PT Berdikari United Livestock
Beragam program PT Berdikari United Livestock menyukseskan swasembada sapi nasional.
“Indah sekali di sini,” ujar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno, beberapa saat sebelum helikopter yang ditumpanginya mendarat di kawasan PT Berdikari United Livestock (BULS) di Desa Bila, Kecamatan Pituriase, Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Pada Oktober 2016, Rini melakukan kunjungan kerja meninjau anak perusahaan PT Berdikari (Persero), salah satu perusahaan BUMN, itu. Pemandangan area peternakan sapi milik PT BULS memang menawan. Padang rumput nan hijau tampak seperti hamparan karpet di antara rimbunnya pohon-pohon hutan yang masih perawan. Di sanalah ratusan ekor sapi milik PT BULS leluasa mencari makan dan berkembang biak.
Menurut Manajer Change Management Office PT BULS, Abdi Robby SP, PT Berdikari United Livestock yang berdiri pada 1971 itu memiliki infrastruktur yang lengkap dengan luas area peternakan 6.623,1 hektare. Dari total luas lahan itu 5.463,06 hektare di antaranya untuk area penggembalaan, 5 unit gudang (pakan dan feedmill) berkapasitas 9 ton per hari, kandang penggemukan berkapasitas 3.500 ekor, kandang karantina, dan lahan pakan rumput potong seluas 200 hektare. “Fasilitas itu memadai untuk pemeliharaan, karantina, pembesaran, penyediaan pakan, dan pengolahan pakan,” ujar Abdi.
Dua cara
Selain itu PT BULS juga menempati lahan seluas 218,54 hektare di Desa Lainungan, Kecamatan Watangpulu, Kabupaten Sidenreng Rappang. Lokasi itu dekat dengan laut sehingga hanya digunakan untuk aktivitas bongkar muat perdagangan ternak. PT BULS juga memiliki rumah potong hewan modern di dua tempat, yaitu di Parepare dan Bekasi, Jawa Barat.
Perusahaan itu hasil kerja sama pemerintah Republik Indonesia dengan Amerika Serikat untuk pengembangan peternakan sapi di Indonesia. Wujud kerja sama itu adalah membentuk perusahaan gabungan antara perusahaan lokal, PT Bila, dengan perusahaan peternakan asal Amerika Serikat, PT United Livestock, menjadi PT United Livestock Indonesia (ULI) pada 1971.
Pada 11 November 1974, Badan Urusan Logistik (Bulog) mengakuisi PT ULI sehingga menjadi milik negara dan berada dibawah kendali Bulog. Sepuluh tahun kemudian Bulog menghibahkan 100% kepemilikan PT ULI kepada PT PP Berdikari—pada 2000 berubah menjadi PT Berdikari (Persero)—yang kemudian bertransformasi menjadi PT Berdikari United Livestock.
Anak perusahaan PT Berdikari (Persero) itu khusus bergerak pada usaha pembibitan, penggemukan, dan perdagangan sapi. Dalam pembibitan sapi PT BULS melakukan dua metode pengembangbiakan sapi, yakni pengembangbiakan alami di padang penggembalaan dengan perbandingan populasi 1 ekor pejantan yang dipasangkan dengan 25 betina. Masa kawin berlangsung selama 3 bulan.
Inseminasi buatan dan transfer embrio untuk menghasilkan bibit unggul juga diadopsi. Perusahaan itu menerapkan kedua teknik pembibitan itu sejak 1985. “Kami pertama kali melakukan inseminasi buatan dan transfer embrio di Indonesia,” kata Abdi. Kegiatan itu bekerjasama dengan Balai Inseminasi Buatan (BIB) Kementerian Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hasilkan sapi unggul
Salah satu strategi swasembada dengan menghasilkan sapi berkualitas tinggi. Itulah sebabnya PT BULS juga terdaftar sebagai anggota Australian Brahman Breeders Association Limited (ABBA) pada 2010 dan anggota Indonesian Brahman Breeders Association (IBBA) pada 2015. “Dengan begitu kami berhak melakukan persilangan sapi unggul untuk menghasilkan jenis sapi terbaik,” tutur Abdi.
PT BULS memantau indukan yang produktif (bunting) secara berkala selama 9 bulan hingga melahirkan anakan yang sehat dan sempurna. Induk dan anak sapi selanjutnya dikelompokkan ke dalam area sendiri selama 4–5 bulan, yakni selama masa menyusui. Setelah itu anakan sapi dipisahkan dari induk (sapih) dan menggabungkannya dengan anakan lain.
Anakan-anakan itu mendapatan pemeliharaan dan perawatan selama 4–5 bulan hingga menjadi bakalan (weaners). Perusahaan menargetkan bobot seekor bakalan minimal 125 kg. Jika bobot sudah tercapai selanjutnya proses penggemukan. Indukan siap dikawinkan lagi kurang lebih 2 bulan pascamelahirkan. Pemeliharaan bakalan secara intensif dengan memberi pakan hijauan segar dan konsentrat.
