Penyakit Cengkih
Strategi mengatasi bakteri pembuluh kayu penyebab produksi cengkih anjlok.
Pohon-pohon cengkih di kebun Priyanto bagai menanti dentang lonceng kematian. Daun menguning dan sebagian lain berguguran. Sebanyak 30 tegakan cengkih di lahan 0,5 hektare merana terkena penyakit mematikan itu. Produktivitas 20 pohon lain juga anjlok akibat serangan penyakit serupa. Kerusakan itu menyebabkan petani di Desa Mendak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, gagal panen raya pada Juni—Juli 2016.
Padahal, biasanya Priyanto memanen 350-an kg bunga segar dari lahannya. Omzet penjualan bunga harum itu hingga Rp30-juta. Pada musim panen raya 2016 itu ia hanya mendapat Rp5-juta dari seluruh hasil panennya. Penyebab kerugian petani cengkih di lereng Gunung Wilis itu adalah penyakit bakteri pembuluh kayu cengkih (BPKC). Serangan itu menyebabkan produksi anjlok bahkan nihil.
Pembuluh kayu
Setelah terkena penyakit produksi cengkih di kebun Priyanto anjlok hanya 60 kg bunga segar. Biang keladi BPKC adalah bakteri Pseudomonas syzygii. Menurut ahli penyakit tanaman cengkih di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Bogor, Ir Sri Yuni Hartati MSc, penyakit itu menjadi epidemi pada periode 1960—1970 di Sumatera dan Jawa. Dahulu masyarakat menganggap penyakit itu mati bujang.
Makhluk liliput Pseudomonas syzygii menyerang dan mengoloni xilem (pembuluh kayu) untuk menyerap nutrisi. Ketika jumlahnya memenuhi xilem akar dan pangkal batang, pasokan air dan nutrisi ke ujung daun pun tersumbat. Hal itulah yang menyebabkan munculnya gejala matinya ujung atau pucuk tumbuh. Jika cabang ranting atau akar dipotong melintang dan ditekan, keluar cairan eksudat berwarna putih seperti susu.
Ketika kulit kayu dikupas tampak garis-garis berwarna abu-abu atau kecokelatan. Gejala matinya ujung tunas akan merembet ke bagian lain sehingga terjadi kematian cabang dan daun. Menurut Ir Sri Yuni penyakit BPKC ada 2 tipe. Jenis pertama, menyebabkan kematian pohon secara cepat atau mendadak—dalam 6 hingga 24 bulan dari awal gejala penyakit—biasanya terjadi di dataran tinggi.
Sentra cengkih berketinggian lebih dari 600 m di atas permukaan laut itu antara lain Kabupaten Agam, Tanahdatar, Solok (Sumatera Barat), Tapanuli, Asahan Selatan (Sumatera Utara), Kotaagung (Lampung), serta Ciomas dan Pasirmadang (Jawa Barat). Tipe kedua, mati lambat, mematikan pohon dalam waktu 3—6 tahun. “BPKC mati lambat biasanya menyerang pohon cengkih di dataran rendah,“ kata Sri Yuni. Saat ini belum ada metode efektif yang mampu mengendalikan BPKC sampai tuntas.
Itu berarti serangan BPKC vonis mati bagi tanaman terserang, tinggal menunggu waktu saja hingga kematiannya. Injeksi bakterisida hanya mengulur waktu agar pekebun bisa memanen bunga meski produksi merosot drastis. Sejatinya BPKC tidak bisa langsung menular dari pohon terserang ke pohon sehat karena bakteri berada di dalam jaringan pembuluh kayu.
Tersangka Hindola
Penyebaran penyakit itu terjadi melalui perantara serangga yang dapat terbang dan hinggap di tanaman cengkih untuk menyerap nutrisi dari pucuk tanaman cengkih. Vektor utama BPKC adalah ngengat Hindola sp. Serangga dewasa berukuran 4 mm, stadium muda berupa nimfa yang membuat tabung kecil untuk persembunyiannya dan berada di dekat tunas daun, tulang daun atau tangkai daun.
Peneliti hama tanaman cengkih di Balittro, Ir Rodiah Balfas MSc menyatakan ada 2 spesies ngengat Hindola yang menyebarkan P. syzygii. Di Sumatera jenis Hindola fulfa, sedangkan di Jawa H. striata. Bakteri penyebab BPKC dapat hidup di pohon yang sefamili dengan cengkih seperti jambu air Syzygium aquaeum atau S. samarangense, S polycephaloides , dan S. malaccense.
Adapun tanaman inang bagi H. striata antara lain pohon Xanthomonas rigidus, pelawan Tristania laurina, S. uniflorum, Callistemon rigidus, S. racemosum serta S. polycephaloides. Cara paling efektif mengendalikan penyakit itu adalah membatasi penyebaran ngengat Hindola. Sri Yuni menyarankan pengendalian Hindola menggunakan pestisida. Kuncinya perlakuan harus serempak dalam skala luas sehingga seluruh populasi ngengat musnah.
Cara lain, menggunakan musuh alami Hindola yaitu parasitoid telur Acmopolyna sp. Selain itu pengendalian dengan memperbaiki sanitasi kebun. Menurut Sri Yuni pengendalian penyakit melalui infus antibiotik terhadap batang tanaman terserang. Namun, cara itu hanya menunda kemunculan gejala dan memperlambat perkembangan penyakit BPKC, tidak sepenuhnya mematikan bakteri.
Masalahnya penginfusan itu hanya efektif pada fase awal serangan penyakit. Cara lain, mengatur penanaman. Rodiah Balfas menyarankan agar penanaman cengkih dikonsentrasikan di daerah bebas serangan BPKC, antara lain di Bali, Kalimantan Timur, dan Indonesia bagian timur. “Jangan menanam terlalu dekat hutan atau pegunungan, beri jarak minimal 5 km,” kata Rodiah.
Hal itu bertujuan mencegah perpindahan ngengat dari hutan ke perkebunan. Maklum, penyakit BPKC pertama kali ditemukan di perkebunan cengkih yang berbatasan langsung dengan hutan. Gunakan bibit sehat dari daerah bebas BPKC. Dengan beragam strategi itu diharapkan mati penyakit pembuluh kayu tak datang di kebun cengkih. (Muhammad Awaluddin)