwang memang cenderung lebih mahal. Sebab, proses pembuatannya tidak bisa massal. (Sardi Duryatmo)