
Usia Nicholas Kurniawan baru 22 tahun, tapi penghasilannya mencapai seperempat miliar rupiah dari perniagaan ikan hias.
Seperempat miliar rupiah. Itulah omzet Nicholas Kurniawan dalam sebulan. Dalam sebulan Nicholas 5 kali mengekspor berbagai jenis ikan hias. Negara tujuannya Inggris, Belanda, Jepang, dan Qatar. Setiap pengiriman ia mendapatkan omzet Rp50-juta. Dari omzet itu Nicho— sapaan Nicholas—mengutip laba 30—50% atau Rp75-juta—Rp125-juta saban bulan. Ia mengekspor diskus, neon tetra, arwana, dan siklid.
“Konsumen Eropa menghendaki ikan berukuran kecil seperti neon tetra,” ujar mahasiswa semester akhir di Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya, Serpong, Tangerang Selatan itu. Sementara konsumen Asia menyukai arwana karena mereka mengganggap ikan itu mendatangkan
keberuntungan. Konsumen Asia dan Eropa sama-sama menyukai diskus. Ikan pipih itu banyak penggemar karena pembawaannya
tenang dan selalu berenang di tengah kolam. Ikan asal Sungai Amazon itu pun memiliki aneka warna cerah pemikat mata.

Pembeli dari Eropa enggan memelihara arwana, yang menurut Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) tergolong apendiks I. Artinya segala bentuk perdagangan internasional Scleropages formosus dilarang. Padahal siluk merah yang ia jual adalah hasil penangkaran, bukan tangkapan alam. Bungsu dari 2 bersaudara itu pun tetap yakin menjual ikan naga itu kepada
pelanggan oriental. Ia tidak bertepuk sebelah tangan, pembeli dari Asia Timur membuka lebar keran pasar mereka untuk dagangan Nicho.
Berjualan daring
Asyik menuruti pesanan mancanegara tidak membuat Nicholas melupakan pasar domestik. Omzet yang ia dapat dari perniagaan dalam negeri pun menggiurkan. Dalam sebulan pengembang properti itu meraup omzet paling sedikit Rp20-juta. “Penjualan ikan hias dalam negeri berfluktuasi, terkadang ramai tetapi di lain waktu sepi,” kata Nicho. Lazimnya pembelian menurun menjelang hari raya dan meningkat saat awal tahun. Diskus yang ia jual untuk pasar lokal antara lain berwarna biru, merah, putih, dan platinum.
Anak muda itu mendapat pasokan diskus dari pemasok di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sejak pertengahan 2013, pasokan diskus semakin banyak karena Nicho pun beternak ikan bergenus siklid itu. Ia membudidayakan ikan cakram itu karena
merasa tertantang. Sebelumnya ia mendapatkan informasi bahwa budidaya diskus sulit. Dibantu Aan Subhan—salah satu pegawai yang telah berkecimpung di dunia diskus sejak 2000—Nicholas mulai membudidaya diskus. “Kepuasan dari keberhasilan melakukan hal sulit lebih besar ketimbang hanya menyelesaikan pekerjaan mudah,” kata pria kelahiran Jakarta itu.

Hal lain yang mendorong Nicho menerjuni diskus yaitu harga jual yang bagus, ajek, dan diterima pasar. “Harga diskus berukuran 2 inci di Australia setara Rp400.000 per ekor, sedangkan di tanahair Rp100.000 per ekor,” tutur pria berumur 22 tahun itu. Nicho memiliki 3 tempat budidaya diskus yang semuanya berlokasi di Jakarta Barat. Ia merencanakan produksi 1.000 diskus tiap bulan dari ketiga tempat itu. Nicho
optimis lantaran permintaan diskus selalu ada.
Hasil jerih payah dari ikan hias kini berupa kendaraan, rumah, dan tentu saja kuliah di kampus impian. Kesuksesan yang Nicho raih tidak datang begitu saja dalam waktu singkat. Profesi eksportir ikan hias ia awali dengan menjual ikan hias secara daring (online). Saat kelas
2 SMA seorang teman memberikan beberapa ikan Garra rufa yang sohor untuk terapi kaki. Namun, ia tidak suka penampilan ikan yang tidak memikat dan menjual secara daring. “Sayang kalau mati begitu saja,” ungkap Nicho.
Gayung bersambut, pada 2010 itu tren doctor fish tengah menanjak. Dalam hitungan menit penawaran mulai datang ke telepon genggam Nicho. Beberapa jam kemudian ikan itu ludes terjual dengan keuntungan menggiurkan. Meskipun ikan sudah terjual, beberapa orang tetap
menanyakan ketersediaan ikan itu. Mengetahui banyaknya permintaan ikan yang penyebarannya sampai ke Syria, Irak, dan Iran, itu naluri bisnis Nicho muncul. Ia pun menyanggupi memenuhi permintaan yang datang. Ia mencari penjual ikan dokter dengan bertanya kepada teman yang memberikan ikan itu. Saat itu juga ia menjadikan dirinya penjual ikan rufa yang berjualan secara daring.

