Trubus — Lulur garam di sekujur tubuh antara lain berkhasiat meremajakan kulit dan mengangkat sel-sel kulit mati. Sebuah spa di Kota Denpasar, Provinsi Bali, menyediakan layanan lulur garam. Spa itu tak sembarangan menggunakan garam, tetapi memilih garam dari Pantai Kusamba, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Salah satu pemosok garam untuk lulur itu I Wayan Rena. Pria 65 tahun itu tekun menjadi petani garam selama 42 tahun terakhir.
I Wayan Rena hanya mengirimkan garam berkualitas nomor satu sebagai bahan lulur. Garam kelas 1 berwarna putih bersih, sangat halus, sangat kering, dan gurih. Adapun garam kelas dua, berwarna kuning, halus, dan masih sedikit basah. Ia menjual garam kelas dua Rp4.000—Rp7.000 per kg. Masyarakat menggunakan garam kelas dua untuk melezatkan masakan. Wayan menjual garam kelas satu Rp15.000; dan kelas 2 Rp4.000 per kg.
Dua bulan terakhir ketika garam langka di pasaran, harga garam penjualan Wayan ajek. Petani garam sejak 1975 itu memanen total 2.500—3.000 kg per tahun atau 20 kg per hari. Garam-garam itu terdiri atas 7 kg garam kelas 1, 13 kg kelas 2. Produksi itu berasal dari ladang garam seluas 400 m². Lokasinya hanya 20 meter dari bibir pantai Kusamba. Wayan Rena mengawali produksi dengan mengambil air laut menggunakan dua wadah.
Sepasang wadah yang terbuat dari karet itu menampung kira-kira 80 liter air. Ia memikul wadah itu ke ladang garam lalu memercikkan air laut itu di atas hamparan pasir. Ia melakukan pekerjaan itu hingga 30—40 kali setiap hari. Pekerjaan yang disebut nguyah itu rampung pada pukul 09.30—10.00. Bila cuaca baik, enam jam kemudian, pasir itu telah mengandung kristal garam.
Selanjutnya I Wayan Rena yang sohor dengan panggilan Mangku itu memanen kristal garam dengan cara mengeruk. Dari 40 kali percikan air di atas pasir, ia memanen 5 m³ kristal garam. Kristal garam adalah bakal garam yang masih tercampur pasir. Itulah sebabnya Wayan Rena lantas membawa kristal garam yang masih bercampur dengan pasir itu ke ruang pencucian di samping ladang garam.
Di dalam ruang pencucian itu, terdapat beberapa balong, yakni wadah seperti lesung terbuat dari pohon kelapa atau kayu ukuran 2 meter, lebar 60 cm, dan kedalaman 60 cm. Ia meletakkan kristal garam hasil panen sehari sebelumnya di dalam balong. Wayan Rena mengambil air dari laut dan menyiram kristal garam itu. Air garam itu kemudian mengalir keluar melewati saringan dan pipa besi berdiameter 7 cm sepanjang 1 m.
Air yang mengalir pertama itu disebut air muda alias yeh muda. Wayan Rena menyiramkan air muda itu ke kristal garam sekali lagi. Proses itu berlangsung 3—7 kali, hingga air memiliki kadar garam yang tinggi atau disebut air tua atau yeh wayah. Ayah 3 anak itu mengangkut yeh wayah ke luar gudang pencucian dan menjemurnya di beberapa bak yang terbuat dari belahan batang kelapa.
Ada pula beberapa meja jemur berukuran 3 m x 1 m berlapis plastik hitam. Bila cuaca cerah sepanjang hari, pada pukul 14.00 Wayan Rena mengeruk garam dan menampungnya dalam kukusan bambu. Menurut Wayan Rena dari setiap 1 m² kristal garam menghasilkan 0,05 kg garam. Jika ia mengolah 1 m³ kristal garam akan memanen 3 kg garam.
Volume panen mencapai 20 kg per hari. Bila mendung, apalagi hujan, Wayan melanjutkan penjemuran pada esok hari. Wayan Rena mengemas garam dalam kantong berkapasitas 150 gram. Wayan Rena memasok 250 kg per bulan ke pedagang di Denpasar. Ia hanya satu dari belasan petani uyah atau garam di Kusamba. “Dahulu banyak petani garam di sini. Pada 1975 jumlahnya mencapai 150 orang sehingga tambak uyah berjajar sepanjang 6 km,” kata Wayan.
Menurut Wayan jumlah petani garam merosot tajam. Pada 2011 petambak hanya 40 orang, kini pada 2017 jumlahnya 17 orang. Mereka meninggalkan usaha tambak garam yang telah dilakukan 3 generasi akibat kurang menguntungkan karena tidak mendapat pasar. Sebagian lainnya karena tambaknya mengalami abrasi air laut. Mangku dapat bertahan karena telah mempunyai relasi yang menampung semua produksinya.
Garam kusamba juga bersaing dengan masuknya garam dari Pulau Jawa. Harga jual garam jawa lebih rendah, hanya Rp1.400 per kg. Harga garam kusamba Rp4.000 per kg. Pengolah ikan asin yang dulu pembeli, beralih membeli garam jawa. Sebenarnya Buleleng penghasil garam paling produktif di Indonesia. Dari data Ditjen Pengelolaan Ruang Laut dengan luasan 33,45 ha, petani menghasilkan rata-rata 293,80 kg per hektare per musim selama musim kemarau atau total 9.827,48 ton per tahun.
