Teknologi fermentasi anaerob untuk mengolah sampah skala kecil, 10 ton per hari.
Potensi sampah organik mencemari air dan tanah sangat besar. Satu liter sampah organik yang dibuang ke sungai berpotensi mencemari minimal 10.000 liter air sungai. Jika potensi kandungan Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) satu liter sampah organik mencapai 500.000 mg, ambang batas 50 mg per liter. Adapun kebutuhan oksigen kimia (KOK) satu liter sampah organik 1.000.000 mg, sedangkan ambang batas 100 mg per liter.

Banyaknya sampah organik yang dibuang di hilir sungai meningkatkan kandungan KOB dan KOK melebihi ambang batas. Dampaknya terjadi proses anaerobik di dalamnya. Itulah salah satu sebab utama air sungai-sungai yang mengalir di Jakarta berwarna abu-abu tua, bahkan hitam dan berbau menyengat. Itu belum memperhitungkan dampak negatif yang disebabkan oleh mikrob yang membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Celakanya sampai dengan akhir Maret 2016 belum ada sanksi tegas kepada mereka yang membuang sampah organik ke jalan, sungai, danau, dan laut.
Ramah lingkungan
Air lindi dari sampah organik yang merembes ke dalam tanah dan mencapai air tanah akan menyebar bersama air tanah. Pencemarannya mencapai jarak ribuan meter dari tempat asalnya. Akibatnya banyak sumur penduduk yang jaraknya jauh dari lokasi tempat pembuangan akhir (TPA), airnya sudah terkontaminasi berat sampai berbau tidak sedap. Untuk membersihkan polusi terhadap tanah dan air tanah di seluruh landfill (TPA) di Amerika Serikat memerlukan biaya US$ 100 biliun setara Rp1.300-triliun. Selain itu membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun.

Hal yang sama, bahkan lebih buruk akan terjadi di Indonesia. Sebab, sampai kini semua TPA di Indonesia dibangun dan dioperasikan jauh di bawah standar TPA di Amerika. Dari hasil kajian itu Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United States Environmental Protection Agency (USEPA) pada 1988 mewajibkan seluruh TPA menggunakan sistem lapisan komposit ganda.
TPA di negeri Abang Sam itu memanfaatkan geomembran setebal 2,54 mm per lapisan untuk mencegah air lindi merembes ke dalam tanah. Namun, hasil penelitian desertasi penulis di University of Wisconsin-Madison pada 1993, geomembran yang sohor sebagai bahan lapisan terbaik masih bisa ditembus oleh zat-zat kimia organik yang mudah menguap dan beracun–seperti toluene, trikloroetilen, metilen klorida, dan xylenes–dalam waktu kurang dari 14 hari.
Jadi jelas bahwa potensi polusi sampah organik jauh lebih besar daripada sampah plastik. Oleh karena itu penting untuk menanggulangi sampah organik yang bisa menguntungkan penduduk setempat, pemerintah daerah setempat, dan investor sesegera mungkin.
Sejatinya terdapat beragam teknologi untuk mengatasi sampah perkotaan, seperti waste-to-ethanol, refuse derived fuel, gasifikas, pirolisis, insinerator, dan fermentasi anaerobik. Teknologi fermentasi anaerobik BioCORE+ (Bio-Conversion of Organic Refuse to Energy Plus) yang paling tepat untuk negara agraris seperti Indonesia. Sebab teknologi itu memungkinkan proses pengolahan sampah dalam skala kecil, yakni 10 ton per hari. Wilayah desa atau kompleks perumahan bisa menerapkannya. Cara penanganan sampah skala kecil atau 10 ton per hari akan jauh lebih efektif, produktif, berkelanjutan, dan bisa direalisasikan jauh lebih cepat dibandingkan dengan skala besar atau di atas 150 ton per hari.

Proses pengolahan itu menghasilkan energi baru dan terbarukan berupa energi listrik dan panas. Selain itu teknologi itu juga menghasilkan pupuk bioorganik cair dan kompos. Akhir-akhir ini negara-negara Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat semakin banyak menerapkan teknologi fermentasi anaerobik. Teknologi fermentasi anaerobik terbukti selama puluhan tahun bisa mengelola dan mengolah sampah organik dengan efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Nutrisi lengkap
Fermentasi anaerobik pada intinya suatu proses ketika sampah organik didekomposisi dalam bioreaktor yang tertutup rapat sehingga bebas dari oksigen semaksimal mungkin. Kandungan air, suhu, pH, tingkat beban zat organik, rasio karbondioksida dan nitrogen, kadar asam lemak yang dapat menguap, nutrisi, intensitas pengadukan, dan waktu tinggal efektif dalam bioreaktor dikontrol dengan seksama.
Teknologi itu mengubah sampah organik menjadi biogas yang kandungan utamanya ialah gas metana dan gas karbondioksida dengan bantuan mikroba hydrolyctic-fermentatative bacteria, proton-reducing acetogenic bacteria, serta aceticlastic dan hydrogenotropic methanogens. Fermentasi anaerobik juga mengkonversi sampah organik menjadi residu fermentasi dengan kandungan air tertentu. Semakin tinggi kandungan sampah organik, semakin tinggi pula biogas dan residu fermentasi yang dihasilkan.

