Warga Jepang membutuhkan sandersonia untuk beragam perayaan.
Ini kebiasaan masa silam warga Jepang setiap purnama pada Agustus. Mereka memasang lampion warna-warni di depan rumah. Maka mereka pun menari obon untuk menyambut roh leluhur yang datang menjenguk. Cahaya lampion menjadi penunjuk arah agar roh tidak tersesat saat datang dan pulang. Lampion menjadi simbol beberapa perayaan dalam tradisi Jepang.
Lampion yang lekat dengan tradisi Jepang itu ditangkap Tadashi Matsumoto menjadi peluang bisnis. Ia meninggalkan profesinya sebagai pekebun semangka dan wortel selama 25 tahun, lalu beralih mengebunkan bunga lampion asal Selandia Baru. Ia pertama kali melihat sosok bunga lampion Sandersonia aurantiaca itu di sebuah brosur. “Bentuknya unik mirip lampion, pasti laku bila menjadi bunga potong di Jepang,” kata Tadashi.
Pasar rutin
Pemerintah setempat yang tengah mengembangkan Kota Shibayama, Prefektur Chiba, sebagai sentra tanaman hias mendukung niat Tadashi. Maklum lokasi kebun Tadashi hanya sepelemparan batu dari bandar udara internasional Narita yang beroperasi sejak 1978. “Sejak itu pemerintah kota membantu penuh petani buah dan sayuran yang beralih menjadi petani bunga,” kata Tadashi. Pemerintah menganggap sentra bunga menjadi daya pikat pelancong agar berkunjung ke Shibayama.
Menurut Lanassa Lyra, mahasiswa program master Desain Kultur, Universitas Chiba, Jepang, bentuk bunga sandersonia mirip bunga hozuki Physalis alkekengi yang berwarna merah cerah. “Keduanya benar-benar mirip lampion,” kata Lyra. Hozuki kerabat ciplukan—juga berbentuk lampion—yang tumbuh liar di tanahair. Bedanya ciplukan Physalis angulata berwarna hijau. Menurut Lyra, masyarakat Jepang menjuluki hozuki sebagai lampion dewa.
Lampion pada masa silam, menurut Lyra, simbol penerang dan penunjuk arah bagi masyarakat Jepang. Oleh karena itu hiasan lampion hadir dalam 5 perayaan besar tahunan masyarakat Jepang—sebagai pembawa berkah pada setiap musim—di berbagai sudut kota. Perayaan itu berturut-turut dilaksanakan pada 7 Januari, 3 Maret, 5 Mei, 7 Juli, dan 9 September. “Bunga lampion menjadi hiasan dalam bentuk alternatif yang disukai,” kata Lyra. Warga memasang lampion menjelang hari-hari perayaan itu sehingga permintaan pasar menjadi rutin.
Pertimbangan itu membuat Tadashi membangun 9 greenhouse di atas lahan 6.000 m2 dengan bendera Agri-Matsumoto. Dua greenhouse ukuran 20 m x 80 dan 5 greenhouse 6 m x 80 m sebagai kebun produksi. Sebuah greenhouse 20 m x 60 m untuk pengolahan media, pupuk, dan sterilisasi. Adapun sebuah greenhouse 20 m x 80 m untuk pipa hidrosistem. “Setiap bangunan memiliki fungsi berbeda sehingga tidak mengganggu kebun produksi,” kata Tadashi.
Ia mengimpor umbi lampion dari Selandia Baru. Tadashi kemudian mengirim sebagian umbi itu ke Batu, Provinsi Jawa Timur, untuk dibesarkan pekebun kepercayaannya. “Produksi di Jepang terbatas karena lahan sempit dan terhambat musim dingin. Untuk mengatasinya sebagian sandersonia diproduksi di Indonesia” ungkap Ir Luki Budiarti, pemilik Arjuna Flora, pekebun mitra Tadashi. Kini setiap tahun Tadashi menghasilkan 500.000 christmas bells dengan harga jual 180 yen per tanaman.
Otomatis
Di greenhouse itu Tadashi juga menanam kala lili dan bunga matahari dengan produksi rata-rata mencapai 300.000 tanaman per tahun. Tadashi memperoleh benih keduanya dari Belanda. Setelah dibesarkan setiap tanaman dijual dengan harga 150 yen. Untuk mengelola kebun itu Tadashi cukup dibantu 4 orang yang bekerja paruh waktu tergantung kebutuhan.
Maklum hampir semua aktivitas di greenhouse milik Tadashi dikerjakan secara modern. Contohnya penyiraman menggunakan sistem irigasi tetes otomatis ala Israel. Pun proses pencampuran media tanam berupa tanah, bahan organik, dan pupuk serta sterilisasi media tanam dilakukan secara otomatis dengan teknik pemanasan di greenhouse khusus. Ia mengalirkan udara panas ke dalam greenhouse tertutup selama beberapa waktu.
Menurut Tadashi setelah panen ia tak perlu repot-repot menjual hasil kebun. Sebab, kendaraan milik Asosiasi Petani Bunga di Kota Shibayama mengambil hasil kebun dan membawanya ke sebuah pasar lelang di Tokyo. Dari tempat lelang itu bunga produksi pekebun di Shibayama didistribusikan ke gerai tanaman hias atau bunga yang hadir hampir di setiap mal di Jepang.
Sebagian hasil panen lain dijual di pasar di sentra pertanian. Di pasar tani itu sandersonia, kala lili, dan bunga matahari dijajakan bersama produk pertanian pangan dan sayuran. Menurut Tadashi harga jual di pasar 70—80% lebih murah daripada harga di mal modern. Musababnya pemerintah menyediakan gerai di pasar itu. Pun penjaga berasal dari pensiunan pegawai negeri sipil atau sukarelawan yang digaji pemerintah.
“Subsidi pemerintah untuk pekebun diberikan berupa bebas sewa gedung untuk pemasaran di tempat strategis beserta petugas penjaganya,” kata Yohei Morifuji, mahasiswa Fakultas Sains Universitas Chiba. Dengan dukungan pemerintah itu pekebun ala Tadashi pun mampu mendunia. (Destika Cahyana, peneliti di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian serta mahasiswa Sekolah Pascasarjana, Universitas Chiba, Jepang)