Bandingkan dengan produktivitas petambak garam nasional rata-rata 112 ton per ha per tahun. Buleleng hanyalah satu dari 44 daerah penghasil garam di Indonesia. Petambak di Pulau Jawa tetap penghasil utama garam. Cirebon, Jawa Barat, dan Sampang, Jawa Timur, menjadi daerah penghasil garam paling luas, yakni di atas 3.000 ha. Secara nasional, produksi garam di Indonesia pada 2015 mencapai 1,9 juta ton dari luas 25.830,34 ha.
Adapun kebutuhan garam mencapai 3,4 juta ton. Kekurangan garam 1,5 juta ton per tahun. Itulah sebabnya pemerintah mengimpor garam dari Australia. Sebenarnya, garam yang diimpor untuk memenuhi permintaan berbagai sektor industri. Di antaranya perusahaan penyamakan kulit, tangki boiler, pencucian tabung proses perusahaan farmasi, pencucian pipa proses pada industri minuman, industri pengolahan air dan limbah, industri tekstil, industri pendinginan, dan industri pengeboran.
Peranan garam dalam farmasi ialah, sebagai bahan campuran untuk membuat sediaan infus, produksi tablet, pelarut vaksin, sirop, oralit, cairan pencuci darah, dan minuman kesehatan. Dalam industri penyamakan kulit, garam menyerap cairan dalam kulit, sehingga kadar air minimal. Pada sektor pertanian, garam sebagai bahan dasar pembuatan pupuk. Karena kandungan garam dapat menambah unsur hara pada tanaman. Garam pun dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produk pembersih.
Garam impor bukan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga. Perbedaan keduanya terletak pada kandungan natrium klorida (NaCl). Industri membutuhkan garam dengan kandungan NaCl lebih dari 97%, sedangkan garam rumah tangga cukup 94%. Petambak garam Indonesia memproduksi garam konsumsi dan belum mampu menghasilkan NaCl lebih dari 94%. Selain sebagai pelezat makanan, tubuh membutuhkan garam untuk metabolisme.
Menurut dr. Rianita Syamsu, Sp.A., unsur natrium penting untuk kerja saraf dan otot. Cairan dalam tubuh pun hampir semuanya mengandung NaCl 0,9%. Keperluan tubuh akan NaCl dapat dipenuhi lewat konsumsi garam di makanan. Jadi garam dibutuhkan sedikit, tetapi sangat perlu bagi kesehatan. Bila mengonsumsi garam berlebihan dapat menyebabkan hipertensi dan kejang-kejang.
Indonesia memilik laut luas hingga 3.544.743,9 km² dan garis pantai nomor dua terpanjang di dunia. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG) total panjang garis pantai Indonesia adalah 99.093 kilometer. Dengan potensi besar itu Indonesia seharusnya menjadi produsen utama garam di dunia. Namun, sebagian besar pengolahan garam di Indonesia tergantung iklim. Seperti yang dialami I Wayan Rena, yang pengolahannya masih sangat tergantung cuaca.
Garam jawa lebih terpengaruh lagi karena air laut perlu waktu 25—30 hari untuk menjadi garam. Potensi produksi maksimal terdapat di Indonesia timur yang memiliki musim kemarau panjang. Contoh, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sayangnya produktivitas tambak garam di dua wilayah itu justru rata-rata kurang dari 50 ton per ha per musim.
Produksi garam di Jawa sulit ditingkatkan karena terbatasnya lahan. Petani hanya bisa memanfaatkan ladang garam di pantai utara. Selain itu pantai-pantai pun sudah banyak tercemar limbah sehingga tidak dapat dipakai membuat garam. Seiring waktu, permintaan garam kian melonjak. Di lain pihak, luas lahan pengelolaan justru menyempit akibat ditinggalkan petambak yang beralih usaha.
Usaha meningkatkan produksi dan kualitas garam tetap dilakukan. Petambak garam di Sampang, Madura, sejak 2014 melapisi dasar tambak dengan plastik geomembran. Itu membuat produksi lebih bersih dan mempercepat proses penuaan air laut. Dengan demikian pemberian alas geomembran dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas garam hingga 120 kg per ha per musim. Teknik terbaru ditemukannya sistem prisma garam (SPG) untuk meningkatkan produksi garam di Lamongan, Jawa Timur.
Sistem itu ditemukan oleh PT Tiara Kencana Gemilang dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sistem prisma itu memodifikasi sistem greenhouse agar evaporasi berlangsung tertutup. Karena tenda prisma garam tertutup rapat sehingga air yang menguap jatuh ke bak geomembran berisi air garam. Karena tertutup rapat sehingga panas udara pun maksimal sehingga mempercepat proses evaporasi.
Air laut itu kembali menguap dan terus berulang sehingga menyisakan kristal garam. Dengan teknik tertutup sehingga produksi garam tidak terpengaruh cuaca. Sistem tenda prisma juga melindungi air tua dari risiko terpapar curah hujan tinggi dan menjaga kebersihan garam. Produktivitas tenda prisma mencapai 400ton/ha/musim. Selain intensifikasi, ekstensifikasi pun giat dilakukan di kawasan Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
Itu agar produktivitas ladang garam kian menjulang. Dengan demikian para petambak tak seperti peribahasa aus telunjuk mencolek garam alias hidup dalam kemiskinan. Negeri dengan garis pantai terpanjang kedua sudah selayaknya hidup sejahtera. (Syah Angkasa/Peliput Riefza Vebriansyah).