Tumbuhan multiguna yang masih dipandang sebelah mata.

Sembari makan siang, petani di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Aventinus Sadip, memperhatikan tamunya yang hanya menikmati sayuran. Tamu dari Jakarta itu menikmati benar sayuran bersantan itu. Sementara ayam goreng yang terhidang di meja itu hampir tak tersentuh. Ketika Sadip berujar, “Silakan dicicipi ayam gorengnya,” barulah sang tamu mengambil sepotong ayam kampung itu.

Menu yang terhidang siang itu adalah sayuran paku nan lezat. Masyarakat kerap menganggap paku-pakuan sebagai tumbuhan liar dan kurang bernilai ekonomi. Padahal, masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai pangan sehari-hari-hari untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga. Bahkan, beberapa jenis tumbuhan paku bermanfaat sebagai tanaman hias, bahan kerajinan tangan, bahkan untuk bahan bangunan.
Paku sayur
Jenis paku-pakuan lain kaya zat bioaktif, seperti agen antikanker, antibakteri, antioksidan, dan antiinflamasi. Sayangnya eksplorasi dunia paku-pakuan sebagai sumber daya genetik dan biokimia yang mempunyai nilai komersial masih terbatas. Riset untuk menemukan agen-agen bioaktif pun kurang bergairah. Tumbuhan paku merupakan kandidat yang berpotensi besar sebagai sumber produk pangan, kosmetik, dan farmasi.
Di antara aneka jenis paku-pakuan, masyarakat paling banyak memanfaatkan paku sayur Diplazium esculentum sebagai bahan pangan. Cita rasanya pun paling enak. Daun muda D. esculentum yang masih menggulung dapat disajikan langsung sebagai lalapan dan salad. Masyarakat juga dapat mengolahnya dengan berbagai bumbu menjadi aneka hidangan lezat. D. esculentum juga kaya nutrisi yang berguna bagi tubuh.
Dalam 100 gram daun segar D. esculentum mengandung setidaknya 100 gram air, 3,1 gram protein, 0,3 gram lemak, 3,9 gram karbohidrat, 1,2 gram serat, 1,3 gram abu, 115 miligram fosfor, 22 miligram kalium, dan 1,2 miligram besi. Data itu menunjukkan, paku sayur merupakan sumber fosfor dan zat besi yang bagus. Hasil penelitian dari Assam, India, membuktikan kandungan asam askorbat D. esculentum mencapai 23,59 mg per 100 gram.

Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan dengan kubis Brassica nigra yang hanya mengandung 8,50 mg asam askorbat per 100 gram. Paku sayur sejatinya tersebar di banyak daerah di Indonesia. Suku Sunda menyebutnya paku beunyeur atau paku leuheur. Adapun Suku Bali menyebutnya paku jukut, paku kedis, atau pakis wilis. Yang menarik setiap daerah di Indonesia memiliki hidangan khas berbahan paku sayur.
Contohnya warga Sumatera Barat yang mengolah paku sayur menjadi gulai atau oseng. Warga Jawa Barat dan Jawa Tengah menyajikan paku sayur sebagai lalapan atau hidangan bersantan. Warga India memasak paku sayur menjadi kari yang lezat atau dimasak bersama ikan teri atau udang rebon. Di sejumlah restoran bahkan menjadikan menu makanan berbahan paku sayur sebagai menu andalan.
Selain itu berbagai negara, seperti Tiongkok bagian tengah, Jepang bagian selatan, dan seluruh kawasan tropika basah Asia dan Polinesia juga mengenal paku sayur. Nama lokalnya berbeda-beda di setiap negara. Di Malaysia, misalnya, disebut dengan paku tanjong atau paku benar. Sementara masyarakat Thailand mengenal nama phak kuut khai, sedangkan warga Jepang menyebut kuwareshida.
Lahan terbuka
Paku sayur juga menjadi penolong bagi peneliti, petugas kehutanan, dan pendaki gunung yang kerap keluar-masuk hutan. Mereka cukup mencari paku sayur bila stok makanan mulai menipis. Mereka tak perlu khawatir kekurangan gizi selama perjalanan. Mereka bisa memasak paku sayur bersama mi. Di alam D. esculentum biasa tumbuh di sepanjang aliran sungai, tanah terbuka, dan rawa-rawa.

Kelompok D. esculentum menyukai tanah agak asam dengan sinar matahari cukup dan bersuhu hangat. Mereka hidup sentosa di hutan-hutan di kawasan berketinggian 5—1.600 meter di atas permukaan laut (m dpl). Tumbuhan yang memiliki sinonim Hemionitis esculentum itu tergolong terestrial, herba, atau semak. Rimpang tegak dan menyerupai batang dengan tinggi mencapai 100 cm di atas permukaan tanah.
Bagian bawah D. esculentum seringkali tertutup akar-akar gelap membenang atau kawat halus. Bagian atas ditutupi sisik coklat menggaris berukuran 10 mm x 1,2 mm. Pinggir sisik bergerigi, berujung lancip, dan berpinggiran hitam. Letak daun mengumpul pada ujung rimpang. Lembaran daun berbentuk lanset dengan ukuran 50—150 mm x 50—100 mm. Tangkai daun kokoh dengan diameter dan panjang masing-masing 5—10 cm dan 50—80 cm.
Adapun warna tangkai daun kehitaman di bagian pangkal, tetapi hijau pucat di bagian atas. Daun muda D. esculentum menyirip ganda satu, sedangkan daun dewasa menyirip ganda dua. Warna daun hijau gelap, tipis, dan mengertas. Pinna alias anak daun pertama berbentuk bulat telur, tetapi agak menyempit di bagian menuju ujung. Ukuran pinna sekitar 50 cm x 27 cm.
Sementara pinnul alias anak daun kedua menggaris-melanset dengan ukuran 8—15 cm x 1,5—2,8 cm. Urat daun D. esculentum menyirip pada tiap-tiap ringgitan. Sebanyak 8—10 pasang urat daun lateral, sedangkan 2—3 pasang daun terbawah bertemu dengan urat daun dari ringgitan berikutnya sehingga membentuk jala. Sorus alias kumpulan kotak spora memanjang dan berbentuk ginjal.

