Api yang semula menyala-nyala menjilati dinding tungku dan kuali tampak meredup. Melihat itu, Sukini bangkit dan mengambil pelepah kering lalu memasukkannya ke dalam tungku. Api kembali membesar membuat nira dalam kuali semakin menggelegak. Semakin lama, nira dalam kuali mengental. Sukini mulai mengaduk. Adonan semakin mengental sehingga pengaduk semakin lama semakin berat.
Selanjutnya perempuan berusia 37 tahun itu menuangkan adonan kental itu ke cetakan kayu yang sepintas mirip papan permainan congklak atau dakon dengan 4 baris lubang berjajar. Keesokan harinya adonan dalam cetakan itu mengeras sempurna menjadi gula merah beku. Bedanya nira yang Sukini aduk itu bukan berasal dari pohon kelapa, melainkan pohon nipah Nypa fruticans.
Tanaman anggota famili Arecaceae banyak tumbuh di sekitar kediaman Sukini di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa yang hanya beberapa ratus meter dari pesisir pantai selatan itu dikelilingi daerah aliran Sungai Pangkuran—anak sungai Serayu dan termasuk kawasan Laguna Segara Anakan. Dekatnya jarak dengan laut menjadikan sungai di sana berair payau—habitat ideal pohon nipah.
Sukini mengambil nira dari 4 lokasi berdekatan. Hanya 1 tempat yang ia miliki sendiri, sisanya menyewa. Sistem sewa di sana sangat unik, bayar sekali untuk seumur hidup. “Pemilik pohon lebih suka mengambil daun sebagai bahan membuat welit (sirap, atap berbahan daun, red),” tutur Sukini. Dengan demikian hubungan pemilik pohon dan penyewa saling menguntungkan.
Pemilik pohon memerlukan daun, sementara penyewa mengambil nira dari tangkai manggar. Tinggi manggar nipah hanya sepinggang orang dewasa. Penyadap nipah tidak perlu bertaruh nyawa memanjat pohon setinggi belasan meter sambil mengggendong bumbung seperti penyadap kelapa maupun lontar. Ibu 4 anak itu mengambil nira pada pagi dan sore, tetapi memasak gula hanya pada pagi hingga siang hari.
Agar nira yang diambil pada sore hari tahan sampai pagi berikutnya, ia mendidihkannya beberapa saat lalu menempatkan dalam wadah tertutup. Esoknya, ia menyatukan nira yang telah menginap semalam itu dengan nira yang diambil pada pagi hari lalu mengolahnya sekaligus menjadi gula merah. Setiap memasak, ia memerlukan waktu 3—4 jam sampai nira mengental dan dituang ke cetakan.
Pengepul keliling membeli gula merah buatannya setiap pekan. Kuali besar yang Sukini gunakan mampu menampung nira hasil sadapan pagi dan sore dari 13—15 pohon, setara 25—30 liter. Jumlah itu menghasilkan 2—3 kg gula merah. Artinya sekilogram gula berasal dari 10—12 liter nira. Rendemen itu jauh lebih sedikit daripada gula kelapa (4—7 l nira per kg gula) atau aren (6—8 l nira per kg gula).
Bagi Sukini menyadap nipah menguntungkan lantaran menganggapnya hanya sampingan dari mata pencaharian utama mereka sebagai petani padi dan tanaman hortikultura. Saat harus membantu suami di sawah, pembuatan gula pun ia hentikan sementara. Itu sebabnya ketika Trubus melihat tanaman nipah yang tumbuh liar di bantaran sungai dekat kediaman Sukini, banyak tandan yang dibiarkan tidak disadap.
“Warga berhenti menyadap nipah untuk menggarap sawah,” kata Kepala Dusun Tilasan, Desa Adiraja, Cilacap, Maryan. Lantaran tumbuh di perairan payau, gula nipah mempunyai citarasa asin yang khas di sela rasa manisnya. Itu sebabnya, “Gula nipah tergolong komoditas minor dibandingkan dengan gula kelapa dan aren,” kata Ir Sujito MSi, kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Cilacap.
Pasalnya hanya sedikit orang yang menyukai gula bercitarasa agak asin itu. Analisis NM Heriyanto dan rekan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Kehutanan, Bogor, menyebutkan gula nipah mengandung maksimal 2 mg garam dapur (NaCl) per kg gula. Kekurangan itu sekaligus menjadi kelebihan. Makanan yang menggunakan gula nipah lebih bercitarasa gurih lantaran kandungan alami garam dapur itu.
Sayang, potensi itu kurang tergarap di Cilacap. Padahal di Kabupaten Meranti, Kepulauan Riau dan Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, sebuah perusahaan penanaman modal asing asal Australia mengelola jutaan hektare perairan payau yang ditumbuhi nipah. Mereka memproduksi gula semut, gula cair, dan bioetanol berbahan nipah. Ironisnya di Cilacap, gula identitas nipah buatan Sukini seolah tidak diakui.
