
Menghasilkan ratusan hibrida sansevieria yang unik. Namanya sohor hingga ke mancanegara.
Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, berketinggian 450—500 meter di atas permukaan laut relatif dingin pada pukul 05.00. Namun, sepagi itu Santoso sudah berada di kebun sansevieria. Ia memeriksa kondisi tanaman hias koleksinya yang mencapai ribuan itu, lalu menyiramnya. Hingga dua jam lamanya ayah 3 anak itu menghabiskan waktu di kebun sansevieria. Setelah itu, ia bergegas ke tokonya yang menyediakan bibit bawang merah.
Pada pukul 11.00 ia kembali ke kebun itu untuk mencampur media tanam atau menanam. Begitu juga pada sore harinya setelah jam 17.00 hingga 19.00. Setelah makan malam dan istirahat sejenak, Santoso kembali ke kebun. Di sana ia mengganti media, menyemai biji, dan menanam setek daun sansevieria. Selesai menanam, pehobi lidah mertua itu mengamati bunga sansevieria yang siap diserbuki pejantan. Bila bunganya cukup banyak, Santoso membawanya masuk ke ruang keluarga.

Penyilang
Sambil menemani keluarga menyaksikan tayangan televisi, tangan Santoso yang memegang cotton bud menyerbuki putik dengan tepungsari sansevieria. Bila ada 5 tangkai bunga yang mekar, maka pekerjaan menyerbuki bunga kerap rampung hingga tengah malam. Keesokan harinya semua aktivitas itu berulang kembali dengan waktu yang sama. Meski aktivitas sangat padat, tidak sekali pun Santoso mengeluh mengurus tanaman.
“Itu sudah komitmen saya pada istri. Saya boleh menggeluti satu bidang, tetapi dengan konsekuensi merawat sendiri tanpa bantuan tenaga pekerja,” ujar Santoso. Karena komitmen yang dibuat pada 2007 itulah sehingga Santoso rela bangun pada dinihari dan tidur saat larut malam untuk menyalurkan hobinya memelihara tanaman hias anggota famili Liliaceae itu.

Sahabat Santoso di Yogyakarta, Willy Purnawanto, mengatakan bahwa Santoso menggeluti sansevieria dengan sepenuh hati. “Di tengah kesibukan sebagai pengusaha bawang, ia masih menyisihkan waktu untuk memelihara sansevieria. Saat beberapa tokoh berhenti bermain sansevieria, ia memborong koleksi-koleksi mereka agar terselamatkan. Ia benar-benar ‘gila’ sansevieria,” ujar Willy Purnawanto.
Buah dari hobinya memelihara sansevieria antara lain meraih puluhan penghargaan. Sansevieria blue clone hasil silangannya beberapa kali tampil sebagai juara pertama pada lomba sansevieria. Setiap mengikuti kontes, tak pernah sekali pun ia pulang ke Parakan dengan hampa gelar.

Penghulu lidah mertua
Santoso mulai menyilangkan pada 2008—2009. Namun, semula hasil coba-coba itu gagal. Setelah berkali-kali menyilangkan, pria kelahiran Lumajang, Jawa Timur, 1955 itu sukses mendapatkan sosok yang diinginkannya. Saat itu ia menyilangkan Sansevieria malawi midnite dengan S. ballyi sehingga mendapat jenis baru yang diberi nama adelia, nama sahabat karibnya. Rahasianya, “Serbuk sari yang ditempelkan ke putik harus banyak. Bila hanya sedikit, bisa jadi serbuk itu tidak menempel sehingga penyerbukan gagal,” ujar ayah 3 anak itu.
Keberhasilan pertama pada 2009 itu membuat Santoso ketagihan menjadi “penghulu”. Santoso leluasa menyilangkan antara lain karena koleksinya yang mencapai ratusan induk. Ia mengoleksi hampir semua spesies sansevieria seperti S. aubrytiana hingga spesies baru ditemukan, seperti tanzania.
Hingga 2015 ia menghasilkan 148 sansevieria hibrida. “Saya hanya menyilang dari indukan-indukan yang sudah baik. Tidak asal ada bunga disilang. Kalau sudah pernah disilangkan atau disilangkan orang, saya tidak lakukan lagi,” kata Santoso.
Beberapa persilangan menghasilkan belasan biji sehingga penamaan pun berbeda-beda, meski induknya sama. Namun, ia tidak memelihara semua anakan. Ia tetap menyeleksi ketat dengan kriteria fisiknya harus berbeda dari salah satu induk agar dihasilkan jenis baru.
Kini halaman rumah seluas 800 m2 itu penuh sansevieria. Santoso memasarkan hibrida baru berumur 6—12 bulan. Sebagian hasil silangannya dipelihara di Cimanggis, Kotamadya Depok, Jawa Barat.
Di tempat baru sansevieria itu tumbuh lebih baik karena mendapatkan sinar matahari lebih banyak ketimbang di Parakan yang berhawa sejuk karena diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Dari penjualan anakan hibrida dan variegata, pada awal Januari 2015, omzet Santoso Rp150-juta.

Dengan hasil silangannya yang amat banyak, nama Santoso kini dikenal di mancanegara. Dengan seabrek prestasi, nama pemilik Nurseri Tunas Mekar itu sejajar dengan nama-nama kondang lain dalam dunia sansevieria Indonesia. Ahli sansevieria seperti Juan B. Chahinian, penulis buku “Splendid Sansevieria” dan Steve Jankalsky kerap berdiskusi dengan Santoso soal penyilangan.
Maklum, mereka lebih piawai dalam spesies. Soal hibridisasi, pengalaman Santoso lebih banyak. Selain menghasilkan anakan hibrida, Santoso juga sumber sansevieria variegata. Tanaman belang itu didapat dengan proses radiasi bekerjasama dengan pemain sansevieria Filipina. (Syah Angkasa)