Masyarakat perkotaan gemar menanam sayuran di halaman atau dak rumah. Hasil penjualan menambah penghasilan.
Beragam sayuran seperti bayam merah, cabai, kangkung, dan pakcoy tumbuh subur di pipa polivinil klorida di teras rumah Tengku Hazmi. Warga Gunungputri, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, itu menata sayuran itu secara bertingkat. Tepat di bawah rak sayuran terdapat kolam ikan berbahan serat berdiameter dua meter. “Kolam berisi 400 nila,” kata Hazmi. Ia menerapkan teknik akuaponik alias budidaya ikan dan tanaman secara bersamaan.

Di atas dak garasi seluas 30 m² itu Hazmi menanam 1.800 sayuran yang tertata sangat rapi dengan tingkat kepadatan tinggi. Alumnus Teknik Elektronika, Politeknik Negeri Jakarta itu sangat efisien menggunakan “lahan”. Ia menggunakan jarak antarlubang tanam 10 cm dan mengatur pipa polivinil klorida itu tanpa sela. Di atas rumah itu Hazmi juga membuat dua kolam semen berukuran 2 m x 1 m masing-masing kolam berisi 500 lele.
Lebih efisien
Singkat kata Hazmi tak membiarkan ruang kosong tak berguna. Pria 35 tahun itu menanam sayuran di atap, selasar, dan teras. Di tembok teras pun ia gantungkan pipa bertingkat untuk menanam sayuran. Ketika panen ia cukup menarik pipa kemudian mengambil sayuran dari lubang tanam. Panen pada 18 Oktober 2016 Hazmi memanen 7 kg lele dan 10 kilogram sayuran.

Dengan harga Rp25.000 per kilogram lele dan Rp13.000—Rp20.000 per kg sayuran, omzetnya Rp305.000—Rp375.000. Citarasa sayuran dan ikan hasil panen Hazmi juga enak dan renyah. Tinggal di kawasan padat penduduk dan lahan terbatas bukan hambatan berkebun. “Saya ingin rumah tampak asri dengan keberadaan tanaman,” kata ayah empat anak itu. Oleh sebab itu ia memanfaatkan ruang-ruang kosong di rumahnya untuk berkebun.
Eva Lasti Apriyani Madarona di Setiabudi, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, melakukan hal serupa. Eva menanam beragam sayuran, seperti selada, kale, dan aneka herbs dengan teknik hidroponik nutrient film technique (NFT) sejak akhir 2012. “Hidroponik teknik budidaya yang cocok diterapkan di perkotaan karena tidak menuntut lahan subur dalam budidayanya,” ujar perempuan berusia 33 tahun itu.

Ia menanam sayuran dengan memanfaatkan halaman samping, balkon lantai dua, dan atap rumah. “Luasannya sekitar 150 m² dengan jumlah mencapai 1.200 lubang tanam,” kata perempuan kelahiran 30 April 1983 itu. Meski menanam di lahan sempit sayuran Eva menembus pasar modern. Ia mampu menjual rata-rata 100—200 tanaman setiap pekan yang memberikan omzet minimal Rp500.000—Rp750.000 atau Rp2-juta—Rp3-juta per bulan.
Ia relatif mudah memasarkan sayuran hasil budidaya rumahan. “Asalkan tanaman mulus dan segar pasti diterima pasar, “ kata Eva. Ia membanderol selada Rp5.000—7.500 per tanaman. Sementara harga kale bervariasi, tergantung umur tanaman. Kale muda berumur 20—30 hari, misalnya, ia patok Rp10.000, remaja (35 hari) Rp15.000, dewasa (50 hari) Rp18.000—semua harga per tanaman. Sementara untuk harga per kilogram kale, ia membanderol Rp120.000.

