Lereng Muria yang terbakar dan langganan penjarahan, kini kembali hijau.
Batang-batang pohon berdiameter 15 cm berserakan. Sebagian sudah dipotong sepanjang 2 meter siap angkut. Sisanya tampak baru saja selesai ditebang. Pemandangan di lereng Gunung Muria itu membuat perasaan Muhamad Sokib Garno Sunarno campur-aduk. “Antara terkejut, sedih, dan marah melihat hutan warisan nenek moyang rusak akibat penjarahan dan pembalakan liar,” ujar warga Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah itu.
Kekhawatirannya semakin bertambah setelah mengetahui pembalak liar itu menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon-pohon. Ia berpikir kerusakan lingkungan dalam skala besar sudah di depan mata jika tidak segera dihentikan. Peristiwa itu terjadi pada 1998.
Mengajak masyarakat
Sokib mengatakan, kerusakan hutan melanda nyaris seluruh bagian hutan Gunung Muria. Sebagian hutan lindung dalam pengelolaan Perhutani itu bahkan ada yang berubah fungsi menjadi area penanaman sayuran. Sokibberusaha memberikan edukasi tentang pentingnya hutan untuk kehidupan manusia di sekitarnya.
Ayah dua anak itu memanfaatkan media pengajian dan pertemuan warga sebagai ajang untuk menyampaikan misi mulianya. Sokib juga menemui tokoh-tokoh masyarakat dan wakil pemerintahan untuk meminta bantuan menyebarkan pengetahuan kepada warga desa. Untuk mempercepat terciptanya aksi penyelamatan hutan, pada 29 November 1999 ia terbentuk Paguyuban Masyarakat Pelestari Hutan (PMPH) Muria dengan anggota 45 orang.
Mereka memantau hutan. Jika menemukan kerusakan atau pelaku kerusakan hutan, PMPH melaporkan kepada kepolisian. Kekompakan mereka pun diuji saat terjadi kebakaran di lereng Argo Piloso—merupakan rangkaian Pegunungan Muria—pada 2000.
PMPH bergotong royong memadamkan kawasan terbakar yang merupakan sumber mata air yang sangat vital bagi warga. Pascakebakaran hutan itu, PMPH menanam bibit pohon beragam pohon. Untuk mengembalikan keanekaragaman tanaman hutan dengan membawa berbagai macam biji buah seperti mangga, rambutan, sawo, dan salak saat pemantauan. Sepanjang perjalanan mereka menyebar biji-bijian yang mereka bawa itu ke segala arah menggunakan ketapel.
Tanaman baru mulai banyak tumbuh dan menghijaukan kembali lereng Muria di bagian selatan itu. Namun, kebakaran hutan kembali terjadi pada September 2015 di kawasan Argo Piloso. Musibah itu menyebabkan empat hektare pohon kayu keras dan tumbuhan lain ludes terbakar. Berbagai musibah yang terjadi di tengah perjalanan misi penyelamatan hutan Muria tidak membuat PMPH patah semangat.
Sekretaris PMPH, Pranyoto, mengatakan, ”Kami menyadari bahwa gerakan penyelamatan hutan tidak mungkin dikerjakan oleh PMPH saja. Semua pihak perlu melakukan, sampai saat ini kami merangkul berbagai pihak untuk bersama melestarikan hutan Muria.” Mereka juga rutin melakukan reboisasi antara lain menanam parijoto Medinilla speciosa dan kopi. Parijoto buah khas lereng Muria yang tumbuh di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut.
Pranyoto mengatakan, sejatinya, kopi Muria adalah salah satu komoditas unggulan sejak zaman penjajahan Belanda. Begitu istimewa citarasanya sehingga produk kopi Muria menjadi salah satu favorit Ratu Wilhelmina pada saat itu. “Penanaman kopi sebagai usaha reboisasi sempat terhenti pada tahun 2005 karena isu lahan di hutan rakyat akan diambil alih Perhutani. Namun, saat ini reboisasi tanaman kopi terus dilaksanakan dan menjadi hasilnya dapat menjadi tambahan penghasilan masyarakat,” ujarnya.
Perhatian Bupati
Kiprah Sokib dan PMPH ramai menjadi perbincangan masyarakat setelah pada Juli 2016, Bupati Kudus Musthofa mendaki hutan lereng Muria bersama stafnya. Rombongan bupati dan PMPH mendaki menggunakan sepeda motor berkapasistas mesin besar yang khusus disiapkan untuk menerjang jalanan menanjak lereng pegunungan. Mereka menuju titik yang banyak ditanami pohon parijoto, yakni di petak 47 hutan Pegunungan Muria Kudus.
Buah kecil berwarna ungu kemerah-merahan itu pun tampak bergerombol di tiap tangkai. Buah yang berkhasiat mempercepat kehamilan itu pun tampak indah dengan warna mencolok. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengganjar Sokib dengan penghargaan bergengsi, Kalpataru. Presiden Joko Widodo memberikan kalpataru pada hari lingkungan hidup dunia di Istana Siak, Provinsi Riau, pada 22 Juli 2016.
Sokib memiliki jurus ampuh untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya memelihara hutan sebagai pelindung mata air. Ia akan berkata: “Pak, bu, kalau pohon terus ditebangi, kalau sumber air habis, bagaimana? Beli beras saja susah apa mau ditambah beli air?” Berkat kiprah Sokib dan PMPH, kini lereng Muria di sisi Kabupaten Kudus kembali hijau dan masyarakat selalu tercukupi kebutuhan airnya meskipun saat musim kemarau panjang. (Muhammad Hernawan Nugroho)