
Penampilan lidah buaya hibrida yang memesona.
“Akhirnya datang juga!” teriak Sugita Wijaya, kolektor di Surabaya ketika sebuah paket tiba di rumahnya. Ia segera membuka paket itu dan mengeluarkan isinya. Takjublah ia melihat sesosok lidah buaya Aloe sp berwarna seronok dalam genggamannya. Bentuk daun segitiga, lebar, pendek, dan roset. Setiap helaiannya tersusun rapat dan kompak. Permukaan daun tanaman sukulen itu tertutup oleh pola berbentuk garis pendek berwarna merah menyala.
Bila permukaan daun disentuh terasa kasar. Duri di tepi daun pun berwarna senada. Sekilas aloe hibrida karya penyilang lidah buaya di Amerika Serikat, itu mirip nyala api. Pantas saja bila sang penyilang memberi nama Aloe cv fire alarm. Sugita Wijaya menuturkan fire alarm merupakan hibrida eksklusif dan belum ada di pasaran. Proses tawar-menawar sempat terjadi lantaran sang empunya enggan melepas.

Satu induk
Semula alarm api itu koleksi pribadi dan belum diperbanyak. Namun, jalinan persahabatan antara keduanya membuat hati sang penyilang luluh. Akhirnya, tanaman berdaun 10 itu berhasil dimiliki Sugita dengan harga 500 US$ setara Rp5-juta. Selain fire alarm, pehobi kaktus dan sukulen di Surabaya, Jawa Timur, itu juga mendatangkan lidah-lidah buaya hibrida berpenampilan menarik, di antaranya A. cv viper dan A. cv chewbaca.
Viper incaran para pencinta aloe karena bersosok unik. Ukuran daunnya pendek, sempit, dan berujung runcing. Setiap helai daun melengkung ke dalam. Daun viper itu berwarna keunguan dan penuh duri-duri merah berbentuk mirip taring. Chewbaca juga tak kalah cantik. Warna daun hijau terang. Bintil-bintil kasar berwarna jingga dan putih menghiasi permukaan daun tanaman anggota keluarga Xanthorreacea itu.
Duri yang berjejer rapi di tepi daun pun berwarna senada membuat tampilannya semakin elok. Sugita menuturkan fire alarm, viper, dan chewbaca kemungkinan berasal dari indukan yang sama. Pasalnya, ketiga hibrida itu memiliki bentuk serupa. “Biasanya penyilang memperoleh beragam jenis tanaman dari hasil persilangan dua induk,” ujarnya. Sayang, ia tidak mengetahui tetua yang digunakan untuk menghasilkan aloe rupawan itu. Musababnya, proses persilangan berlangsung selama puluhan tahun dan menggunakan beragam indukan, baik berupa aloe spesies maupun hibrida.

Ketua Cactus and Succulent Society of Indonesia (CSSI) itu juga mengoleksi A. cv confused dan A. cv kelly blue. Confused berdaun panjang dan melengkung ke dalam. Warna daunnya hijau toska. Duri yang terdapat di permukaan daun sangat kecil dan halus, sementara duri di pinggir daun nyata dan tegas. Duri-duri itu berwarna merah kontras dengan warna daun. Sementara itu, sosok kelly blue terlihat berbeda dari aloe lainnya dengan bentuk daun cenderung datar dan panjang. Warna daunnya kebiruan. Permukaan daun mulus bebas duri. Keberadaan duri kemerahan hanya ditemukan di pinggir daun.
Kolektor mobil antik itu juga memiliki A. cv orange marmalade. Sejatinya, orange marmalade memiliki warna daun keabu-abuan. Namun, bintil-bintil berwarna jingga mendominasi permukaan daun. Duri di tepi daun juga berwarna serupa. Akibatnya, warna dasar daun tertutup sempurna. Warna orange marmalade tetap jingga meski diletakkan di tempat dengan sinar matahari penuh.

Di tangan Sugita, aloe istimewa itu tumbuh sehat. Daun baru bermunculan tanda tanaman hidup nyaman. Pria yang berprofesi sebagai arsitek itu menyimpan koleksinya di rumah tanam beratap plastik ultraviolet dengan persentase cahaya masuk 80%. Ia menuturkan merawat aloe cukup mudah asal media tanam tepat. “Aloe menyukai media tanam porous,” ujarnya. Penyiraman dilakukan dua kali sepekan saat musim kemarau dan sekali sepekan bila musim hujan. Untuk memunculkan keindahan warna aloe ia menyarankan untuk memaksimalkan paparan sinar matahari ke tanaman setiap hari.
Silangan anyar
Sugita jatuh cinta pada aloe sejak 4 tahun silam. Total jenderal aloe hibrida koleksinya mencapai lebih dari 20 jenis. Kini ia bersama Eko Wahyudi dan Aliza Arief, keduanya pehobi sukulen di Cianjur, Jawa Barat, menciptakan proyek aloe hibrida baru menggunakan indukan dari koleksi mereka dalam naungan CSSI. Aliza Arief, misalnya, kerap mendatangkan aloe hibrida dari mancanegara untuk melengkapi koleksinya.

Persilangan yang digawangi oleh Eko Wahyudi itu mempertemukan A. cv diego dengan A. cv donnie, masing-masing sebagai tetua betina dan jantan. Diego berdaun hijau terang dan tersusun rapat mengarah ke atas. Pada bagian tepi daun terdapat duri halus berwarna putih. Demikian pula dengan bintik berwarna senada yang mendominasi tekstur permukaan daun. Sementara itu, donnie berdaun hijau kecokelatan dan dipenuhi bintik merah senada dengan duri di tepi daun.
Persilangan pada 2 tahun silam itu menghasilkan aloe baru berkarakter cantik. Daun tebal berbentuk segitiga memanjang dengan warna dasar hijau toska. Permukaan atas daun dipenuhi duri berbentuk kait berwarna putih bersemu merah muda. Lazimnya, duri penampang daun aloe berbentuk segitiga atau persegi.
Sementara itu, di penampang bawah daun bermunculan tonjolan putih memanjang yang memperkaya tekstur daun. “Ini baru silangan awal. Kami masih belum puas dan akan melakukan serangkaian persilangan lanjut untuk memperoleh hibrida yang lebih istimewa dan merupakan karya anak bangsa Indonesia” ujar Eko Wahyudi. (Andari Titisari)