Proses pemeliharaan bakalan di dalam kandang selama maksimal 120 hari dengan target penambahan bobot minimal 400 g per hari. Selanjutnya tahap penggemukan sapi selama 3 bulan hingga bobot mencapai 350 kg untuk sapi jantan dan 280 kg untuk betina muda. Sebelum menjual, perusahaan menyeleksi beberapa sapi jantan sebagai calon pejantan unggul untuk mengganti pejantan lain yang menurun produktivitasnya.
Begitu juga dengan sapi betina yang akan dipersiapkan sebagai calon indukan pengganti induk sapi yang sudah mengalami 5 kali beranak. Dengan fasilitas itu PT BULS menargetkan pengadaan sapi dengan pembibitan 38.500 ekor melalui sistem semiintensif dan 50.000 ekor bibit sapi melalui kemitraan dengan rakyat dalam kurun 2017–2021. Dalam jangka pendek, PT BULS menargetkan untuk menggemukkan 7.500 sapi pada 2017.
Target lain untuk jangka pendek adalah menjual 6.000 ekor bakalan, indukan, atau pejantan, melakukan pemotongan 3.000 ekor, dan membuka toko penjualan daging. Untuk langkah awal pembibitan, PT BULS menangkarkan 4.160 induk di padang penggembalaan seluas 650 ha dengan sistem semiintensif di Desa Bila. “Kami juga mengoptimalkan lahan agar ketersediaan pakan kontinu dengan menanam rumput potong, singkong, dan jagung di lahan 600 ha,” ujar Direktur Utama PT BULS, Aas Syiarudin Hasbi Al Islahi.
BUMN pangan
Untuk mempercepat perputaran bisnis, PT BULS juga melakukan berbagai kegiatan agribisnis penunjang seperti budidaya singkong di lahan 1.500 hektare yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan produsen tepung tapioka. Menurut Abdi dalam kerja sama itu PT BULS menyediakan lahan dan memasok kebutuhan pupuk organik hasil olahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik granule (POG).
Perusahaan yang kini berumur 45 tahun itu juga memanfaatkan limbah pengolahan tapioka sebagai salah satu sumber pakan sapi. PT BULS juga membudidayakan 100.000 ekor ikan air tawar di 10 embung dari total 30 embung di kawasan peternakan. Perusahaan itu juga memanfaatkan 38 hektare lahan untuk mengembangkan aneka jenis tanaman seperti pisang, cabai rawit, jabon, dan tarum sejak akhir 2015.
Menurut Aas Syiarudin Hasbi Al Islahi roda usaha PT BULS tidak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan penuh dari pemerintah (Kementerian BUMN) berupa regulasi yang kuat, pemodalan yang sehat, dan stabilitas usaha yang berkelanjutan. Termasuk di dalamnya membangun iklim usaha yang kompetitif agar PT BULS memiliki daya saing internasional di masa yang akan datang.
Oleh sebab itu untuk meningkatkan daya saing yang diiringi dengan peningkatan kinerja, PT BULS mempersiapkan diri menuju babak baru percepatan pencapaian swasembada daging nasional. PT BULS menyambut gembira rencana Kementerian BUMN membentuk perusahaan induk BUMN pangan, yang membawahi beberapa perusahaan BUMN seperti PT BULS—yang berada dibawah PT Berdikari (Persero), Bulog, PT Banda Ghana Reksa, PT Pertani, PT Perikanan Indonesia, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, PT Perikanan Nusantara, dan PT Sang Hyang Seri.
Menurut Aas Syiarudin, terbentuknya BUMN Pangan menjadi solusi untuk memperkuat ketahanan pangan rakyat Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, serta nelayan. Dengan begitu ketersediaan, keterjangkauan, stabilisasi, dan kualitas pangan akan terjaga untuk membangun ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Harap mafhum, Indonesia membutuhkan 590.000 ton daging sapi per tahun.
Itu berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2014 yang mencatat jumlah konsumsi daging sapi rata-rata 2,36 kg per kapita. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia mencapi 250-juta jiwa. Sayangnya jumlah produksi sapi nasional belum cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi itu.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Pertanian 2015, jumlah produksi daging sapi nasional hanya 523.920 ton per tahun. Artinya, Indonesia kekurangan pasokan hingga 66.080 ton per tahun. Pantas bila harga daging sapi di tanahair tergolong mahal dibandingkan dengan harga internasional. Apalagi ketika perayaan hari besar seperti Lebaran, harga daging sapi meroket.
Menurut Abdi Robby harga daging sapi di tanahair per Maret 2016 mencapai US$8,02 atau setara Rp104.260 (kurs US$1 = Rp13.000). Harga itu jauh lebih mahal ketimbang harga daging sapi internasional yang hanya US$3,89 atau Rp50.570 per kg. Impor mau tidak mau menjadi jalan keluar untuk menekan harga akibat kurangnya pasokan. Itulah sebabnya jumlah impor sapi hidup dan bakalan pada 2012—2014 cenderung meningkat. Berdikari tengah berupaya menghasilkan sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri agar kita berdiri di atas kaki sendiri. (Imam Wiguna)