Gula itu dijual sebagai gula merah biasa dan dikemas bersama gula merah dari kelapa. Padahal, gula nipah tergolong komoditas khas Cilacap. Maklum, tidak banyak daerah di Jawa yang memiliki pohon itu. Selain gula, masyarakat Cilacap mengolah daun nipah menjadi atap. Eko Priyono membeli sirap buatan perajin, menjemur hingga daun hijau mengering kecokelatan, lalu menjualnya.
“Kalau kering sempurna, sirap tahan 3 tahun,” ujar pria 51 tahun itu. Di tengah persaingan dengan berbagai bahan atap modern, sirap masih disukai sebagian masyarakat. Anyaman daun nipah dijadikan atap kandang ternak, atap tempat memasak gula, atau atap gubuk di sawah atau ladang. Sirap murah, ringan, dan mudah dipasang. Kalau rusak, tinggal mengganti lembaran rusak dengan yang baru.
Buah nipah pun dapat diolah menjadi kolang-kaling, yang lazimnya diperoleh dari pohon aren. Sayang, “Saat ini kolang-kaling tidak menarik karena harganya sangat murah,” kata Kepala Bidang Produksi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Cilacap, Ir Tundan Iriani MP. Perajin hanya bergairah membuat kolang-kaling mendekati Ramadan, ketika permintaan melonjak tinggi.
Jika nipah tumbuh di perairan payau dekat pantai, maka kolang-kaling berasal dari aren yang tumbuh di dataran tinggi. Pohon Arenga pinnata itu kebanyakan tumbuh dengan sendirinya di lereng-lereng bukit dan kebun masyarakat. Itu sebabnya jarak antarpohon tidak teratur. “Jumlah pohon yang dikelola setiap penyadap berbeda-beda. Ada yang menyadap 2—3 pohon saja, tapi ada juga yang menyadap lebih dari 5 pohon,” tutur Tumiyo.
Tumiyo produsen gula semut berbahan aren dan kelapa di Desa Mulyadadi, Kecamatan Cipari, Kabupaten Cilacap. Hasil utama enau alias aren tentu saja nira. Hitung-hitungan volume produksi, nira aren paling unggul dibandingkan dengan kelapa maupun nipah. Menurut Kepala Balai Penelitian Tanaman Palma, Dr Ismail Maskromo, produksi nira aren bisa 2—3 kali lipat kelapa.
Itu membuat volume produksi gula aren pun lebih unggul daripada kelapa meskipun rendemen gulanya lebih rendah. Kelemahan aren, menurut Tumiyo, adalah keluarnya manggar yang tidak teratur. “Bisa keluar 2—5 manggar dalam sebulan, tapi di lain waktu sama sekali tidak ada manggar,” kata ayah 2 anak itu. Akibatnya kuantitas produksi pun tidak bisa diandalkan. Padahal permintaan gula aren fantastis.
“Pembeli dari Jepang pernah ingin mengikat kontrak ekspor, tetapi saya terpaksa menolak karena produksi tidak stabil. Apalagi permintaan pasar lokal juga terus bertambah,” kata Tumiyo. Meski tidak bisa menyebut angka pasti, ia memberi gambaran seperti ini. Lima tahun lalu, ia tidak rutin mengirim ke Jakarta, tetapi tahun ini saja Tumiyo kewalahan memenuhi permintaan dari Jakarta dan Bandung.
Harga gula aren mahal. Harga sekilogram gula semut dari kelapa paling banter Rp25.000. Sementara, harga gula semut dari aren bisa hampir 2 kali lipat, bahkan lebih. Tumiyo menjual gula semut aren paling murah Rp10.000 dalam kemasan 250 g. Pedagang yang membeli produknya menjual kembali dengan harga Rp15.000 alias Rp60.000 per kg. Meski demikian produk itu laku.
Musababnya, “Citarasa gula aren netral dan cocok untuk minuman sehingga disukai konsumen lokal maupun mancanegara,” kata pengusaha gula semut sejak 2006 itu. Penyadapan nira aren untuk membuat gula dilakukan hampir di seluruh penjuru Nusantara. Nun di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Darius Hapul juga menyadap nira pada pagi dan sore hari.
Di kediaman mereka, Harti Hapul, istri Darius, memasak dan mencetak nira menjadi gula blok yang ukurannya terbilang jumbo dibandingkan guka aren di Jawa. Sekilogram gula merah buatan Darius hanya berisi 2 blok. Masyarakat Baduy Luar alias Urang Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, menjadikan gula aren salah satu komoditas khas selain madu hutan dan berbagai aksesori etnik.
Pemanfaatan nira aren tidak melulu gula. Arnoldus Stara menyuling nira yang ia sadap menjadi minuman beralkohol khas Manggarai yang disebut sopi. Perangkat yang Arnoldus gunakan sangat sederhana. Ia menggunakan panci biasa untuk menguapkan nira, sementara cerobong pendingin dan pipa keluar hanya menggunakan batang bambu. Hal yang nyaris serupa juga dilakukan perajin minuman tradisional di Sulawesi Utara. Mereka menggunakan aren untuk membuat minuman lokal berlabel cap tikus.
