Berbagai cara sudah dilakukan Bejo untuk mendapatkan red claw ukuran konsumsi diatas 6 inci. Cara rafi a dan sekat terbuka pun pernah di cobanya. Namun, ukuran lobster yang dihasilkan tak sesuai harapan. “Rafi a cukup bagus untuk menghasilkan lobster baby, bukan untuk yang jumbo,” ujar Bejo. Dengan teknik itu, ukuran lobsternya maksimal 5 inci. Pun dengan teknik sekat terbuka yang tingkat kanibalismenya sangat tinggi; dari 300 ekor yang ditanam, hanya 70 yang bisa dipanen.
Semua permasalahan itu dapat diatasi dengan waring, cara yang tak sengaja ditemukannya. Awalnya, ia menggunakan waring sebagai pembatas di keramba-keramba pembesaran. Suatu ketika waring terlepas ikatannya dan tercebur ke dalam kolam dengan bentuk tak beraturan. Setelah diamati ternyata banyak red clow peliharaannya bersembunyi dan betah bermain-main di waring itu. Dari sanalah ia dapat ide memelihara lobster dalam waring.
Tekan kanibalisme
Sistem sederhana itu terbukti menekan kanibalisme hingga 5—10%. Dari 110 ekor yang ditanam, ia mampu panen 100 ekor. Artinya, hanya 10 ekor yang mati. Ukurannya juga jauh lebih besar dan seragam. “Setelah dipelihara selama 7—8 bulan dengan sistem waring, lobster tumbuh bongsor sampai 7 inci, setara dengan bobot 10—12 ekor/kg,” kata Bejo.
Modifi kasi dari teknik rafi a ini juga mampu meningkatkan populasi tebar. Itu lantaran lipatan-lipatan waring bersap-sap. Lipatan itu menjadi tempat bersembunyi dan bermain lobster. Kalau semula Bejo hanya menyemplungkan 110 ekor, kini berani menambah hingga 150 ekor. Sebetulnya menurut Bejo, dengan luasan kolam 1,5m x 2m bisa menampung lobster lebih banyak lagi. Namun, ia membatasi populasi agar kualitas air dan lobster tetap bagus. Bejo menyarankan sebaiknya waring yang digunakan tidak hanya satu dalam setiap kolam. Setiap sudut kolam hendaknya ditaruh waring. Jadi, dalam satu kolam bisa 3 sampai 5 waring, tergantung ukuran.
Dengan waring itu juga pemberian pakan lebih mudah. Alumnus Universitas Bina Nusantara, Jakarta itu cukup meluangkan waktu 10 menit untuk menabur pakan di puluhan kolam lobsternya. Padahal, dulu saat menerapkan sistem EDU (extreme density unit) berjam-jam waktu tersita untuk urusan pakan. Dengan waring proses panen pun lebih mudah, cukup angkat waring,karena lobsterlobster bergelayutan di mata waring.
Jala nelayan
Waring yang digunakan terbuat dari nilon, sama seperti untuk menjala ikan. Nilon cukup kuat sehingga tidak mudah rusak oleh capit lobster. Mata yang digunakan berukuran 5mm. Mata yang terlalu kecil membuat pakan sulit masuk sehingga lobster yang bersembunyi di bawah takkebagian. Begitu pula yang terlalu besar, mudah diterobos lobster.
Potong waring dengan ukuran 50cm x 100cm, lalu dikusutkan dan dicelupkan ke dalam kolam atau bak. Agar tidak mengapung, setiap waring dilengkapi batu bata berlubang sebagai pemberat. Batu bata berlubang itu juga berfungsi untuk tempat lobster bersembunyi saat moulting alias ganti kulit.
Menurut pria kelahiran Jakarta itu, dengan waring menghemat biaya. Untuk kolam berukuran 1.5m x 2m hanya perlu 5 meter waring, Kalau harga per meter waring Rp2500, biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp12.500/kolam. Waring dapat dipakai sampai beberapa periode pembesaran. “Asalkan setiap habis panen dicuci terlebih dahulu dan bagian yang rusak diperbaiki,” kata Bejo. Berdasarkan pengalaman Bejo, sistem waring dapat diterapkan sejak lobster lepas induk atau ukuran larva.
Pakan diberikan 3 kali sehari agar lobster tumbuh bongsor. Pagi sebanyak 25%, sore 25% dan malam 50%. Malam hari perlu diberi pakan karena aktivitas lobster lebih banyak malam hari. Dengan cara itu ia berhasil memperoleh lobster ukuran jumbo. (Dewi Permas)