Monday, February 10, 2025

Frimong Organik, Mau?

Rekomendasi
- Advertisement -
Jeruk frimong organik produksi kebun Arista Montana bercita rasa eksotis karena perpaduan manis dan masam.

Frimong berkualitas prima dengan sertifikat organik.

Dompolan jeruk berwarna kuning jingga cerah itu begitu menggoda. Sosok buah relatif besar, kulit mulus, dan terlihat padat berisi. Penampilannya makin menonjol dengan daun yang hijau segar tanda tanaman sehat. Sosok pohon dengan sarat buah itu jadi pemandangan elok di kebun jeruk frimong seluas 6 hektare di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Setiap bulan pekerja kebun menanen 2,4 ton jeruk frimong. Itu hasil panen dari 3.000 tanaman produktif.

Pohon berumur 5—6 tahun dengan produksi 1,5 kg per pohon. Jeruk berproduksi sepanjang tahun. Dari kebun di Megamendung frimong kemudian dikirim ke konsumen di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). “Citarasa frimong eksotis karena perpaduan manis dan masam,” kata Adelia Anastasia, salah seorang konsumen. Adelia semula jarang mengonsumsi jeruk. Namun, keputusannya berubah saat mencicipi frimong hasil penanaman organik di kebun Megamendung itu.

Syarat ketat
Semula total lahan seluas 30 hektare itu telantar. Hanya semak dan tanaman liar yang tumbuh. Masyarakat enggan menggarap lantaran tidak ada jalan menuju lokasi. Kontur lahan pun tidak semuanya rata. Di beberapa bagian kemiringan lahan bahkan hampir mencapai 45 derajat. Hanya mobil berjenis four wheel drive (4WD) yang mampu mengatasi kondisi jalan berbatu nan curam. Perjalanan dengan mobil masih dilanjutkan dengan berjalan kaki tiga jam sembari menebas semak.

Aneka olahan jeruk frimong berupa jus dan smoothie.

Itu cerita sebelum 2011. Kini bekas lahan menganggur itu sangat produktif. Deretan frimong memenuhi lahan miring yang sudah membentuk terasering. Andy Utama—pemilik dan pengelola lahan— memilih mengembangkan frimong karena citarasa berbeda dari jeruk lain. “Tidak hanya bercitarasa manis, tapi juga ada masam dan aroma jeruknya terasa,” kata warga Jakarta itu. Ia menanam jeruk asal Australia itu secara organik. Menurut konsultan kebun, Sucipto Hadisaputro, organik itu sebuah sistem. “Dalam budidaya organik harus terukur kualitas air, tanah, bibit, pupuk, dan kegiatan pascapanen,” tutur Sucipto.

Pengelola kebun, Susilarto, mengatakan konsep budidaya organik di kebun frimong adalah menjaga keseimbangan ekosistem lokal kawasan antara tanaman dan hewan di dalamnya. Di pinggir hutan ia dan rekan menanam talas dan singkong untuk makanan hewan dari hutan. “Kami juga berladang pisang untuk makanan monyet dan musang agar tidak banyak mengganggu jeruk,” kata Sus, sapaan akrab Susilarto. Ia juga menjaga keberadaan pohon di sekitar hutan sehingga ketersediaan air terjaga.

Sus memanfaatkan sumber air pegunungan yang bebas kontaminan untuk irigasi. Prinsipnya tidak memaksakan lahan dan tanaman. Misal lahan cadas ditanami jeruk, tanaman itu bisa tumbuh, tapi tidak normal.

Supaya jeruk tumbuh optimal, pekerja memberikan 25—50 kg kompos per tanaman setiap enam bulan. Pemberian kompos dua kali setahun. Kompos terbuat dari sekam padi, kotoran ternak, dan kotoran kelinci. Semua bahan baku kompos berasal dari lahan sama. Kebetulan Andy juga memelihara kambing dan domba untuk memenuhi permintaan Hari Raya Idul Adha, sekaligus sumber pupuk kandang.

Segar dan olahan
Serangan hama dan penyakit juga diatasi secara organik. Jika ada serangan hama berupa kutu kebul, pekerja menyemprotkan pestisida nabati yang terbuat dari daun mindi dan rimpang seperti jahe per 2 pekan. Ramuan lainnya daun dan buah kacang babi serta daun suren. Menurut Susilarto, sejak November 2017 ia hanya menggunakan pestisida bourdoux berbahan kapur dan terusi.

Andy Utama pemilik kebun frimong organik.

Manajer Mutu dan Inspektor Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE), Dr. Muhamad Djazuli, mengatakan penggunaan bourdoux diperbolehkan karena pestisida itu berbahan alam dan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) 2016. Pada Mei 2017 produksi buah tanaman anggota famili Rutaceae itu merosot hingga 50% karena serangan lalat buah. Padahal pekerja sudah mengaplikasikan pestisida rutin dan perangkap lalat buah menggunakan feromon. Sayangnya semua usaha itu tidak membuahkan hasil. Sus mengatakan saat itu juga curah hujan tinggi sehingga calon buah banyak yang tidak jadi.

Konsultan kebun, Sucipto Hadisaputro, mengatakan organik itu sebuah sistem.

Sementara syarat organik pada kegiatan pascapanen yakni menggunakan wadah berbahan alam seperti keranjang bambu. Menurut Djazuli syarat kebun buah organik antara lain 3 tahun pascatanam baru bisa disertifikasi. Dengan memenuhi semua syarat itu, kebun frimong di Megamendung itu memperoleh serifikat organik dari lembaga sertifikasi organik INOFICE yang berkedudukan di Kota Bogor, Jawa Barat, sejak 2013.

Pengolahan kompos menggunakan bahan baku di sekitar kebun.

Dengan budidaya organik produksi frimong di kebun Arista Montana itu mencapai 1,5 kg per pohon per bulan pada umur 5—6 tahun. Djazuli mengatakan sejatinya produktivitas buah bisa sama atau bahkan melebihi budidaya konvensional. Syaratnya pemupukan dan perawatan mesti intensif. Semula Andy menyasar pasar modern untuk menjual produk frimong organik. Namun, belakangan penjualan lebih efektif dilakukan langsung ke individu. Sebab sembari menjual, sekaligus bisa memberi edukasi tentang pentingnya produk organik.

“Edukasi dan penjelasan produk tidak dapat dilakukan jika penjualan melalui toko atau pasar swalayan,” kata Andy. Tak hanya dijual segar Andy mengolah jeruk menjadi jus dan smoothie. (Riefza Vebriansyah)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pesona Hutan di Kota Metropolitan

Trubus.id–Warga Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tak perlu bepergian jauh untuk sekadar menikmati atmosfer khas hutan hujan tropis....
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img