Salah satu kekhawatiran utama para pebisnis pertanian adalah masalah pasar. Proses budidaya relatif mudah lantaran banyaknya panduan dan sumber informasi penunjang keberhasilan. Namun, setelah berproduksi, ke mana menjual hasil pertanian itu dengan harga yang pantas sesuai dengan perjuangan yang telah dilakukan. Dilepas ke tengkulak, bisa berarti kemerdekaan produsen untuk menentukan harga produknya menjadi hilang.
Solusinya hanya satu, yaitu menciptakan pasar sendiri. Mudah dalam ucapan tetapi sulit mewujudkan. Itu yang biasa terlontar secara spontan saat solusi itu dilontarkan di hadapan para pengusaha agribisnis. Bisa jadi, pelaku usaha yang berpendapat demikian karena belum mengetahui cara-caranya. Kreativitas kuncinya. Semuanya memang memerlukan proses dan waktu, tidak dapat terlaksana dengan instan.
Promosi
Sabila Farm di Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, mendobrak kebuntuan pasar. Ia merancang pasar untuk produk pertaniannya seiring dengan perkembangan proses produksi. Contoh menarik pada kasus pasar buah lemon. Sabila Farm tertarik membudidayakan lemon karena sejak awal menitikberatkan komuditas berbasis kesehatan. Perusahaan itu juga mengebunkan beragam jenis buah naga, srikaya jumbo, sirsak madu, dan avokad.
Pada Februari 2016 manajemen Sabila Farm mengunjungi pameran buah “Fruit Logistica” di Messe, Berlin, Jerman. Di sana ia melihat, pemasaraan lemon sangat luar biasa. Pameran yang menempati luas 5 kali lapangan sepkbola itu didominasi oleh lemon. Waktu itu jeruk nipis kurang dihargai. Namun, kemudian, dari modia sosial muncul info bahwa manfaat lemon itu sangat besar bagi kesehatan.
Ia kemudian mencari bibit lemon dan mendapatkannya dari Amerika Serikat. Citarasa buah lemon asal Abang Sam kombinasi antara keprok dengan nipis dan aromanya dari nipis dan kesegaran dan rasa dari keprok. Buah nirbiji. Kembali ke tanah air, ia segera mengebunkan lemon karena menganggap bahwa bisnis itu tidak sulit dan berprospek cerah. Saat itulah Sabila Farm mulai merintis jalan membuka pasar untuk produk pertanian anyarnya.
Penyebaran informasi ke calon konsumen melalui berbagai cara dan media. Keberadaan media sosial dan perangkat informasi selular sangat membantu penetrasi pesan ke khalayak. Isi pesan berupa pemberitahuan bahwa kini ada kebun lemon di Yogyakarta siap memenuhi kebutuhan buah di masyarakat. Promosi itu 2 bulan menjelang panen. Sejatinya, saat awal sebelum tanam pun ia memberitahu akan menanam lemon.
Citra positif
Setelah itu, produk harus promosikan secara berkala. Dengan demikian pasar akan terjaga dan terawat. Jangan takut menampilkan keunggulan produk pertanian kepada konsumen. Pada kasus Sabila Farm, mempunyai ciri khas dan dikembangkan di lahan marginal. Kemas sebuah “pencitraan” yang baik, tetapi tidak boleh membohongi dengan menambahkan hal yang tidak sesuai fakta.
Permasalahan di Indonesia kebanyakan petani hortikulutra tidak bisa membuat pasar sendiri. Padahal, itu hal yang vital. Pasar harus dibuat menarik. Sabila Farm itu sebagai tempat penghasil buah-buah berkualitas. Citra itu harus melekat di pikiran calon konsumen. Beruntungnya, ia bertani di lereng Gunung Merapi yang kaya sulfur dan magnesium sebagai nutrisi tanaman buah. Itu tidak bisa dikuti oleh pekebun di daerah lain.
Petani juga mesti bisa mengatur dan mengelola harga produk pertanian sesuai dengan kualitas yang ditawarkan. Di pasaran harga lemon Rp65.000—Rp80.000 per kg dengan kualitas tidak terjamin akan memuaskan penikmatnya. Sabila Farm berusaha menghasilkan lemon lebih baik, dalam hal aroma dan citarasa. Dengan demikian, produk buah yang sudah terjamin kualitasnya layak dilepas dengan harga lebih.
Respons pasar juga tetap baik. Ada hukum tidak tertulis yang menyebutkan ada harga ada rupa, untuk menggambarkan kesesuaian kualitas barang dengan pengorbanan yang harus dilakukan. Namun, yang harus selalu diingat, semua itu tidak bisa terjadi secara tiba-tiba alias memerlukan waktu dan kerja cerdas. Selalu lipatgandakan kemungkinan memperoleh keuntungan dengan cara diversifikasi produk.
