
Inilah kebiasaan Junaidi bila musim berenai Baccaurea macrocarpa berbuah tiba pada Oktober—Februari. Jika menjumpai pohon berenai yang berbuah saat berburu madu hutan, ia selalu mengumpulkan buah yang jatuh. Pilihan lain ia menaiki pohon untuk memetik buah matang, kulit buah berwarna jingga kecokelatan. Untuk membuka buah matang lebih mudah. Cukup menekan buah maka kulit buah akan pecah.
Namun, jika buah belum matang benar, mesti menggunakan pisau untuk membelahnya karena kulit buah tebal, mencapai 5—10 mm. Buah berenai itu untuk melepas dahaga saat lelah menempuh perjalanan berburu madu hutan. Maklum, daging buah berenai berkadar air tinggi dan rasanya manis menyegarkan. Daging buah berenai berupa jaringan yang sangat lunak dan cenderung berair seperti lendir yang menyelimuti biji.

Di bagian luar daging buah terdapat kulit ari. Selain untuk konsumsi saat di hutan, Junaidi juga membawa pulang buah berenai yang sudah dikupas ke dalam kantong plastik. Sesampainya di rumah, kumpulan daging buah berenai itu sudah berair. Pemburu madu hutan asal Desa Airlimau, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, itu lalu memerasnya dan menyimpan air perasan dalam botol kaca.
“Itu untuk persediaan obat luka. Kalau luka, cukup oleskan air perasan buah berenai ke permukaan luka agar cepat kering dan tidak infeksi,” ujarnya. Kebiasaan itu diwariskan secara turun-temurun. Pohon-pohon berenai itu tumbuh di hutan di Kecamatan Simpangteritip, Kabupaten Bangka Barat, pada Januari 2013. Sebelumnya Trubus juga pernah mencicip buah Baccaurea macrocarpa saat mengeksplorasi buah-buahan hutan di Desa Temula, Kecamatan Nyuatan, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.

Masyarakat Suku Dayak Benuaq yang menghuni desa itu menyebut B. macrocarpa dengan sebutan tampui. Perjumpaan dengan tampui kembali terulang saat mengeksplorasi buah di kawasan Hutan Harapan, kawasan hutan konservasi seluas 98.000 hektar di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Trubus dan tim ekspedisi yang dipimpin Anderi Satya, asisten komunikasi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), menjumpai kerabat menteng itu di area Blok A, yang masuk wilayah Sumatera Selatan.
Pohon tampui itu berbuah sangat lebat. Buahnya yang berwarna jingga kecokelatan muncul bergerombol hampir di setiap percabangan primer. Randi, anggota staf pelayanan pengunjung PT Reki, dengan cekatan memanjat pohon setinggi 15 m itu. Satu per satu buah seukuran bola golf berjatuhan ke lantai hutan. Trubus pun mengambil salah satu buah, lalu membelahnya dengan golok karena kulit tebal, yakni hampir 1 cm.
Begitu terbuka bagian dalam buah terdapat 3 septa berwarna putih susu. Menurut Prof Dr Tukirin Partomihardjo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tiga septa dalam buah merupakan ciri khas anggota famili Euphorbiaceae. Saat dicicip, rasa tampui dominan masam. “Coba pilih yang warnanya jingga. Itu lebih manis,” ujar Feri Antoni, anggota staf penanaman, Departemen Restorasi PT Reki.

Benar saja, buah tampui matang terasa lebih manis dan menyegarkan. Dari satu pohon itu kami mengumpulkan hingga dua kantong plastik besar buah tampui. Masih di lokasi Blok A, tim juga menemukan selentikan Baccaurea deflexa. Ukuran buah jauh lebih kecil, yakni berdiameter 1 cm yang tersusun dalam tandan sepanjang 20 cm. Uniknya, pada saat matang, kulit buah selentikan pecah dan jatuh sehingga hanya tersisa 3 septa yang menempel di tangkai buah. Buah yang telanjang itu bisa langsung dikonsumsi.
Secara kebetulan Trubus juga menemukan tampui berdaging kuning saat tiba di area menginap. Beberapa buah tampui kuning tampak tergeletak di permukaan tanah. Tadinya kami mengira itu tampui putih seperti yang dipanen dari Blok A. Namun, ketika dibelah, ternyata berdaging kuning. Ukuran buah tampui kuning lebih kecil dari tampui putih, tapi rasanya lebih manis. Sayang, kami tidak menemukan pohonnya karena hari sudah mulai senja.
Menurut Tukirin genus Baccaurea mempunyai minimal 30 spesies yang sudah diidentifikasi. Mereka tersebar di semenanjung Kalimantan, Sumatera, dan semenanjung Asia, yaitu Malaysia, hingga Indonesia timur. “Sumatera merupakan pusat penyebaran baccaurea,” ujar alumnus Universitas Kagoshima, Jepang, itu. Anggota famili yang paling terkenal ialah menteng Baccaurea racemosa. Masyarakat banyak yang menanam menteng, khususnya di Jawa Barat.
Tukitin menuturkan di antara tanaman buah bergenus Baccaurea, beberapa jenis yang dapat dikonsumsi adalah Baccaurea brachteata, B. dulcis, B. lanceolata B. macrocarpa, B. montleyana, B. racemosa, dan B. sapida. Namun, dari semua jenis itu umumnya berasa masam sehingga pemanfaatannya belum komersial. Masyarakat di Pulau Kalimantan memanfaatkannya sebagai bumbu saat memasak ikan atau manisan.
“Selama ini hanya menjadi santapan binatang seperti kelelawar, burung, dan monyet,” kata Tukirin. Bagian yang dimakan ialah aril karena juicy dan rasanya manis-manis masam. Kelelawar paling suka memakan buahnya karena tersusun di tandan sehingga memudahkan mamalia terbang itu menyambarnya. Pemanfaatan lain ialah sebagai pohon penghijauan. Di kompleks perkantoran LIPI di Cibinong, Kabupaten Bogor, tumbuh sekitar 100 pohon Baccaurea racemosa sebagai pemisah jalan dan untuk penghijauan. “Daunnya sangat rimbun dan tidak mudah rontok,” ujar ayah 2 anak itu.

Tukirin menjelaskan baccaurea merupakan tumbuhan penyusun hutan primer. Ia tumbuh menjadi tanaman pengisi lapisan bawah. Lapisan hutan teratas diisi pohon-pohon tinggi seperti kelompok Dipterocarpaceae atau meranti-merantian. “Meski ternaungi, ia tetap dapat berbunga dan berbuah lebat,” katanya. Buahnya muncul dari pangkal batang hingga cabang dan ranting.
Penyebaran tanaman itu dibantu hewan seperti kelelawar, burung, dan monyet. Namun, bijinya tidak mudah berkecambah. Perlu perlakuan khusus agar seluruhnya berkecambah. Menurut Tukirin bagian aril atau selaput biji harus dibuang jika hendak disemai. Bila tidak, bisa menjadi tempat berkembangnya cendawan. Itulah yang terjadi pada buah tampui di hutan.
Karena aril tidak hilang seluruhnya, cendawan pun merusak biji sehingga gagal berkecambah. Andai semua biji baccaurea berkecambah di alam, maka hutan bisa dipenuhi oleh keluarga Euphorbiaceae itu. (Syah Angkasa/Peliput: Imam Wiguna)