Teknik mengawetkan daging buah durian hingga dua tahun, meski tanpa bahan pengawet. Rasa dan warna tak berubah.

Trubus — Daging buah durian mampu bertahan hingga 2 tahun tanpa zat pengawet. Warna dan rasa daging buah juga nyaris tidak berubah. Itulah inovasi peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Sandi Darinadi, PhD. Doktor Ilmu Pangan alumnus University of Leeds, Inggris, itu mengawetkan durian dengan teknik freeze drying alias pengeringan beku.
Sandi memilih teknik itu karena kualitas produk dapat dipertahankan secara optimal. “Freeze drying mampu menjaga produk dari perubahan warna, aroma, bahkan unsur organoleptik,” kata Sandi. Teknik pengeringan beku berbeda dengan teknik pengeringan lain seperti vacuum drying dan spray drying yang lazim digunakan mengeringkan produk buah. Dua teknik itu menggunakan suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar.
Tekanan rendah
Biasanya warna dan rasa produk buah hasil vacuum drying dan spray drying pun berubah seperti pada pengeringan dengan panas menjadi keripik. Pada freeze drying pengeringan dilakukan pada suhu -55°C sehingga perubahan warna dan rasa minimal. Menurut praktikus durian di Jakarta, Mulyana Ahmad, struktur bahan buah yang diolah dengan pengeringan beku juga lebih stabil. Maksudnya, setelah durian kering, perubahan bentuk—mengerut atau mengembang—sangat minimal.
“Keripik buah yang sudah kering, lambat laun dapat kembali menyerap air dari udara sehingga rusak. Prosesnya mirip keripik yang melempem,” kata Mulyana. Sandi berhasil mengawetkan durian setelah menguji coba 50 buah durian lokal asal Lubuklinggau, Sumatera Selatan, dan durian matahari asal Bogor, Jawa Barat. Semula Sandi ingin meniru pengawetan durian pengeringan beku ala Thailand yang menggunakan durian monthong yang berdaging buah tebal.

Di Negeri Gajah Putih itu, petani hanya membelah daging buah durian, lalu membuang biji, dan mengeringkan dengan teknik pengeringan beku. Sayang, Sandi gagal menirunya untuk durian lokal. “Durian lokal daging buahnya tipis dan bijinya besar,” kata Sandi. Peneliti muda itu lantas membuat bubur alias pulp daging buah durian lalu mencetaknya menjadi chip atau kepingan berbentuk persegi dengan tebal kurang 2 cm.
Sandi lalu membekukan kepingan selama 24 jam hingga stabil pada suhu -55°C. “Di bawah nol derajat, air yang terkandung dalam pulp membeku,” kata Sandi. Berikutnya Sandi memindahkan kepingan durian itu ke mesin pengeringan yang vacuum atau kedap udara. Di mesin itu tekanan diatur sangat rendah menjadi kurang dari 4,58 m Torr. Pada tekanan rendah air yang membeku langsung menguap tanpa menjadi cairan.
Pengeringan beku itu prinsipnya seperti air yang mendidih dan menguap di pegunungan pada suhu kurang dari 100oC karena tekanan udara di pegunungan lebih rendah. “Sederhananya mendidih itu ketika tekanan dalam sistem sama dengan tekanan lingkungan di luar sistem,” kata Sandi. Namun, pada freeze drying prosesnya terjadi pada suhu minus 0°C sehingga yang terjadi adalah proses sublimasi—perubahan bentuk padat es menjadi gas berupa uap air tanpa melalui bentuk antara yaitu cairan.
Gizi terjaga

Penelitian dan
Pengembangan
Pascapanen
Pertanian, Sandi Darniadi, Ph.D. mengembangkan pengeringan
durian tanpa pengawet.
Menurut Sandi proses itu meninggalkan karakter khas produk buah hasil pengeringan beku yaitu jejak berupa ruang pori bekas padatan es yang kemudian menguap. “Struktur bahan menjadi porous karena es tidak mengalami melting atau mencair,” kata Sandi. Dampaknya produk buah hasil pengeringan beku terasanya renyah ketika digigit, kres! Buah durian pun menjadi lebih lezat di lidah karena rasa dan aromanya nyaris tak berubah tetapi malah bertambah menjadi cryspy.
Pengeringan beku yang tidak menggunakan panas membuat struktur kimia penyusun daging buah durian tidak banyak berubah. Dampaknya gizi durian nyaris sama dengan durian segar yang baru dipetik dari pohon. Produk kering beku buah durian asal Lubuklinggau itu berkadar air 4—5% tetapi tetap memiliki vitamin C sebesar 70—79 mg/100 g dan kadar gula 41—44%. “Angka itu hampir sama dengan produk segar durian asal,” kata Sandi.
Saat Trubus mencicip produk olahan Sandi, tertulis angka 2018 yang menunjukkan tahun pembuatan 2 tahun lalu pada kemasan alumunium foil yang tertutup rapat. Namun, warna daging buah tetap sama, dengan tekstur renyah dan aroma yang sama dengan buah durian segar. Bahkan, cita rasa pahit khas durian lokal masih kental terasa. “Memang durian dapat tahan hingga 2 tahun, tetapi sebaiknya untuk komersialisasi dipatok hanya 6 bulan agar aman,” kata Sandi.

Menurut Sandi idealnya riset teknik pengeringan beku itu dilanjutkan dengan bahan baku monthong dari kebun lokal. Musababnya, daging buah monthong lebih tebal dengan biji yang kecil sehingga dapat meniru Thailand. “Produk kering beku, tetapi bentuknya tetap pongge durian yang utuh,” kata Sandi. Pada masa depan mesin pengeringan beku juga akan makin berkembang menjadi lebih berkualitas tetapi lebih terjangkau.
Hal itu terbukti di luar negeri telah dipasarkan mesin pengeringan beku untuk skala rumah tangga. “Nanti bisa seperti kulkas atau mesin penyangrai kopi yang dapat dimiliki setiap orang,” kata Sandi. Bila demikian maka teknologi pengeringan beku dapat dilakukan oleh pekebun dan pengepul durian di daerah sentra. Dengan cara itu durian yang melimpah saat panen raya dapat diolah menjadi produk kering beku durian yang tahan berbulan-bulan. “Sehat dan awet meskipun tanpa bahan pengawet,” kata Sandi. (Destika Cahyana)