Fermentasi secara anaerobik menghasilkan banyak sekali nutrisi makro dan mikro yang kadarnya secara praktis sama (hampir tidak berubah) dengan nutrisi sampah aslinya. Semakin banyak dan bervariasi kandungan nutrisi sampah organik, semakin banyak dan bervariasi pula nutrisi dalam pupuk bioorganik cair dan kompos. Sampah organik dari rumah tangga, pasar, rumah makan, dan hotel menjadi bahan terbaik dan termurah untuk memproduksi pupuk dan kompos.
Karena kandungan nutrisi tinggi dan bervariasi sangat bagus untuk pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Disamping itu tanaman akan lebih mudah dan efektif menyerap nutrisi-nutrisi pupuk dan kompos hasil fermentasi bahan organik. Sebab nutrisi-nutrisi itu mengalami proses mineralisasi. Konsentrasi logam-logam berat seperti timbel, seng, dan tembaga dalam residu fermentasi masih jauh di bawah batas yang membahayakan kesehatan manusia dan hewan.
Syaratnya fermentasi anaerob dijalankan dengan benar. Pupuk organik berkualitas bagus terbukti mampu meningkatkan produksi padi, jagung, kedelai, kentang, dan singkong, cabai, bawang, tomat, kelapa sawit, tebu, tembakau, kopi, karet, dan kakao hingga 30%.
Pupuk organik cair asal sampah itu juga menghemat biaya pemupukan sampai 20% serta memangkas penggunaan pupuk anorganik sampai 60%. Kompos yang diproses dengan betul mampu memperbaiki struktur dan kondisi tanah permukaan serta mempunyai kapasitas menahan air yang baik. Pengelolaan dan pengolahan sampah organik menggunakan proses fermentasi anaerob bukan hanya memproduksi pupuk bioorganik cair dan kompos yang berkualitas baik, tetapi juga membangkitkan listrik dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Sumber listrik
Teknologi pengolahan sampah BioCORE+ (Bio-Conversion of Organic Refuse to Energy Plus)mampu mengolah sampah skala kecil, 10 ton per hari. Kalau problem sampah dibereskan di setiap desa, kelurahan, dan kecamatan maka krisis persampahan di kota-kota dapat tereduksi dengan tajam. Teknologi BioCORE+ mutakhir, sederhana, efisien, dan dioperasikan dengan tenaga manusia sebanyak mungkin sehingga menekan biaya investasi serendah mungkin.

Sampah-organik mudah terurai seperti sayuran, buah, daging, ikan, nasi, mi, tahu, tempe, rumput, dan kertas yang bebas dari bahan-bahan beracun dan berbahaya. Pemilahan sampah sejak rumah tangga sehingga lebih mudah dilaksanakan. Untuk menekan biaya investasi dan operasi, proses fermentasi anaerob memakai sistem kering—kandungan zat padat di dalam bioreaktor 25—40% yang kontinu pada suhu 30—35°C.
Bioreaktor dibuat dari beton, bahan bagus untuk insulator. Biogas yang mengandung 55% gas metana keluar dari atap bioreaktor akan mengalir ke tanki. Di sana biogas dibersihkan dan diumpankan ke mesin generator atau pembangkit listrik tenaga biogas. Listrik pun menyala. Karena nilai kalori dari metana kurang lebih 50 MJ/kg, maka biogas sangat mudah terbakar.
BioCore+ sangat efisien. Dengan kapasitas 10 ton sampah per hari memberikan tingkat pengembalian investasi 23,7%. Jika problem sampah dibereskan di setiap desa maka krisis sampah di kota dapat direduksi dengan tajam. Pengolahan sampah perkotaan dengan sistem fermentasi anaerob terbukti mudah, murah, dan ramah lingkungan. (Joni P. Sakti, Ph.D, Peneliti dan perekayasa industri persampahan)