Trubus.id — Perubahan iklim dan inflasi global mengancam ketahanan pangan dan turunnya pendapatan petani. Salah satu upaya menghadapi itu, Indonesia melalui Kementerian Pertanian telah menerapkan Climate Smart Agriculture (CSA) berbasis kearifan lokal untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Subak Jatiluwih Bali sebagai representatif sistem pertanian berkelanjutan itu.
Kasdi Subagyono, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, menjelaskan, subak dalam mengelola irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita. Filosofi Tri Hita menjunjung tinggi nilai keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.
Menurutnya, harmonisasi kehidupan itulah yang menjadi kunci utama kelestarian budaya subak di Pulau Dewata, Bali. Subak Jatiluwih, berlokasi di Kabupaten Tabanan, sekitar 61 kilometer dari Jimbaran.
Subak Jatiluwih memiliki tiga subsistem yang memiliki hubungan timbal balik dan hubungan keseimbangan dengan lingkungannya yakni subsistem budidaya (pola pikir, norma dan nilai), subsistem sosial (ekonomi), dan subsistem kebendaan (mencakup teknologi).
Adapun pengelolaan Subak Jatiluwih menggunakan sistem pertanian berkelanjutan secara holistik seperti pembagian air secara adil dan merata untuk antisipasi kekeringan dan perubahan iklim yang sulit diprediksi.
Selain itu, tambah Kasdi, Subak Jatiluwih juga telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia oleh UNESCO sejak 6 Juli 2012. Bentangan terasering lahan padi di Subak Jatiluwih dari area perbukitan hingga lembah terkenal sebagai destinasi wisata global yang menyuguhkan keindahan serta ketenangan alam Bali.
“Terakhir, dengan bangga kami menunjukkan kepada semua delegasi sebuah sistem Subak Jatiluwih sebagai representatif sistem pertanian Indonesia berkelanjutan melalui harmonisasi teknologi dan kearifan lokal dalam sistem CSA secara holistik,” tutur Kasdi seperti dikutip dari laman Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.