Terasah keterbatasan
Dari penjualan ikan rufa Nicho—saat itu kelas 2 SMA—menangguk laba Rp2-juta—Rp3-juta setiap bulan. Konsumennya datang dari berbagai kalangan, antara lain anggota dewan, pengusaha besar, dan artis. Ia juga memasok ikan kecil itu ke beberapa pusat perbelanjaan di berbagai wilayah ibukota, seperti Pluit, Lebakbulus, Depok, dan Blok M.
Bisnis ikan ternyata menyita waktu. Dampak terburuknya ia tinggal kelas ketika kenaikan kelas 3. “Itu kegagalan terbesar dalam hidup saya,” kata Nicho. Tidak larut dalam kesedihan, Nicho pun mencari cara membanggakan kedua orang tua. Nicho yang berhasrat menjadi
pebisnis besar memilih sekolah bisnis sebagai tempat melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA. Namun, ia sadar pilihannya memerlukan biaya besar.
Hitung-hitungan Nicho saat itu ia mesti menyiapkan Rp100-juta untuk memenuhi biaya kuliah dan keperluan lainnya pada tahun pertama. Cara terbaik menghasilkan uang sebanyak itu tidak lain bisnis ikan hias yang ia kuasai sebelumnya. Berdasarkan perhitungan, ia mesti mengumpulkan Rp10-juta per bulan untuk mendapat Rp100-juta. “Untuk pedagang ikan hias, Rp10-juta sebulan itu angka besar. Namun,
bagi eksportir nilai itu kecil,” kata pehobi sepak bola itu. Ia pun berkunjung ke beberapa eksportir ikan hias di Jakarta untuk mengetahui seluk-beluk ekspor. Sayang, hampir semua eksportir yang ia kunjungi itu enggan berbagi ilmu. Nicho pun punya trik lain. Ia menawarkan diri menjadi pemasok ikan untuk seorang eksportir dan diterima.

Selain itu ia juga membuat laman maya. Ia mencontoh metode laman maya milik eksportir lain, termasuk kelengkapan seperti artikel pendukung sebagai bahan bacaan bagi calon konsumen. Nicho pun mencari tahu cara eksportir itu mempromosikan bisnisnya. Ia juga mencari pemasok ikan yang bisa dipercaya dengan harga relatif murah. Pelan tapi pasti pesanan mulai berdatangan. Namun, ibarat baru mulai berjalan, ia tersandung sampai nyaris terjatuh. Rekan kerja yang menjadi kepercayaan mencurangi Nicho hingga merugi Rp30-juta.

Untungnya, ada berkah di balik bencana. Rekan kerja yang menipu itu ternyata juga merugikan pelanggannya sendiri dari mancanegara. Oleh karena itu, pesanan konsumen rekan kerja penipu itu beralih memesan ikan ke Nicho. Lepas ujian itu, jalan lebar terbentang. Dalam 1,5 bulan berikutnya pesanan terus berdatangan dan ia pun bisa menabung hingga Rp100-juta.
Otak bisnis Nicho muncul karena keterbatasan ekonomi. Sewaktu kecil ia hidup serba terbatas. Sang ayah hanya pegawai toko, sedangkan ibu tercinta menjual kue. Uang hasil kerja dan usaha itu tidak sepenuhnya mampu menghidupi keluarga sederhana itu. Meskipun begitu kedua orang tua selalu mengupayakan Nicho mengenyam pendidikan di sekolah terbaik. “Kedua orang tua sempat meminjam uang untuk membiayai pendidikan saya,” ujar anak bungsu itu.
Alih-alih membuatnya patah arang, kesempitan itu justru memantik bakat bisnisnya. Saat kelas 2 SD atau berumur 8 tahun, Nicho menjual makanan dan mainan. Di SMP ia menjual baju lantas menjajal berbagai jenis pemasaran berantai (MLM). Di SMA, ia sempat menerjuni dunia asuransi sebelum akhirnya menyelami bisnis ikan. Nicholas Kurniawan membuktikan bahwa dalam kesempitan selalu ada kesempatan. Tidak sekadar untuk bertahan, melainkan tampil sebagai pemenang. (Riefza Vebriansyah)