Trubus.id—Kepala Laboratorium Ruminansia Kecil Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Dr. Ir. Sri Rahayu, M.Si, mengatakan, maraknya bisnis penggemukan domba menyebabkan terjadinya erosi genetik pada populasi domba.
Jutaan domba berbobot lebih dari 40 kg untuk kurban setiap tahun. Semua domba jantan itu pasti yang terbaik karena untuk ritual keagamaan. Konsumen pun berdamai dengan harga domba kurban yang mahal. Jadilah peternak menjual domba bermutu bagus.
Sementara domba sortiran yang berbobot lebih kecil tetap di kandang. Nantinya domba itulah yang menjadi induk. Tentu saja kualitas generasi berikutnya menurun karena domba terbaik berbobot besar menjadi kurban.
Sektor pembibitan yang tidak berjalan menguras sumber bakalan. Selama ini pasokan bibit berasal dari peternakan rakyat bersistem tradisional. Mereka tidak menghitung biaya tenaga kerja dan pakan sehingga tidak merasa merugi.
Harga bibit di pasaran lebih rendah daripada ongkos produksi jika kedua biaya itu dihitung. “Praktik itu sudah lama berlangsung. Pemerintah harus terlibat jika ingin ada perubahan,” kata Sri. Pemerintah harus bisa menghasilkan kebijakan, sehingga masyarakat mengetahui harga bibit lebih baik ketimbang domba potong.
Harga keduanya harus dibedakan. Dengan begitu sektor pembibitan menguntungkan peternak. Tentu saja mesti ada standardisasi antara domba bibit dan potong. Oleh karena itulah, Sri menyarankan agar pembibitan, pembiakan, dan penggemukan domba berjalan beriringan. Tujuannya permintaan dan pasokan seimbang.
“Kita bakal kehabisan sumber bibit atau bakalan jika hanya mengandalkan peternak tradisional,” kata Sri. Jadi, asosiasi, akademisi, dan pemerintah mesti bersinergi. Selain kurban, pasar besar domba lainnya yakni akikah.
Kesadaran masyarakat melaksanakan akikah luar biasa. Permintaan rumah makan penyedia menu satai pun bertumbuh. Lazimnya penyedia akikah dan warung makan menggunakan daging domba betina karena harganya lebih murah daripada jantan.
Ketua Umum Himpunan Peternak Domba Kambing Indonesia (HPDKI), Ir. Yudi Guntara Noor, S.Pt., IPU., mengatakan tren perkembangan penggemukan domba belum diantisipasi dengan baik seperti ketidaksiapan integrasi pembangunan hulu dan hilir.
Tema dan bahasan domba pun belum mengarah pada dukungan kebijakan dan program yang spesifik di tingkat nasional dan daerah. Selain itu tumbuhnya antusiasme peternak domba terkonsentrasi di hilir dan tengah (penggemukan) yang membentuk korporasi.
Sementara di tingkat pembiakan komersial masih minim. HPDKI membentuk klasterisasi penggemukan sebagai program jangka pendek untuk mengatasi masalah itu. Selain itu HPDKI juga membentuk klaster hulu untuk pembibitan.
“HPDKI berusaha melakukan sinergisitas para pemangku kepentingan (stakeholders) terkait untuk memberikan dukungan dalam bentuk pembiayaan, asuransi domba, dan introduksi bibit untuk perbaikan genetik ternak lokal di tingkat peternak,” kataYudi.
Penyediaan modal bagi peternak dapat melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun pemanfaatan Dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Peluang perluasan pasar domba dan kambing di tingkat global masih sangat terbuka luas.
Ekspor domba membuat peternak lebih bersemangat sehingga kuantitas dan kualitas ternak potong meningkat. Permintaan dalam negeri yang bertambah banyak pun menjanjikan keuntungan. Syaratnya pembibitan dan penggemukan sejalan.