Meski demikian, bukan berarti menanam sayuran rumahan—mengacu pada budidaya beragam sayuran di rumah dan sekitarnya dengan memanfaatkan ruang kosong—tanpa aral. Banyak hambatan mengadang para petani rumahan (baca boks: Hambatan Bertani di Rumah halaman 12).
Tren di perkotaan
Jika beragam hambatan teratasi, pekebun berpeluang menangguk laba. Lihat saja Muhammad Iqra di Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yang berjarak 120 km dari Jakarta juga memasok sayuran ke pasar swalayan. Kesinambungan pasokan bukan berasal dari lahan luas. Iqra menanam kangkung, sawi, dan selada di dak rumah berukuran 5 m x 4 m. “Pemilihan sayuran itu karena peminatnya banyak dan harga cenderung stabil,” kata Iqra.
Alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga itu mulai berkebun sayuran di rumah sejak Juli 2016. Panen perdana pada 19 Oktober 2016 silam ia berhasil menjual 8 kilogram sayuran ke pasar swalayan Rp5.000 per 150—200 gram. Dari penjualan itu Iqra mendapat omzet Rp200.000. Modal awal yang ia keluarkan Rp500.000. Dengan masa panen sekitar 2 bulan, maka pengeluaran modal itu akan tertutup kurang dari satu tahun.

Menurut Iqra permintaan pasar terhadap sayuran cukup banyak. “Ada tiga cabang pasar swalayan yang meminta sayuran,” ujar pria berusia 48 tahun itu. Karena keterbatasan produksi ia belum bisa memenuhinya. Pekebun sayuran rumahan di Sukabumi, Fariz Nugraha, mengatakan hal serupa. “Permintaan mencapai 100 ikat sayuran per hari,” ujarnya. Dari jumlah itu Fariz hanya bisa memasok 40%.
Kegiatan berkebun di rumah dengan lahan yang minim kini memang sedang marak. Sita Pujianto di Ciledug, Kota Tangerang, Provinsi Banten, memanfaatkan balkon lantai dua untuk menanam beraneka sayuran. Sita memanfaatkan “lahan” seluas 2 m x 3 m. Di area itu ia menanam sayuran di pot dan talang sebagai wadah tanam selada bokor dan radis. Bahkan pagar teras lantai dua rumah ia desain khusus untuk tempat menggantung pot tanam.
Itu menunjukkan bahwa menanam sayuran rumahan bisa di mana saja (lihat infografis: Di Mana Saja Bisa Tanam, halaman 11). Sita berkebun karena ingin memproduksi sayuran yang sehat. “Dengan menanam sendiri kita tahu kualitas sayuran yang dihasilkan,” tuturnya. Sita menanam berbagai jenis sayuran, antara lain bayam, radis, selada, terung, bit, dan seledri.

Nun di Pondokaren, Tangerang, Sri Ika Yunisilawati memanfaatkan halaman rumah untuk berkebun. Ika mengelola akuaponik di halaman samping dan depan rumah. Ia menerapkan tujuh model akuaponik untuk membudidayakan kangkung, bayam merah, sawi, mint, dan terung. Sementara di kolam ia membudidayakan lele dan nila. Tren berkebun rumahan juga melanda Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Syafei Muhammad yang mengajak warga di perumahan Perumahan Kandri Asri, Semarang, untuk membudidayakan sayuran dan ikan sekaligus alias akuaponik.
Komunitas berkebun

Banyak warga tertarik dan membentuk komunitas. Syafei lebih dahulu memanfaatkan halaman rumahnya untuk membudidayakan sayuran dengan teknik akuaponik. Total terdapat 20 warga yang menerapkan akuaponik. Berkembangnya pertanian perkotaan juga tampak dari bermunculan komunitas seperti Komunitas Petani Kota (KPK), Belajar Akuaponik Indonesia (BAI), Indonesia Berkebun, dan Asosiasi Hidroponik Karawang (AHIK).
Kegiatan pertanian perkotaan juga sejalan dengan program pemerintah. Guna mendukung peningkatan ketahanan pangan dan gizi keluarga, Kementerian Pertanian mengembangkan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).
KRPL memanfaatkan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan. Sejak 2010—2012 sebanyak 5.700 desa yang tersebar di 363 kabupaten atau kota di 33 provinsi melaksanakan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan.
Bank Indonesia (BI) pun turut serta menggerakkan pertanian perkotaan dalam penyaluran dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Bank Indonesia menggandeng anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Majalah Trubus untuk mengembangkan pertanian perkotaan pada Juni 2015–1 Maret 2016. Para anggota PKK di 15 kelurahan di Jakarta menanam sayuran di sekitar rumah. Meski secara resmi kegiatan itu usai, para penerima manfaat tetap menjalankan kegiatan menanam. Sere Rohana Napitulu di Makasari, Jakarta Timur, melanjutkan penanaman beragam sayuran seperti okra, terung, jagung, dan kelor.

