Trubus.id—Riadhi menggigit naget pipih itu, lalu mengunyahnya. Beberapa saat kemudian pegawai Rumah Zakat Aceh yang mampir ke Rumah Pemberdayaan Ibu dan Anak (RPIA) pada Kamis (7/11) itu berujar, “Naget ini (berbahan) ikan, tetapi tak terasa lelenya.” Benar, naget itu berbahan baku daging lele. Namun, citarasa lele tidak begitu kuat. Orang yang mencicipinya bisa jadi tak menyangka jika naget itu berbahan lele. Tampilannya—bentuk, tekstur, dan warna—pun relatif sama dengan naget yang dijual di pasaran. Masyarakat bakal sulit membedakan keduanya tanpa melihat kemasan.
Ketika Riadhi mampir, di RPIA Desa Ladangbaro, Kecamatan Julok, Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, tengah berlangsung pelatihan pengolahan lele dan jamur tiram. Durasi pelatihan selama tiga hari sejak 6 November 2024. Pelatihan olahan lele berlangsung pada hari kedua, Kamis (7/11). Penyelenggara pelatihan itu Kelas Trubus, salah satu divisi di PT Trubus Swadaya, penerbit Majalah Trubus bekerja sama dengan PT Medco E&P Malaka (Eksploration dan Produktion, red), dan Medco Foundation.
Menurut Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), PT Medco E&P Malaka perusahaan minyak dan gas pertama yang berhasil mengembangkan gas di Blok A, Aceh Timur setelah perdamaian Aceh. Medco mengembangkan lebih dari 450 kaki kubik (BCF) cadangan gas untuk memenuhi kebutuhan industri pupuk di Aceh dan industri lainnya di Sumatra Utara. Lokasi pertambangan sekitar 30 km arah barat dari ibukota Kabupaten Aceh Timur, yakni Idi Rayeuk.
Caranya mudah
Peserta pelatihan 20 orang berasal dari berbagai desa di Kecamatan Julok dan Indramakmur, keduanya di Kabupaten Aceh Timur. Narasumber pelatihan Lina T. Gempur menjelaskan manfaat lele, aneka olahan, dan cara pengolahan. Sehari-hari Lina yang tinggal di Kabupaten Garut, Jawa Barat, juga mengolah lele menjadi aneka penganan seperti naget, bakso, dan abon. Untuk membuat ketiga olahan itu Lina cenderung memilih lele berukuran besar berbobot 3—4 kg per ekor agar rendemen tinggi.
Meski demikian bukan berarti lele berukuran kecil atau kurang dari 300 gram per ekor terlarang sebagai bahan baku naget dan bakso. Lele konsumsi rata-rata berbobot 250—300 per ekor. Menurut Lina daging lele berukuran konsumsi (300 gram per ekor) tetap dapat diolah menjadi naget, bakso, atau abon. Namun, rendemen relatif kecil.
Setelah belajarteori, kini giliran peserta pelatihan membersihkan lele. Mereka hanya mengambil dagingnya. Sementara bagian kepala, kulit tubuh, dan ekor dipisahkan. Dari 8 kg lele, peserta memperoleh 3,3 kg daging. Setiap kelompok—terdapat 4 kelompok masing-masing terdiri atas 5 orang—memperoleh 800 gram daging lele tanpa tulang dan duri. Mereka memanfaatkan daging ikan anggota famili Clariidae itu menjadi dua olahan yakni bakso dan naget.
Sementara pada pembuatan abon, peserta memanfaatkan lele berbeda. Harap mafhum, pembuatan abon juga memungkinkan pemanfaatan kulit ikan. Pembuatan abon juga mensyaratkan daging lele dikukus terlebih dahulu. Sebaliknya, proses pembuatan naget dan bakso tak perlu pengukusan daging lele terlebih dahulu. Para peserta melihat panduan yang telah dibagikan paniti ketika mulai meracik bumbu. Jadilah penganan-penganan bercitarasa lezat.