Sekitar 1—4 pasang bagian pangkal berjumlah ganda atau diplazioid. Sorus menutupi hampir seluruh bagian dari urat daun utama. Sorus juga memiliki indusium atau yang merambak dan sempit. Spora merupakan bahan perbanyakan D. esculentum secara generatif. Perbanyakan vegetatif dapat dilakukan dengan bagian rimpang dan stolon.
Herbal
Selain berfaedah sebagai sayur, D. esculentum juga berkhasiat herbal. Warga Bangladesh mengenal paku sayur sebagai penawar gangguan perut dan pembangkit selera. Hasil penelitian etnobotani pada suku Wera dan Garo di Bangladesh melaporkan kedua suku itu memanfaatkan dheki shak—sebutan paku sayur di Bangladesh—untuk menyembuhkan lepra. Mereka cukup mengonsumsi dheki shak setiap hari layaknya sayuran biasa.
Sementara kaum perempuan di India merebus daun paku sayur sebagai ramuan usai melahirkan. Mereka juga meminum air rebusan itu untuk menghalau batuk ringan dan batuk berdarah. Ekstrak daun dewasa berkhasiat menurunkan demam dan mengusir campak. Tumbukan daun linguda—sebutan paku sayur di India—juga ampuh mengurangi bau badan dan mengobati radang kulit atau dermatitis.

Mereka juga memanfaatkan bubuk rimpang dengan melarutkannya dalam air, lalu meminumnya untuk meringankan diare, disentri, dan gangguan pencernaan lain. Orang India juga menggunakan daun muda kotira—sebutan lain paku sayur di India—untuk obat pencahar. Hasil penelitian fitokimia membuktikan D. esculentum mengandung sejumlah bahan fitokimia.
Analisis menggunakan gas chromatography mass spectroscopy (GCMS) memperlihatkan ekstrak etanol rimpang D. esculentum mengandung aneka jenis senyawa fitokimia, seperti asam tetradekanoat (228 mg), n-heksadekanoat (256 mg), oktadecane (254 mg), asam pentadekanoat (242 mg). Beberapa senyawa lain adalah heksahidrofarnesil aseton (268 mg), asam oktadekanoat (284 mg).
Daun segar D. esculentum juga mengandung flavon prosianidin, kuersetin-3-rutinosida, kaempferol-3-rutinosida, quercetin-3-glucosida; dan eriodictol 5-O-methyl ether 7-B-D-xylosygalactosida. Selain itu paku sayur juga mengandung asam siringat, komponen utama dari asam fenolik, dan asam protokatekuat. Beberapa negara seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Papua Nugini menganggap D. esculentum sebagai sebagai tumbuhan paku yang penting untuk konsumsi manusia.
Itulah sebabnya paku sayur juga berpotensi digunakan sebagai pangan fungsional. Di Filipina paku sayur sudah dikebunkan menggunakan teknik penanaman tunggal maupun tumpangsari di antara pepohonan. Yang istimewa, pekebun paku sayur di Filipina mampu memproduksi 20 ton paku sayur per hektare setiap tahun.
Budidaya

Untuk membudidayakan paku sayur perlu kondisi basah dan naungan selama musim kering. Mereka mampu bertahan hidup di tanah-tanah miskin hara dan basah. Percobaan di Serawak, Malaysia, menunjukkan hasil panen D. esculentum yang ternaungi meningkat secara linear dengan meningkatnya pemberian pupuk NPK. Pekebun bisa memanen daun-daun muda paku sayur pada umur 2—3 tahun jika tanaman berasal dari spora.
Panen lebih cepat jika menanam tanaman hasil perbanyakan stolon, saat tanaman berumur 6 bulan. Jika hendak disimpan, pekebun dapat mengeringkan daun paku sayur bawah sinar matahari. Daun yang dikeringkan di bawah naungan berkualitas lebih baik dibandingkan dengan daun yang dikeringkan menggunakan alat. Daun-daun yang sudah kering kemudian disimpan di tempat kering.
Di Filipina paku sayur juga berfaedah sebagai tanaman hias di pekarangan rumah. Mereka memanfaatkan akar-akar kawat paku sayur sebagai media tanam anggrek. Daun tua paku sayur juga berguna sebagai bahan baku pupuk hijau. Dengan berbagai kegunaan itulah perlu penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan paku sayur di tanahair. (Dr Titien Ngatinem Praptosuwiryo, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)