Trubus.id–Peneliti di Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikhsan Suhendro mengungkap bahwa sapi bali memiliki karakteristik unik dalam dimorfisme seksual yang dapat terlihat jelas pada warna tubuh.
Ia menuturkan lazimnya sapi bali betina cokelat kemerahan dan sapi jantan berubah menjadi hitam setelah mencapai kedewasaan seksual. Menurut. Ikhsan perubahan itu menjadi indikator penting dalam seleksi hewan.
“Pada sebagian sapi bali jantan, terdapat penyimpangan pola warna yakni albino (warna pucat atau putih), injin (jantan berwarna seperti betina), dan poleng (spotted atau berbintik),” jelas Ikhsan dilansir pada laman BRIN.
Ia menuturkan bahwa penyimpangan pola warna itu indikasi penyimpangan genetik yang dapat memengaruhi pertumbuhan tubuh sapi. Menurut Ikhsan pola warna tubuh sapi bali memiliki korelasi langsung dengan bobot badan dan efisiensi pertumbuhan.
Ikhsan menuturkan sapi jantan dengan warna hitam penuh (full black) memiliki bobot badan lebih besar di usia 2 tahun yakni mencapai 260 kg. Bandingkan dengan sapi jantan berwarna cokelat, rata-rata berbobot 185 kg.
“Sapi full black menunjukkan tingkat pertumbuhan bobot harian 0,35 kg, lebih tinggi dibandingkan sapi dengan pola warna lainnya,” ujarnya.
Ia menduga faktor genetik, terutama kadar hormon testosteron itu memengaruhi pertumbuhan sapi full black. Menurut Ikhsan testosteron berperan penting dalam meningkatkan masa otot dan pengurangan jaringan lemak, sehingga sapi lebih efisien dalam mengonversi pakan menjadi daging.
Artinya menunjukkan bahwa pola warna bukan sekadar dimorfisme seksual, tetapi penanda genetik penting yang berimplikasi besar dalam seleksi hewan. Ikhsan menjelaskan sifat pertumbuhan pada sapi bali memiliki heritabilitas sekitar 55 persen.
“Faktor genetik termasuk pola warna tubuh, memainkan peran signifikan dalam menentukan kemampuan pertumbuhan sapi,” ujarnya.
Menurut Ikhsan ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan, dan tinggi pundak sapi full black juga secara konsisten lebih besar dibandingkan sapi dengan pola warna lain. Apalagi saat usia ternak 2 tahun menunjukkan bahwa variasi pola warna jelas berkorelasi dengan dimensi tubuh yang lebih besar dan pertumbuhan yang lebih efisiensi.
Ia mengungkap berdasarkan temuan itu pemilihan sapi jantan dengan pola warna full black dapat menjadi indikator genetik dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi sapi bali.
Lalu bagaimana dengan sapi bali yang memiliki pola warna menyimpang? Menurut Ikhsan sapi dengan pola warna menyimpang, seperti albino atau bercorak cenderung pertumbuhannya dipengaruhi faktor lingkungan daripada genetik.
“Oleh karena itu, sapi dengan aberasi pola warna sebaiknya tidak dijadikan prioritas dalam program pemuliaan,” ujarnya.
Menurut Ikhsan hasil penelitian itu dapat bermanfaat bagi para pemulia dalam meningkatkan efisiensi produksi daging dan kualitas keturunan sapi bali. Melalui mempertimbangkan pola warna tubuh sebagai indikator genetik, pemulia dapat lebih selektif memilih indukan jantan unggul.
Ia menuturkan pola warna pada sapi bali bukan sekadar dimorfisme seksual, tetapi juga penanda genetik penting dalam seleksi hewan.
“Pemulia hewan yang memahami hal itu dapat meningkatkan potensi sapi bali sebagai sumber daya unggul dan mempertahankan relevansinya di masa depan,” ujar Ikhsan.