
Apa yang bisa disumbangkan untuk kampung halaman? Itulah pertanyaan Bambang Setiawan begitu meraih gelar Sarjana Teknik dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung pada 2010. Bambang lahir dan tumbuh di lingkungan pertanian di Desa Bakung Kidul, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Bambang memilih beternak jangkrik pada 2010.
Pemuda 27 tahun itu mengirim 190 kg jangkrik ke pengecer dan kios di Cirebon, Bandung, Jakarta, dan kota-kota sekitarnya serta beberapa kota di Jawa Tengah. Selain jangkrik dewasa, Bambang juga menjual kotak indukan, telur, dan berbagai aksesori. Usahanya meluas dengan mendirikan toko burung Trust Jaya di depan rumahnya.

Omzet miliaran
Jangkrik Gryllus assimilis salah satu pakan favorit burung berkicau. Bambang juga menjual eceran kroto dan ulat hongkong yang ia peroleh dari peternak lain. Omzet tahunannya mencapai sekitar Rp4-miliar. Namun, margin yang ia peroleh fluktuatif tergantung tingkat harga, “Naik turun antara 5—20%,” ujar Bambang. Peningkatan kesejahteraan sangat nyata dirasakan anggota plasma. “Mereka bisa membeli kendaraan baru, merenovasi rumah, atau pergi umroh,” ujar Bambang.
Jumlah plasma yang memasok jangkrik pun meningkat menjadi 60 orang. Salah satu hal yang menarik mereka adalah sistem kemitraan CV Trust Jaya yang berbeda dengan penjual lain. “Penjual lain biasanya mewajibkan peternak untuk menitipkan sejumlah uang sebagai jaminan bahwa peternak tidak akan menjual kepada pemasok lain. Namun saya malah memberi modal kepada calon plasma,” tutur Bambang.
Meski kondisinya naik turun, usaha jangkrik memberikan kepuasan tersendiri. “Jangrik banyak menyerap sumber daya manusia sehingga banyak orang yang kebagian. Dengan jumlah modal yang sama, toko pertanian hanya menyerap 2—3 tenaga kerja, sementara budidaya jangkrik bisa melibatkan orang 10 kali lipat lebih banyak,” kata pehobi burung kicauan itu. Pada tahun yang sama, 2010, Bambang juga mendirikan toko pertanian.
Kesuksesan beternak jangkrik dan menyejahterakan tetangga membuatnya diganjar penghargaan Wirausaha Muda 2014 kategori bidang usaha industri, perdagangan, dan jasa dari PT Bank Mandiri Tbk. Bagi Bambang, syarat usaha yang berhasil harus memberi manfaat bagi masyarakat. Ia sendiri membuktikannya.

Semula iseng
Semula Bambang hanya iseng memelihara jangkrik di loteng rumah. Ternyata tangannya terbilang dingin, serangga sosial itu berkembang biak cepat sampai memenuhi kotak. Intuisi bisnisnya mengendus peluang. Bambang langsung menekuni budidaya skala besar dan mencari celah pemasaran. Ia membesarkan jangkrik dalam 50 kotak berukuran 60 cm x 70 cm setinggi 120 cm.
Kotak-kotak itu menampung 4 kg jangkrik setelah 35 hari. Lazimnya pengusaha pemula, begitu panen, Bambang belum mempersiapkan pasar. Akibatnya ia kelimpungan memboyong 200 kg jangkrik ke pasar-pasar di Cirebon, Majalengka, sampai Bandung. Saat itu Bambang menjadi petarung tunggal. Di hulu, ia memberi pakan dan mengganti media di kandang jangkrik.

Ketika panen, ia memasukkan sendiri jangkrik-jangrik dalam wadah siap jual. Wadah-wadah itu ia naikkan sendiri ke mobil bak terbuka, lalu Bambang juga yang mengemudikan mobil itu. Di kios Bambang membongkar sendiri muatannya untuk ditawarkan. Saat kelelahan atau mengantuk, ia mencari masjid untuk membasuh muka atau beristirahat sejenak. Jangkrik yang tidak terjual ia bawa pulang, tetapi setiba di rumah ternyata jangkrik-jangkrik itu mati akibat panas selama perjalanan.
“Saya sering sekali pergi sampai anak pun tidak mengenali saya,” tutur pria kelahiran 25 November 1987 itu. Di balik perjalanan penuh kepahitan itu, Bambang melihat peluang tersembunyi. “Sebenarnya serapan pasar besar kalau mau bersusah payah menembus ke toko-toko eceran,” kata Bambang. Itulah jurusnya sampai sekarang, menjual langsung ke kios-kios eceran. Jika ada agen besar suatu wilayah meminta pasokan, ia tidak menolak.
Namun, fokus ayah 2 anak itu adalah memasok kios kecil. “Ketergantungan terhadap agen besar rawan. Begitu dia menghentikan permintaan, peternak kelimpungan menjual,” kata Bambang. Ia lantas mendirikan CV Trust Jaya dan mengajak tetangga untuk menjadi peternak plasma. Melalui perkembangan yang lambat dan banyak masalah, sistem produksi pun terbentuk.

Rugi 8 juta sehari
Selepas tahun pertama ia dan 5 peternak plasma yang baru bergabung mampu memproduksi 40 kg jangkrik per hari. Memasuki tahun ke-2, Bambang berupaya meningkatkan produksi 2 kali lipat. Target itu tercapai, produksi melonjak menjadi 90 kg jangkrik per hari. Ternyata pasar berkata lain. Lonjakan produksi itu tidak disambut peningkatan permintaan sehingga jangkrik menumpuk tidak terjual.
Padahal setiap hari bungsu dari 3 bersaudara itu harus membeli produksi peternak plasma. “Banyak jangkrik lepas dan beterbangan dalam rumah, sebagian sampai menggigit anak dan istri saya,” ungkap Bambang. Sepinya penjualan itu berlangsung kira-kira seminggu dengan kerugian Rp8-juta per hari.
Untungnya masa sulit itu segera berlalu. Permintaan kembali mengalir seiring pertambahan peternak plasma. Tahun ketiga Bambang kembali menaikkan target produksi menjadi 140 kg per hari. Jumlah itu ternyata tidak mencukupi sehingga beberapa pemasok berusaha menembus langsung ke peternak plasma. Beberapa peternak tergoda untuk menjual kepada pihak lain sehingga mengurangi pasokan jangkrik kepada Bambang.
Untungnya kekurangan itu segera tertutup dengan produksi plasma lain. Kini ia mampu memasarkan 190 kg jangkrik per bulan. Itulah sumber pendapatan Bambang Setiawan. Bagi Bambang berniaga jangkrik terbukti asyik: membuka lapangan pekerjaan, memberi omzet besar, dan tidak mengeksploitasi alam. (Argohartono Arie Raharjo)