Ia menanam beragam sayuran dengan teknik vertikultur atau budidaya bertingkat. Perempuan 56 tahun itu menggunakan pipa polivinil klorida (PVC) berukuran 3,5 inci setinggi 150 cm. Total terdapat 6 pipa untuk budidaya seledri. Apium graveolens itu tumbuh subur di sekujur pipa. Dengan vertikultur pipa, di lahan sempit pun masyarakat berpeluang membudidayakan sayuran. Sebab, sebatang pipa hanya membutuhkan luasan 30 cm².
Menurut Sere pertanian perkotaan menguntungkan dan menjadi penghasilan tambahan. Contoh ketika ia membudidayakan kangkung vertikultur mampu menjual Rp10.000 per rak sepanjang satu meter. Padahal, Sere mempunyai 20 rak sehingga omzetnya mencapai Rp200.000 tiap bulan hanya dari kangkung. Adapun komoditi lainnya seperti okra, Sere kerap menjualnya per buah hingga per tanaman dalam polibag.
Perempuan asal Balige, Sumatera Utara, menjual hampir 100 tanaman dengan harga Rp25.000 per pot. Untuk terung, Sere sudah menjual 50 buah dengan harga Rp 2.000 per buah. “Pemasaran tidak susah, oleh ibu-ibu sekitar kompleks juga habis,” kata Sere. Rekan Sere, Tri Sugiharti di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dan Joko Sarjono di Kemayoran, Jakarta Pusat, melakukan hal serupa.
Multiguna
Menanam sayuran sendiri di rumah bukan hanya memberi tambahan pendapatan dan membuat lingkungan lebih estetis. Kegiatan itu juga mampu menekan biaya pengeluaran keluarga. Faedah lain, menghasilkan sayuran yang lebih sehat. Lily Kusrini di Kota Depok, Jawa Barat, berkebun tanpa bahan kimia.
“Saya ingin memberikan sayuran sehat dan segar bagi keluarga,” kata ibu dua anak itu. Kegiatan pertanian perkotaan juga bisa menghilangkan penat. Menurut Sita meluangkan waktu sejenak berada di tengah sayuran nan hijau dapat menyegarkan pikiran. Menurut peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi DKI Jakarta, Dr Yudi Sastro MP, dalam dua tahun terakhir tren pertanian perkotaan memang meningkat.
Penambahan jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan pangan naik, bertambahnya masyarakat menengah ke atas, dan kebutuhan terhadap bahan pangan sehat menjadi pemicu semakin banyak masyarakat berkebun. Pemicu lainnya, “Perkembangan media sosial yang semakin booming,” kata Yudi. Keberadaan media sosial sebagai gerakan arus informasi, menjadi media komunikasi masyarakat kota.
Bagi doktor Mikrobiologi alumnus Universitas Gadjah Mada itu berkebun rumahan sesuatu yang menarik. Itu karena berkebun rumahan tidak hanya melibatkan bagaimana memproduksi bahan pangan tetapi juga melibatkan ekologi, estetika, gaya hidup, budaya, teknologi, dan ekonomi. Dalam pelaksanaan pertanian perkotaan, pekebun memiliki beragam pilihan menanam di lahan sempit seperti teknik hidroponik, akuaponik, vertikultur, atau menggunakan wadah pot (polibag) (lihat infografis: Pilihan Bertanam).
Yudi Sastro menjelaskan pemilihan teknik penanaman sesuai dengan kebutuhan. Bagi yang menginginkan penanaman mudah dan murah dapat menerapkan vertikultur atau penanaman di pot (polibag). Bila orientasinya bisnis dengan titik berat volume produksi yang tinggi, pilih saja hidroponik. Sementara bagi individu yang ingin mengefisienkan lahan bisa menerapkan akuaponik. “Dengan akuaponik dapat memanen ikan dan sayuran sekaligus,” ujarnya.
Yudi berharap, “Pertanian perkotaan dapat berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan kecukupan pangan,” ujarnya. Bila kecukupan pangan terpenuhi, manfaat lainnya dapat meningkatkan perekonomian keluarga. Sebab dengan urban farming tidak hanya menjual sayuran, tetapi dapat menjual benih, bibit, instalasi, hingga menumbuhkan agrowisata. (Desi Sayyidati Rahimah/Peliput: Andari Titisari, Marietta Ramadhani, Muhamad Awaludin, Muhamad Fajar Ramadhan, & Syah Angkasa)