Peserta pelatihan dari Desa Alue Ie Hitam, Kecamatan Indramakmur, Rosmaida mengatakan, “Saya senang mengikuti pelatihan pengolahan lele ini. Ternyata membuat bakso lele mudah. Sangat sederhana.” Sebelumnya Rosmaida memperoleh informasi dari rekannya di Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, membuat bakso sangat ribet. Namun, setelah mempraktikkan arahan narasumber pelatihan, ia mampu membuat bakso dan olahan lain berbahan baku daging lele.
Banyak peserta pelatihan yang takjub dengan aneka olahan itu serta kemampuan dirinya sendiri. “Ternyata membuat abon, bakso, dan naget itu gampang, ya?” ujar Rosmaida berbinar-binar. Semula para peserta pelatihan semula tidak pernah mengolah lele atau ikan yang lain menjadi abon, bakso, dan naget. Itulah sebabnya mereka girang lantaran mampu menyajikan aneka olahan berbahan lele.
Berwira usaha
Setelah mengikuti pelatihan, banyak peserta yang akan mempraktikkan keterampilan baru itu untuk keluarganya di rumah masing-masing maupun berwira usaha. Sekadar contoh Rauzatun Hani dari Desa Alue Ie Mirah, Kecamatan Indramakmur, berhasrat mengolah lele atau ikan lain menjadi naget untuk wirausaha agar memperoleh pendapatan tambahan. “Di dekat rumah kami ada lapangan sepakbola. Saya bisa berjualan untuk anak-anak yangg bermain bola. Nanti sepotong (naget saya jual) Rp1.000,” kata Rauzatun memaparkan rencananya.
Hal itu sejalan dengan arahan Manager of Field Relations and Security PT Medco, Andri Hapsari, ketika memberikan sambutan pada pembukaan pelatihan Rabu (6/12). Menurut Andri dalam sambutannya, pelatihan bertujuan meningkatkan kesejahteraan warga di sekitar tambang. “Agar tingkat ekonomi warga meningkat,” ujar Andri. Program pelatihan ini salah satu upaya, “Meningkatkan taraf kehidupan warga sekitar,” kata Andri.
Aneka olahan lele itu juga membuat ibu rumah tangga lebih kreatif menyajikan makanan kepada anggota keluarganya. Jadi, tidak sekadar lele goreng dan sambal yang tersaji di atas meja makan. Bahkan, “Anak yang tidak suka ikan dapat mengonsumsi naget ini,” ujar Oktin Catur Palupi dari Medco Foundation usai mencicipi naget berbahan baku lele. Itulah kali pertama Oktin menikmati naget lele. Menurut Lina T. Gempur orang yang tidak tahu proses pengolahan dan jenis bahan baku, tidak akan menyangka jika naget itu berbahan baku ikan lele.
Menurut Lina para peserta sejatinya juga dapat mengganti bahan baku lele (Clarias batrachus) dengan jenis ikan lain yang lebih murah dan mudah diperoleh. Aceh Timur memiliki kekayaan ikan laut seperti tongkol dan tuna. Jadi, mereka dapat memanfaatkan kedua ikan laut itu jika sulit memperoleh lele di wilayahnya. Cara memproduksi aneka penganan itu sama persis dengan bahan daging lele yang telah dipraktikkan oleh peserta.
Mayunidar yang selama ini mengelola RPIA Ladangbaro turut senang mengikuti pelatihan itu. “Luar biasa, saya dapat ilmu baru,” ujar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris alumnus Universitas Samudra itu. Menurut Mayunidar pelatihan ini sekaligus menjalankan fungsi RPIA sebagai pemberdayaan masyarakat agar dapat diwujudkan. Jadi, bukan hanya anak-anak yang belajar di RPIA, ibu-ibu pun memperoleh manfaat atas kehadiran RPIA di Ladangbaro dan Indramakmur. (Sardi Duryatmo)