Selain nira dan kolang kaling, aren juga menghasilkan ijuk yang menjadi bahan pembuatan sapu atau untuk membuat atap. Lantaran efektif menyejukkan ruangan dan menimbulkan kesan pedesaan, atap ijuk mempunyai banyak peminat sampai sekarang. Berbagai laman toko daring menawarkan atap ijuk. Ketika ditebang, batang pohon aren menghasilkan tepung mirip dari pohon sagu Metroxylon sago.
Wajar banyak yang melirik pohon kawung itu sebagai kandidat pengganti sawit, yang harganya merosot beberapa tahun terakhir. Sumber nira untuk membuat gula yang paling populer adalah pohon kelapa. Sentra produksi gula kelapa tersebar hampir di seluruh Jawa. Kabupaten Cilacap pun menjadikan gula semut asal kelapa sebagai salah satu produk andalan mereka.
Menurut Sujito gula semut produksi Cilacap sukses menembus pasar mancanegara, yaitu Australia dan Hongkong. Kuncinya, “Perlakuan organik tanpa tambahan bahan kimia,” ungkap alumnus Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto itu. Maklum, pasar luar negeri sangat peduli dengan efek samping bahan kimia. Celakanya perajin terbiasa membuat gula merah secara serampangan.
Mereka menampung nira dengan jeriken oli bekas maupun ember bekas cat dinding. Namun, yang paling fatal adalah penggunaan natrium metabisulfit untuk mengawetkan nira. “Warna gula yang menggunakan pengawet kimia lebih pucat, tidak cokelat gelap,” kata Sardiman, produsen gula semut dari kelapa di Desa Karangjengkol, Kecamatan Kesugihan, Cilacap.
Meskipun awalnya keras dan terkesan padat, gula berpengawet kimia mencair hanya 2—3 bulan dalam penyimpanan. Sementara, “Gula tanpa pengawet kimia tahan simpan setahun lebih,” ujar Sardiman. Ia menjadi ketua Kelompok Rengganis yang beranggota 45 produsen gula merah. Sebanyak 30 orang memproduksi gula semut, sisanya gula blok. Kelompok itu melarang anggotanya menambahkan pengawet dalam produk mereka.
Hasilnya, gula semut produksi Rengganis laku Rp16.500 per kg, sedangkan gula blok Rp11.000 per kg. Nun di Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, Suparyono sukses memasarkan gula semut produksinya ke Amerika Serikat. Ia bermitra dengan Big Tree Farm, eksportir gula semut di Bali. Kunci kesuksesan Suparyono mirip dengan Sardiman, yaitu mengharamkan pengawet kimia.
Kesejahteraan Suparyono dan 80 orang mitranya membaik lantaran memperoleh harga jauh lebih tinggi ketimbang memasarkan produk mereka dalam bentuk gula blok biasa. Di sebagian wilayah Indonesia, perajin gula merah memanfaatkan nira dari pohon siwalan Borasus flabellifer. Salah satunya Made Sugiarta, perajin gula merah di Kecamatan Tianyar, Karangasem, Bali.
Pprodusen gula cair di Denpasar, Bali, Ricky Wibowo, mengolah gula buatan Made menjadi gula cair. Dengan label Organic Palm Nectar, gula cair dengan tingkat kemanisan 80° briks itu terserap habis hanya di Denpasar dan sekitarnya. Menurut Iman Budhi Santosa, budayawan di Yogyakarta, gula berbasis tanaman palma adalah warisan budaya sekaligus identitas tanahair.
“Masyarakat Nusantara tidak mengenal gula tebu sebelum kedatangan penjajah,” tutur Iman. Praktik cultuurstelsel alias tanam paksa pada pertengahan abad ke-19 membuat masyarakat Indonesia mengenal tanaman tebu. Pabrik-pabrik gula didirikan untuk mengolah tebu menjadi gula. Masyarakat pribumi waktu itu pun mulai mengonsumsi gula pasir, hal yang sayangnya berlanjut sampai sekarang.
“Kecanduan” bangsa ini terhadap gula harus dibayar dengan devisa untuk mengimpor gula, yang pada 2015 mencapai 2,8-juta ton. Pada waktu bersamaan, konsumsi gula palma di tanahair ditinggalkan. Nasib gula palma terasa pahit. Sebaliknya tren mengonsumsi gula palma justru marak di negara maju karena lebih menyehatkan.
Jauh-jauh hari, Ir Soekarno, proklamator dan presiden Indonesia pertama, mempopulerkan jargon jasmerah, akronim dari jangan sekali-kali melupakan sejarah. Salah satu caranya bisa dengan mempopulerkan kembali gula palma sebagai pengganti gula tebu. Apalagi produk gula palma tanahair populer terbukti digandrungi konsumen mancanegara. Sehat, menghemat devisa negara, dan menyejahterakan perajin gula lokal. (Argohartono Arie Raharjo)