Trubus.id— Bagi Ranci Hodja dan perempuan lain di Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, saloi bukan sekadar wadah. Secara harfiah saloi berupa keranjang berbentuk segitiga, terbuat dari anyaman rotan, bambu, dan kulit kayu serta menggunakan tali di kedua sisinya.
Tali itu memudahkan Ranci memikulnya atau cai (pikul). Bagian atas saloi lebih besar daripada bagian bawah yang lancip. Ranci tinggal di Desa Gamomeng, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat.
Ia tak terpisahkan dari saloi untuk menampung sekaligus membawa berbagai hasil panen dari kebun seperti pisang, buah-buahan, ubi-ubian, dan sayur. Bahkan perempuan di Halmahera Barat juga membawa kayu ke dalam saloi.
“Memang rasa kabaratan tapi itu tong parampuang pung tanggung jawab sudah karena torang yang urus makan di rumah,” kata Ranci.
Pernyataan itu bermakna membawa saloi itu berat tetapi itu tanggung jawab sebagai perempuan karena yang mengurus makanan di rumah. Namun, menurut Ranci dengan membawa saloi justru menjadi solusi.
“Kalau bisa bawa samua dari kobong, kan so ringan, jadi tar perlu bali lagi. Tinggal tong mumasa saja untuk paitua deng ana-anak di rumah,” imbuh Ranci. Maksud Ranci adalah, kalau bisa dibawa semua dari kebun, kan sudah ringan, jadi tidak perlu beli lagi. Tinggal kami masak saja untuk suami dan anak-anak.
Saloi identik dengan perempuan karena biasanya dibawa oleh perempuan di Halmahera Barat. Bukan berarti laki-laki terlarang membawa saloi. Hampir dapat dipastikan, perempauan tani Halmahera Barat yang berangkat maupun pulang dari kebun membawa saloi. Jadi, saloi begitu dekat dan melekat dengan perempuan.
Saat menuju kebun, perempuan mengisi saloi dengan makanan yang siap dinikmati ketika beristirahat siang. Selain itu, mereka juga memanfaatkan saloi untuk membawa berbagai sarana produksi untuk bekerja di kebun antara lain parang, alat pencabut rumput, dan alat pembuatan kopra.
Bisa dibilang saloi merupakan wadah multifungsi yang selalu melekat dengan perempuan Halmahera Barat. Saloi sangat bermanfaat saat perempuan tani kembali dari kebun bersama suami karena berfungsi untuk meletakkan semua hasil panen.
Saat itu saloi terisi penuh dan padat dengan pisang mulu bebe, dan pisang goroho, ubi kayu (kasbi), keladi (bête), serta ubi jalar (batata). Saloi juga berisi sayuran, buah, serta berbagai bumbu masak seperti jahe (guraka), serai (guramakusu), cabai (rica), kunyit (kuning), daun kemangi (balakama), dan kayu bakar.
Padatnya isi saloi membuat beban perempuan di Halmahera Barat makin berat jika dipikul. Mereka memikul beban itu saat pulang ke rumah. Bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang dipikul perempuan di pundak dan punggungnya dengan saloi.
Hal itu menunjukkan bahwa perempuan sangat memiliki rasa dan bertanggung jawab terhadap pemenuhan pangan keluarga. Walaupun berat, perempuan di Halmahera Barat tetap mengambil tanggung jawab membawa saloi sampai di rumah.
Padahal, jarak kebun dan rumah bisa mencapai lebih dari 2 kilometer dan dilalui dengan berjalan kaki. Bahkan ada yang mendaki gunung dan menuruni lembah. Itulah perjuangan hidup seorang perempuan di Halmahera Barat sebagai ibu rumah tangga.
Walaupun berat, tetapi perempuan di Bumi Saloi Sirimoi tidak mengeluh. Mereka bangga dapat mengisi penuh saloi dengan berbagai hasil panen yang diolah untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Jadi, di dalam saloi terdapat pangan sumber karbohidrat, sayur (sumber vitamin dan mineral), dan protein akan diolah untuk dihidangkan di meja makan.
Dengan begitu anak-anak dan suami serta semua anggota keluarga dapat menikmati hidangan yang tersaji. Saloi menjadi identitas budaya dan atribut yang melengkapi perilaku usaha tani masyarakat di Halmahera Barat khususnya perempuan.