Trubus.id—Guru Besar IPB University di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL), Prof Baba Barus dan tim Departemen Proteksi Tanaman (PTN) serta Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) mengembangkan Rice Assessment and Damage Alert Response by IPB (RADAR-IPB) 1.0.
Model itu merupakan pengembangan versi 1 untuk mendeteksi anomali pola spektral kerusakan padi yang berdampak pada penurunan produktivitas. Pasalnya pertanian pangan tengah menghadapi tantangan seperti perubahan iklim.
Melansir pada laman IPB University fenomena perubahan iklim dan kondisi ekosistem in situ seperti lahan pertanian sawah terus mengalami perubahan dari kondisi alami. Hal itu mengubah variabilitas spasial dan temporal lahan pertanian, khususnya tingkat tapak.
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), subsidi, dan asuransi merupakan beberapa cara untuk menjaga ketersediaan pangan. Pemberian skema asuransi pertanian kepada petani itu agar petani tetap memproduksi bahan pangan padi saat terjadi kerusakan.
Namun, dewasa ini skema asuransi pertanian baru melalui penilaian kerusakan secara konvensional. Penilaian skala kerusakan itu berdasarkan areal petak, pengukuran sampel pada diagonal hamparan dari petak pengamatan tetap, model patroli atau keliling dengan lampu perangkap.
Menurut Baba Barus pendekatan itu masih subjektif, karena berdasarkan kemampuan petugas lapangan yang bisa berbeda interpretasi. Maka Baba Barus dan tim mengembangkan teknologi itu.
Ia menuturkan bahwa RADAR-IPB 1.0 menggunakan alat ukur lapang proksimal dan UAV Multispektral (Drone Multisensor). Berfungsi untuk memahami pola spectral tanaman padi dengan kondisi kering, basah, dan normal dengan varietas padi IR 64 dan ciherang.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa penilaian kerusakan padi berdasarkan metode penilaian resmi yakni sejak tanam hingga 9 kali panen dan bersamaan dengan pengambilan data drone.
Berdasarkan pengamatan nilai spectral pengukuran sampel lapangan, dihasilkan spectral tanaman yang berubah cepat sesuai kondisi lingkungan dan secara umum tanaman tertentu lebih sensitif kerusakan karena bakteri hawar daun.
Baba Barus memaparkan bahwa kejadian kerusakan mulai terjadi pada fase vegetatif pada umur 35—40 hari terjadi perubahan nyata pada fase generatif fase 60 hari dan juga 75 hari, setelah itu kerusakan konstan naik.
Ia menuturkan berdasarkan data itu, maka untuk mencegah kerusakan pada fase akhir perlu dilakukan tindakan dini kerusakan di bawah 20 persen pada fase tertentu, yang terletak pada umur sekitar 75 hari.
Untuk memantapkan pencegahan kerusakan lebih dini maka ia menyarankan deteksi dini pada fase umur sebelum 60 hari dengan kerusakan sekitar 15 persen. Kemudian informasi proximal sensing untuk pemilihan drone untuk peta kerusakan.
Pembuatan peta kerusakan itu menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Maximum Likelihood Classification/MLC) dengan pertimbangan akurasi yang baik, mudah, dan banyak di perangkat lunak.
“Pemetaan lain yakni berbasis indeks vegetasi atau variasi yang lain, tetapi hasilnya tidak lebih baik dari pemetaan MLC,” ujarnya.
Peta kerusakan dibuat dalam beberapa pengukuran untuk melihat potensi kecepatan perubahan area kerusakan. Ia menuturkan pada penelitan iu terdapat pemetaan kerusakan pada 60 hari setelah tanam (hst) dan 75 hst.
Menurut Baba Barus terdapat perubahan nyata dalam waktu 15 hari, saat itu daerah rusak meningkat melebihi 200 persen.
“Daerah padi yang rusak kelas rendah (6—12 persen) meningkat sangat besar. Kejadian kerusakan pada fase generatif ini idealnya dicegah pada fase vegetatif,” ujarnya
Menurut Baba Barus model itu menghasilkan informasi penyebaran kerusakan lebih dini, yang dapat dipakai untuk melihat kecenderungan penyebaran kerusakan mengikuti lingkungan dan varietas.
“RADAR-IPB versi 1.0 sudah menghasilkan model deteksi ini melalui prediksi dini kerusakan dari pola spektral dan penentuan peta kerusakan dini temporal, yang menunjukan keperluan berbagai parameter dan proses untuk mencegah kerusakan padi di fase akhir,” ujarnya.