Kue rintak terhidang di atas meja itu menggugah selera. Penampilan penganan khas Bangka itu sebanding dengan citarasanya yang lembut dan manis. Bahan baku kue itu adalah umbi lengkir Tacca leontopetaloides. Sejak 2012 Marcus Saleh di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, mengolah lengkir menjadi tepung sebagai bahan baku beragam penganan.

Tanaman lengkir tumbuh di bawah tegakan pohon jambu mete. Daun tanaman anggota famili Dioscoreaceae itu berwarna hijau dan pelepah yang menjulang tinggi mencapai 1,6 meter. Pada ujung pelepah terdapat bunga menyerupai payung dan buah. “Buahnya menyerupai kendi dengan bagian pangkal bulat membesar dan ujung mengerucut berwarna hijau,” ujar Marcus. Lengkir juga tumbuh di pesisir pantai pulau Jawa.
Di beberapa daerah lengkir alias taka itu memiliki sebutan lain, seperti kecondang (Jawa) dan di jalawure (Kabupaten Garut, Jawa Barat). Keunikan bunga dan bentuk buahnya membuat Marcus tertarik membawa pulang tanaman sebagai tanaman hias. Saat mencabut tanaman itu, pensiunan perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara itu terkejut melihat dua umbi bawah akar.
Kedua umbi itu berbentuk bulan lonjong melebar dan memiliki warna yang berbeda yaitu cokelat tua dan putih pucat. Lalu ia meremas kedua umbi dan mengeluarkan cairan berwarna putih yang kemudian didiamkan sehingga menjadi seperti tepung terigu. Dari situlah Marcus yakin umbi itu mengandung karbohidrat yang dapat dijadikan sebagai pengganti tepung terigu. Menurut Marcus umbi yang kaya tepung adalah umbi yang berwarna putih pucat.
“Umbi berwarna kecokelatan memiliki rasa pahit yang bersifat toksin,” ujarnya. Menurut Marcus hasil olahan makanan yang berbahan dasar tepung itu memiliki karakteristirk kue yang lebih gurih dan kenyal pada kue basah. Menurut Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Rambat Menduyung (Unit-I) Kabupaten Bangka Barat, Rahmat S.Hut, umbi berwarna cokelat dapat dugunakan sebagai bibit.

Rahmat mengatakan, hingga kini sedikit anggota masyarakat yang membudidayakan atau mengolah lengkir menjadi bahan makanan. Padahal, menurut Marcus, tanaman yang hidup di bawah tegakan pohon seperti cemara, akasia, dan eucalypus itu mudah tumbuh.
Umbi siap panen setelah 8—9 bulan penanaman. Ciri tanaman siap panen bila pelepah daun mulai meranggas dan berwarna kuning kemerahan. Ukuran umbi rata-rat 0,8 kg per tanaman. “Biasanya umbi yang berwarna putih pucat lebih besar dibandingkan umbi berwarna kecokelatan,” ujar Marcus. Harga jual tepung umbi lengkir juga lebih tinggi dibandingkan tepung terigu. “Harga jual tepung umbi lengkir mencapai Rp15.000 per kilogram,” ujar Marcus. Itu lebih tinggi dibandingkan tepung terigu yang hanya Rp10.000—Rp11.000 per kilogram.
Untuk membuat tepung dari umbi lengkir itu Marcus membersihkan umbi dengan air mengalir lalu memarut. “Tidak perlu dikupas karena bagian kulitnya tipis,” ujar pria lulusan SMA 3 Palembang itu. Untuk mempercepat proses pemarutan ia menggunakan mesin pemarut kelapa. Setelah itu alat parut harus dibersihkan. Agar tidak terjadi kontaminasi dari sisa umbi yang masih menempel.
“Umbi mengandung kimia beracun sehingga jika tidak dibersihkan mengakibatkan bahan menjadi tidak bisa digunakan,” ujar Marcus. Bahan yang sudah diparut juga tidak boleh dibiarkan lebih dari 30 menit. “Jika dibiarkan terlalu lama, hasil parutan akan lengket dan mengeras, sehingga sari pati yang dihasilkan semkin sedikit,” ujarnya. Pemerasan hasil parutan dilakukan menggunakan bahan kasa halur dan dilakukan sebanyak dua kali perasan.

Kemudian campurkan sari pati dengan air dengan perbandingan 1 : 3 dan diamkan selama 1 jam. Air yang digunakan memiliki ph 6. Setelah itu buang air endapan dan isi kembali dengan perbandingan yang sama, aduk hingga air dan pati tercampur. Ulangi kembali perlakuan tersebut sebanyak 5 – 6 kali, hingga air endapan jernih dan pati tidak terasa pahit atau memiliki rasa hambar.
Setelah selesai proses perendaman, segera jemur sari pati di bawah sinar matahari selama kurang lebih 2 hari hingga tepung benar-benar kering. Giling bahan tepung yang mengeras hingga menjadi tepung, kemudian saring kembali untuk mendapatkan tepung yang cukup halus layaknya tepung terigu. Daya tahan tepung lengkir dapat mencapai satu tahun, tanpa perubahan warna, cendawan, dan kutu yang sering terlihat di tepung yang dijual di pasaran.

Menurut penelitian Alfian Z Aatjin dari Jurusan Teknologi Pertanaian, Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, kandungan protein pati lengkir tergolong rendah, yaitu 6,25 sehingga cocok untuk pembuatan kue berbentuk biskuit. Selain itu kandungan amilopektin yang mencapai 43,88% juga membuat adonan menjadi elastis sehingga pada waktu dicetak biskuit tidak akan retak.
Alfin juga melakukan uji organoleptik terhadap biskuit yang terbuat dari pati lengkir dan tepung terigu. Uji itu melibatkan 25 orang. Beberapa variabel pengamatan meliputi warna, bau, rasa, dan kerenyahan dengan metode tingkat kesukaan skala hedonik 1—5 (sangat tidak suka—sangat suka). Hasilnya biskuit yang terbuat dari subsitusi umbi lengkir 75% dan tepung terigu 25% menjadi biskuit yang paling disukai dengan nilai warna 3,89; rasa 3,88; kerenyahan 4 dan bau 3,88. (Muhamad Cahadiyat Kurniawan S.Hut, Kontributor Trubus di Bangka Belitung)