Trubus.id—Belantara Foundation menyelenggarakan kegiatan bertajuk Pameran Konservasi Indonesia Maju : Konservasi untuk Kini dan Masa Depan Generasi pada 9—10 September 2023, di Mall Sarinah, Jakarta.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna, mengatakan, acara Muda Mudi Konservasi ini merupakan gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman publik khususnya generasi muda akan pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati dan satwa liar beserta habitatnya di Indonesia.
Menurut Dokumen Rencana Aksi dan Strategi Biodiversitas Indonesia (IBSAP) 2015—2020, Indonesia sebagai rumah bagi 10 persen tumbuhan berbunga, 15 persen serangga, 25 persenikan, 16 persen amfibia, 17 persen burung, dan 12 persen mamalia dari seluruh yang ada di dunia.
Indonesia memiliki sekitar 28.000 spesies tumbuhan berbunga (urutan ke-7 dunia), 122 spesies kupu-kupu sayap burung (urutan ke-1 dunia yang mana 44 persennya merupakan spesies endemik), 409 spesies amfibi (urutan ke-5 dunia), 755 spesies reptilia (urutan ke-3 dunia), 1.818 spesies burung (28 persen di antaranya endemik) dan 776 spesies mamalia (36 persen di antaranya endemik).
Dolly menjelaskan keanekaragaman hayati dan satwa liar di Indonesia tengah menghadapi berbagai ancaman, salah satunya akibat maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar oleh masyarakat, lalu dijadikan sebagai hewan peliharaan. Tak jarang, pemelihara satwa liar berasal dari kalangan tokoh publik (public figure).
“Situasi ini diperparah dengan banyaknya kasus satwa liar peliharaan yang dijadikan sebagai konten media sosial. Secara tidak langsung, hal ini dapat menginspirasi masyarakat, khususnya generasi muda, yang beranggapan bahwa satwa liar boleh dijadikan hewan peliharaan,” kata pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, itu.
Padahal, kata Dolly, mencintai satwa liar tidak harus memiliki. Ancaman lain yaitu degradasi habitat, hama dan penyakit, pencemaran, perubahan iklim, serta kerusakan lingkungan lainnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Profesi Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Akuatik, dan Hewan Eksotik Indonesia (ASLIQEWAN), drh. Nur Purba Priambada, menyebut, memelihara satwa liar bertentangan dengan kesejahteraan satwa, yang mana berpotensi membuat satwa stres, sakit, dan mudah tertular penyakit. Terutama penyakit zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya).
Perlu diingat dalam sejarah umat manusia bahwa mayoritas wabah penyakit mematikan yang terjadi adalah penyakit zoonosis seperti rabies, pes, flu burung, ebola, anthrax, SARS, hingga COVID-19.
“Sudah saatnya masyarakat stop menormalisasi aktivitas pemeliharaan satwa liar demi menjaga keseimbangan ekosistem serta keberlanjutan dan kelestarian alam, untuk kehidupan manusia yang lebih baik”, ujar drh. Purbo, panggilan akrabnya.
Pelibatan masyarakat khususnya generasi muda merupakan kunci bagi keberhasilan pelestarian satwa liar beserta habitatnya. Generasi muda memainkan peran penting sebagai tombak perubahan.
Salah satu kekuatan generasi muda yaitu aktif di media sosial. Banyak cara untuk terlibat dalam pelestarian satwa liar beserta habitatnya, aksi paling sederhana yaitu melakukan penyadartahuan (awareness), edukasi dan kampanye tentang satwa liar bukan hewan peliharaan di media sosial.
Tidak hanya itu, aksi tak kalah penting yang perlu dilakukan adalah tidak menjadikan satwa liar sebagai hewan peliharaan. Gerakan ini dapat memberikan motivasi dan inspirasi kepada masyarakat khususnya generasi muda agar terlibat lebih aktif dalam pelestarian satwa liar dan habitatnya di sekitar mereka.
Sebagai informasi, kegiatan ini terselenggara atas kolaborasi dengan Forum Harimau Kita (FHK), Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Forum Konservasi Orangutan Indonesia (FORINA), Eat & Run, Biologeek, dan organisasi penggiat konservasi satwa liar lainnya serta didukung oleh APP Sinar Mas, PT Sharp Electronics Indonesia dan Pristine.
Turut mendukung juga sebagai media partner yaitu Majalah Trubus, Tempo.co, Forest Insights, Klik Hijau dan Sorot Jakarta.