Ajang pencarian jeruk terbaik tanahair.

Solikin telaten merawat pohon jeruk pamelo. Petani di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, itu rutin memberikan pupuk kandang dan campuran dedaunan kering dua kali setahun. Dosisnya 30—40 kg setiap pohon. Solikin juga memasang para-para bambu untuk mencegah buah besar dan matang jatuh. Semua upaya itu untuk menghasilkan Citrus grandis kualitas terbaik.
Upaya itu membuahkan hasil. Pamelo milik petani di lereng Gunung Muria, Jawa Tengah, itu meraih juara ke-1 kontes jeruk nasional yang diselenggarakan Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) pada Agustus 2016. Menurut juri kontes, Ir Arry Supriyanto, MS, pamelo jawara itu unggul dari segi rasa dan penampilan. “Pesaing terberatnya kalah karena penampilannya kurang meski rasanya nendang,” ujar Arry.
Inovasi
Pamelo hasil budidaya Solikin itu juga menjadi juara favorit. Buah anggota famili Rutaceae itu bercitarasa manis, rasa getir sedikit, dan daging buahnya merah menyala. Perpaduan rasa dan penampilan yang optimal itu mengantarkan pamelo lokal menjadi jawara kontes yang merupakan rangkaian acara Ekshibisi Inovasi Teknologi Balitjestro pada 4—6 Agustus 2016 di Junrejo, Kotamadya Batu, Jawa Timur.

Penjurian kontes jeruk pada 4 Agustus 2016. Menurut penanggung jawab kontes, Dr Chaireni Martasari SP Msi, para juri merupakan perwakilan dari akademisi perguruan tinggi, pihak swasta, dan Balitjestro sebagai instansi pemerintah yang fokus menangani urusan perjerukan. “Kami juga meminta pengunjung untuk menentukan juara favorit yang mempresentasikan penilaian konsumen,” ujar Chaireni.
Para peserta kontes berdatangan dari berbagai daerah di Indonesia seperti Provinsi Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Para peserta terbagi menjadi 3 kategori yaitu jeruk pamelo, jeruk keprok, dan jeruk siam. “Total peserta 49. Ada 19 peserta pada kelompok jeruk siam, 20 peserta jeruk keprok, dan 10 peserta kelompok jeruk pamelo,” ujar Chaireni.
Di kategori keprok, jeruk milik Nur Rohman Santoso, pekebun asal Kotamadya Batu, Jawa Timur, meraih juara ke-1 dengan total nilai 218. Itu selisih 3 angka dengan juara ke-2. Prof Dr Ir Slamet Susanto MSc juri asal Institut Pertanian Bogor, menuturkan, penjurian secara umum meliputi dua kriteria yaitu kriteria eksternal yang meliputi penampilan luar dan kriteria internal yang meliputi rasa, tingkat kemanisan, kandungan asam, serta jumlah biji.

“Persaingannya cukup ketat, karena beberapa jeruk sudah layak untuk dikembangkan dalam skala luas,” ujar Susanto. Di kategori siam, jeruk milik Rana Farasti dari Medan meraih juara pertama dengan total nilai 214. Sang kampiun unggul 5 angka dari pesaing utamanya, jeruk milik Selamat dari Banjar.
Warna kulit
Menurut Martasari total nilai itu merupakan akumulasi dari beberapa kriteria seperti kualitas buah berdasarkan kadar kemanisan, penampilan kemulusan, kemudahan dikupas, dan jumlah biji sedikit. Khusus kategori pamelo, panitia menambahkan tingkat kerekatan juring. Menurut Arry Supriyanto persaingan ketat pada kontes itu mengindikasikan Indonesia memiliki potensi jeruk yang luar biasa.
“Bahkan ada yang selisihnya hanya 3 angka, seperti di kategori keprok,” ujar Arry. Namun, beberapa belum tersentuh teknologi, misalnya teknologi degreening alias perombakan warna hijau dan pembentukan warna jingga. Selain teknologi, kondisi lingkungan tempat budidaya juga menjadi faktor penentu kualitas buah. “Di kategori pamelo, para pemenang masih sekitar Kudus dan Blora, Jawa Tengah karena lingkungan juga berpengaruh terhadap kualitas buah,” ujar Arry.

Juri dari Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Prof Ir Sumeru Ashari MAgrSc, PhD, menuturkan hal senada. “Secara genetik jeruk yang ikut kontes sudah bagus, tinggal pengembangannya plus teknologi. Sebab, jeruk sangat rentan dengan perubahan iklim. Kelembapan bagus, bisa kulit bagus, kalau ada perubahan iklim apa kulitnya bisa sebagus ini?” ujar Prof Sumeru.

Ia mencontohkan keprok soe yang cocok di Nusa Tenggara Timur, tetapi susah dikembangkan di tempat lain. Menurut Prof Sumeru, pekebun jeruk tanahair harus mencintai produk lokal daerahnya masing-masing dan penerapan teknologi. “Bagaimana membuat jeruk lebih manis, membuat penampilannya lebih menarik dengan teknologi degreening. Semua ada teknologinya,” ujarnya.
Harap mafhum, warna kulit menjadi penentu pertama daya tarik jeruk di mata konsumen. “Warna jadi faktor utama karena pertama kali dilihat, baru kemudian rasa. Meskipun kalau sudah kenal rasanya, konsumen tak lagi peduli warna,” ujar Sumeru. Para kampiun di Kota Batu—sohor dengan julukan negeri Swiss Kecil—potensial untuk dikembangkan. (Bondan Setyawan)