Di usia 26 tahun, Ahmad Hudori Fadil—akrab disapa Dori—menjadi wajah baru pertanian kopi Indonesia yang inspiratif. Pemuda asal Desa Sidomulyo, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini membuktikan bahwa menjadi petani kopi bisa memberikan penghasilan yang menjanjikan sekaligus masa depan yang cerah.
Rata-rata penghasilan petani kopi di desanya mencapai Rp8–10 juta per bulan, jauh di atas Upah Minimum Regional (UMR) Jember yang sekitar Rp2,6 juta. Angka itu belum termasuk hasil panen buah naga, alpukat, sengon, dan ternak kambing. “Kami tidak malu jadi petani, karena dari kopi saja kami bisa hidup layak,” ujarnya dengan nada bangga.
Kesuksesan Dori tidak datang begitu saja. Ia tumbuh dalam lingkungan yang dibina oleh Koperasi Ketakasi, lembaga yang berdiri sejak 2007 atas prakarsa Fakultas Pertanian Universitas Jember (UNEJ). Koperasi ini menjadi wadah belajar, berinovasi, dan mengelola usaha tani secara profesional bagi petani kopi muda.
Dori sendiri merupakan generasi ketiga binaan UNEJ melalui koperasi tersebut. Awalnya, seperti kebanyakan pemuda desa lainnya, ia sempat merantau setelah lulus SMA karena merasa bertani tidak menjanjikan. Namun, dorongan dari para senior dan bukti nyata hasil pendampingan koperasi membuatnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni kopi.
Kini, Dori menjadi role model petani milenial binaan Bank Indonesia. Ia kerap diundang ke berbagai daerah, bahkan ke tingkat nasional, untuk berbagi pengalaman tentang manajemen kebun, pengolahan biji kopi, dan strategi pemasaran. “Saya ingin anak muda lain tahu, bertani itu keren dan bisa mengubah hidup,” katanya melansir pada laman UNEJ.
Di bawah bimbingan koperasi Ketakasi, para petani Sidomulyo mengubah cara pandang terhadap kopi. Dulu, kopi hanya dijual gelondongan dengan harga rendah. Sekarang, mereka mengolahnya menjadi green bean, bahkan memproduksi kopi siap saji dengan cita rasa khas Sidomulyo.
Proses produksi dilakukan dengan sistem hulu-hilir terintegrasi, dari budidaya, pascapanen, hingga pemasaran. Para petani juga memanfaatkan kotoran kambing sebagai pupuk organik untuk tanaman kopi, menciptakan sirkulasi ekonomi yang berkelanjutan di tingkat desa.
Sunari, penanggung jawab unit hilirisasi koperasi, mengatakan keberhasilan Sidomulyo tak lepas dari kolaborasi antara petani, UNEJ, dan koperasi. “Kami belajar bagaimana mengolah kopi dengan standar mutu ekspor. Harga green bean robusta bisa Rp65.000 per kilogram, bahkan kopi arabika dua kali lipatnya,” ujarnya.
Tidak hanya petani dalam negeri, sistem pengelolaan kopi Sidomulyo juga menarik perhatian mancanegara. Delegasi dari Timor Leste datang langsung ke Sidomulyo untuk belajar proses budidaya, pengolahan, hingga pengelolaan kelembagaan petani. Mereka menilai, harga kopi di negaranya rendah karena belum memiliki sistem koperasi sekuat Ketakasi.
Ketua Koperasi Ketakasi, H. Suwarno, menegaskan bahwa koperasi menjadi kunci utama agar petani tidak terjebak monopoli harga. “Kami membantu modal, memberikan pendampingan, dan menjaga kualitas kopi agar sesuai permintaan pasar,” jelasnya. Usaha panjang itu berbuah hasil: pada 2013, UNEJ meraih MDGs Award dari Presiden SBY atas keberhasilan membina petani Sidomulyo.
Dosen Fakultas Pertanian UNEJ, Djoko Soejono, yang sejak awal mendampingi petani Sidomulyo, menuturkan bahwa perubahan mental petani adalah titik balik keberhasilan. “Dulu mereka pesimis. Tapi sekarang, Sidomulyo jadi laboratorium hidup bagi mahasiswa dan petani dari berbagai daerah,” ujarnya.
Kini, 127 petani muda tergabung aktif di Koperasi Ketakasi. Desa ini pun menjadi destinasi belajar bagi petani dan mahasiswa dari luar daerah, termasuk dari Nusa Tenggara Timur. Regenerasi petani berjalan baik, dan semangat wirausaha tumbuh subur di kalangan generasi muda.
“Kami anak muda Sidomulyo ingin terus belajar dan tumbuh. Sukses sendiri itu biasa, tapi sukses bersama itu luar biasa,” kata Dori menutup perbincangan, sembari menyajikan secangkir kopi hangat hasil kebunnya sendiri — simbol semangat baru pertanian milenial yang tak sekadar menanam, tapi juga membangun masa depan.
Foto: Dok. UNEJ