Setelah petani menguasai ilmu budidaya berbagai jenis tanaman yang berpotensi ekonomis tinggi, segera pikirkan tindakan untuk mengembangkan lebih dari 1 jenis tanaman. Sabila Farm menanam lemon dengan sistem tumpang sari dengan pepaya. Jenis yang ditanam adalah kalina atau orang biasa mengenal dengan pepaya kalifornia. Dari proses budidaya selama 18 bulan, dapat hasilkan 100 kg per hektare pepaya kalina per hari, dengan harga jual Rp7.000—10.000 per kg.
Jangan lupa untuk selalu membuat produk yang dihasilkan lebih unggul daripada produk serupa di pasaran. Hasilnya permintaan buah pepaya Sabila Farm dapat menembus pasar Singapura dan mereka selalu meminta pasokan pepaya dari kebun, tidak mau dari tempat lain. Permintaan lokal pun juga masih belum bisa terpenuhi.
Komunikasi interpersonal
Di lahan 1 hektare, ditanam lemon 1.000 pohon dan pepaya 1.000 tanaman. Jaraknya sama-sama 3 m x 3m. Jadi di antara lemon selalu ada papaya. Demikian pula, dalam satu bujursangkar pepaya, di tengahnya ada lemon. Faktor alam sangat berpengaruh dalam produksi pertanian. Sabila Farm mengasumsikan, lemon baru bisa dipanen setelah 2 tahun. Ternyata prediksi itu meleset, di kebun kami belum setahun sudah berbuah.
Mungkin itu dampak La nina, yang banyak hujan yang membuat lemon cepat berbuah. Karena nutrisinya banyak, sehingga cepat berbuah. Pepayanya pun berbuahnya baik. Jadi keduanya bagus dalam bersimbiosis. Pemasaran itu intinya komunikasi interpersonal yang baik dan jejaring sosial. Itu yang dianut oleh Sabila Farm dan sampai saat ini untuk pasarnya ia tidak mempunyai toko.
Itu “memaksa” konsumen untuk selalu berhubungan dan datang mengunjungi kebun. Metode itu penting untuk menjaga kepercayaan pasar dan menunjukkan transparansi dalam hal hubungan bisnis. Selain itu, Sabila juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi mitra dagang, pemasok, dan penjual produk buah. Kini Sabila memasarkan 60% produknya di luar Yogyakarta, paling banyak di Jakarta dan sekitarnya.
Reseller menjual dengan sistem daring. Mereka membina pasar agar loyal pada produksi mereka. Jadi meskipun tidak punya toko, Sabila punya banyak reseller. Itu yang mesti ditiru orang karena cara penjualan itu sangat efisien. Sebagai gambaran, dari satu gedung di Jalan Sudirman, ia mengenal 1 orang, yang menjadi resellernya. Kemudian dari informasi “dari mulut ke mulut”, pemasaran semakin meluas dengan sendirinya.
Yang utama, reseller tidak direpotkan. Ia hanya melakukan kegiatan menerima barang, lalu mendistribusikan ke teman-temannya. Begitu terima uang, ia setor ke Sabila. Hebatnya, kebanyakan resellernya itu bukan tukang buah, tetapi pegawai, bahkan ada direktur perusahaan. Gambaran sistemnya cukup sederhana. Pada satu kantor, reseller mendapat fasilitas berupa sampel produk buah yang akan ditawarkan kepada calon konsumen.
Setelah konsumen tertarik, itu sangat menguntungkan mereka. Misalnya dari 5 kg buah yang dikirim, mereka bisa mendapat Rp25.000. Kalau bisa jual 20 pak, bisa mendapat Rp500.000 per bulan. Dalam sistem penjualan moderen saat ini, yang jadi penggerak adalah kualitas barang. Kualitas buah dijamin oleh farm, jadi reseller cukup aman dari risiko kerusakan produk.
Apa yang dilakukan Sabila Farm adalah salah satu solusi memecahkan permasalahan pasar produk pertanian. Hasil pada setiap orang dapat berlainan tergantung perjuangan yang dilakukan. Namun, faktanya kini dalam setahun sekitar 6.000 orang datang dan belajar budidaya dan pemasaran di Sabila Farm. Semuanya dirintis dan memerlukan waktu dalam prosesnya. Mari kita mulai bertindak demi kemajuan industri pertanian Indonesia. (Gun Sutopo, pelaku agribisnis, motivator, dan pemilik Sabila Farm)