Di kalangan peternak ikan air tawar, nama mola masih asing terdengar di telinga. Maklum, meski diintroduksi dari Cina 30 tahun lalu, ikan genus Cyprinus itu belum banyak dikembangkan. Ketenaran ikan mas menenggelamkan ikan air tawar lainnya termasuk mola. Namun setelah penyakit herpes menyerang, mola naik daun. Banyak peternak di Cirata meliriknya.
Sebutlah Hj Jamilah, ketua kelompok peternak ikan Cirata. Ia bersama 30 anggotanya mengembangkan mola. “Sekitar 40.000 benih ukuran 5—8 cm ditebar di waduk Cirata,” kata ibu 3 anak itu. Di jaring apung 7 m x 7 m berlapis tiga, mola hidup berdampingan dengan mas dan nila. Mola ditempatkan di lapisan paling bawah. Setiap unit jaring disekat menjadi 4 petak yang diisi 200 mola. “Mola dapat menjadi pendamping hidup ikan mas dan nila yang menguntungkan,” ungkapnya.
Pilihan peternak
Mola dipilih karena pertumbuhannya tergolong bongsor. Hanya dalam 8—10 bulan bobot mencapai 600—700 g/ekor. Tak aneh jika Pepen Effendi tak ragu mengembangkannya. Selepas pensiun dari Dinas Perikanan Jawa Barat pada 1994, ia langsung beternak mola. Kolam tanah berukuran 15 m x 15 m yang dikelola bersama peternak kini berisi ratusan mola berbobot 100 g. Belum lagi di jaring apung Cirata yang mencapai ribuan mola. ]
“Waduk Cirata yang mencapai luas 6.200 ha akan menjadi surga bagi mola. Di sana, pakan alami berlimpah,” tutur pria berkacamata itu. Makanya tanpa diberi pakan pun mola tumbuh cepat. Sebanyak 450 benih berukuran 1—2 cm ditebar ratarata mencapai bobot 3,5 kg/ekor dalam 2 tahun.
Pepen pernah mencoba membesarkan mola hingga berbobot 12 kg hanya dalam waktu 2 tahun tanpa diberi pakan. Ikan berdaging lembut itu memenuhi kebutuhan pakan dari sisa mas dan nila. “Selama ada budidaya ikan mas secara intensif, pakan mola selalu tersedia,” kata lelaki bertubuh tinggi besar itu. Fitoplankton, hydrilla, dan eceng gondok dari alam melengkapi nutrisi mola. Ia pun dapat memanfaatkan chloropyhta (ganggang hijau, red) sebagai sumber pakan.
Oleh karena itu beternak mola pasti menguntungkan karena tak perlu diberi pakan. Itulah yang dialami Edwin. Ia mencemplungkan benih 2—3 cm sebanyak 2.000 ekor seharga Rp150/ekor di kolam tanah seluas 1.000 m2. “Biaya pakan murah dan tahan penyakit,” kata ayah 1 anak itu. Pria 25 tahun itu membesarkan mola bersama 100.000 nila. “Nila gede, mola pun ikut gede,” ucapnya sembari tertawa. Dengan harga jual Rp5.000/kg, ia bisa meraup keuntungan Rp3.500/ekor.
Diminta pasar
Produksi mola masih terbatas. Maklum para peternak baru mengusahakan 2 bulan lalu. Bobotnya baru mencapai 100 g/ekor. Namun Pepen yakin daging mola yang lunak dan durinya yang halus itu akan diterima pasar. Pengalaman menunjukkan ketika panen perdana, 200 kg langsung diserbu oleh penampung.
“Mereka menunggu panen berikutnya,” kata Pepen bersemangat. Sekarang hanya pasar lokal yang diincar, meski tak menutup kemungkinan untuk ekspor terbuka setelah difilet. “Memasarkan mola saya kira tidak sulit. Baru berbobot 2—3 ons/ekor saja sudah banyak pembeli yang datang,” ucap Pepen. Rumah-rumah makan sekitar Cianjur menyerap puluhan kuintal per hari. Sebab, rasa daging mola sama dengan nila dan ikan mas. Jadi ia bisa mensubtitusi kedua ikan yang sudah lebih dahulu dikembangkan.
Pasar menginginkan bobot ikan 600—700 g/ekor. Itu artinya perlu pemeliharaan 8—10 bulan. Menurut Pepen bila pakan alami melimpah pemeliharaan bisa dipersingkat. Untuk pasar ekspor tentu diminta yang lebih besar, minimal berbobot 0,8 kg/ekor ke atas supaya gampang dibuat filet.
Induk Sulit
Antusias para peternak di Cirata untuk mengembangkan mola begitu besar. Sayang ketersediaan benih menjadi kendala. Selama ini para perternak mendapat benih dari pihak-pihak terkait seperti BBAT, Sukabumi dan Balitkanwar, Sukamandi, serta Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT). GPMT memberikan benih berukuran 3—5 cm secara gratis di Waduk Jatiluhur dan Cirata. “Kalau induk tersedia dalam jumlah cukup, permintaan benih bisa dengan mudah dipenuhi. Toh, sekalipun harus melalui kawin suntik mola gampang dipijahkan,” ucap Pepen.
Menurut lulusan sekolah perikanan Bandung itu, calon induk harus diseleksi ketat agar sifat-sifat unggulnya tidak hilang. Induk yang baik berbobot minimal 3,5 kg/ekor, produktivitas tinggi, dan sehat. Dalam setahun mola bisa memijah 2—3 kali. Burayak yang dihasilkan tergantung bobot induk. Untuk induk yang berbobot 3,5 kg dapat menghasilkan 210.000 burayak. Burayak-burayak ini siap dijual setelah mencapai ukuran 3—5 cm dengan harga Rp250/ekor.
“Saya mengharapkan pengembangan mola menjadi program pemerintah,” ujar Pepen. Pasalnya selain merupakan usaha yang menguntungkan dan pasarnya luas, mola juga bisa mengatasi perairan yang tercemar sisa pelet. Dengan sistem polikultur, 10—20% pelet ikan mas dan nila terbuang percuma. Dekomposisi pelet yang mengandung nitrogen dan fosfor merangsang pertumbuhan chloropyhta dan chyanophyta dalam jumlah berlebihan. Akibatnya DO (disolved oxygen) perairan menurun. Mola berperan mengendalikan tanaman mikroskopik itu sehingga DO stabil dan kematian ikan terhindar. (Rahmansyah Dermawan)