
Pada Agustus 2015 gemericik air sayup terdengar di atap sebuah rumah di Pondokaren, Tangerang Selatan, Banten. Padahal saat itu matahari tengah bersinar terik. Hujan pun hampir sebulan tidak membasahi tanah di daerah itu. “Suara” hujan itu hanya terdengar di kediaman milik pasangan arsitek Martin L Katoppo ST MTArs dan Ruth Euselfvita Oppusunggu ST MT.
Ketika menatap atap, tampak air mengalir menuruni genting seperti hujan. Banyu—air dalam Bahasa Jawa—itu keluar dari lubang kecil pada pipa berdiameter 1 inci sepanjang 7 m. “Lazimnya kami menyiram atap antara pukul 13.00—15.30 agar suhu dalam rumah tidak terlalu panas,” kata Martin. Hasil penelitian pasangan suami istri itu menunjukkan hujan buatan selama 30 menit menurunkan suhu dalam ruangan 1,5ºC.
Hujan buatan tidak hanya menyiram atap. Tetesan air dari pipa juga membasahi taman tegak di sisi barat rumah seluas 110 m2 itu. Penyiraman dilakukan saat pagi pukul 06.30 dan sore pukul 15.30. “Setiap penyiraman rata-rata berlangsung 3 menit,” ucap Martin yang juga alumnus Magister Teknik Arsitektur di Institut Teknologi Bandung.
Martin dan Ruth tidak khawatir kekurangan air karena melakukan penyiraman pada atap dan taman saat kemarau.
Padahal, banyak tetangga sekitar yang mengeluh pasokan air mengecil karena hujan tak kunjung datang. Bahkan beberapa tetangga meminta air kepada mereka untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci. Lalu apa rahasia Martin dan Ruth sehingga pasokan air mereka relatif banyak saat kemarau? “Ide dasar menampung hujan kami ketahui dari teknik Zero Delta Q Technology,” kata Martin.
Menabung Hujan

Teknik itu hasil riset dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. Penyiraman pada atap dan taman berasal dari tabungan air hujan. Sistem penyimpanan air hujan ala Martin dan Ruth relatif sederhana (lihat ilustrasi Menabung Hujan). Seratus liter air hujan pertama masuk ke dalam pipa berdiameter 4 inci sepanjang 2 m yang disusun tegak. Jika pipa itu penuh air masuk ke dalam 2 tangki masing-masing berkapasitas 1.000 l. Sebelum masuk tangki, air hujan melewati 2 pipa yang berisi filter setinggi 1 m. Bahan filter adalah spons, ijuk, batu karang, dan arang.
Menurut Martin dan Ruth saat hujan deras kedua tangki terisi dalam 15—20 menit. Ketika kedua tangki penuh air mengalir ke pipa pelimpasan yang menembus tanah sedalam 4 m. “Pipa itu menembus lapisan akuifer. Selama 2 jam air yang masuk mencapai 3,58 m3,” kata Martin yang juga arsitek bersertifikasi nasional tingkat pratama itu. Selang 2 jam air dalam lapisan akuifer jenuh dan akhirnya keluar melalui pipa berdiamater 4 inci dan masuk lubang biopori sedalam 1,2 m.
Menurut ahli hidrologi dari Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Hendrayanto, lapisan akuifer tiap daerah berbeda, tidak mesti pada kedalaman 4 m. Doktor Hidrologi Hutan alumnus Kyoto University, Jepang, itu juga mengatakan penyerapan air kurang efektif jika pipa saja yang masuk ke tanah, tanpa ada sumur resapan. Simpanan air tanah di kediaman Martin dan Ruth tidak hanya meningkat karena memanen air hujan.

Mereka juga membuat biopori di sekitar rumah untuk mempercepat peresapan air hujan ke dalam tanah dan mengurangi sampah organik. Hasil penilitian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, dengan Pusat Pengkajian, Penelitian Dan Pengembangan Agribisnis (P4) Fakultas Pertanian Universitas Darul ‘Ulum Jombang pada 2011 menunjukkan penerapan biopori meningkatkan simpanan air tanah.
Kehadiran biopori juga mengurangi sampah organik di rumah yang kerangkanya terbuat dari besi hollow itu. Hasil penelitian Martin dan Ruth serta rekan menunjukkan 200 rumah besi—sebutan populer rumah Martin dan Ruth—mampu mengelola sendiri 73,76% sampah rumah tangga.
Rinciannya seperti termaktub dalam Journal of Architecture and Built Environment yakni mereka mengomposkan 39,89% sampah organik dalam biopori dan 33,87% sampah plastik diberikan ke bank sampah, serta sisanya 24,24% dibuang di tempat pembuangan sampah. Martin dan Ruth memiliki sekitar 39 biopori di sekitar rumah. Dua puluh sembilan biopori khusus untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah.
Sementara 10 biopori lain khusus untuk membuang sampah organik seperti sisa sayuran, daun, bahkan kulit telur. Biopori ala Martin dan Ruth menggunakan pipa sepanjang 1,2 m dan berdiameter 10 cm yang ditanam ke dalam tanah. Pada pipa terdapat lubang kecil yang berjarak 10 cm antarlubang. Di dalam pipa juga dimasukkan alat yang berfungsi menarik kompos jika sudah siap panen. Lubang biopori ditutup kawat kasa dan batu seukuran batu bata. Dengan memanen hujan dan biopori ketersediaan air di kediaman kedua pendiri komunitas Design as Generator (DAG) itu selalu terpenuhi. (Riefza Vebriansyah)