Trubus.id—Pemulia tanaman kenamaan Gregorius Garnadi Hambali berpulang dan meninggalkan beragam varietas tanaman. Hasil silangannya bernilai ratusan juta rupiah dan memengaruhi bisnis tanaman hias.
Kabar duka sangat cepat menyeruak di beberapa grup media sosial: Gregoius Garnadi Hambali berpulang pada Sabtu 4 November 2023 dalam usia 74 tahun.
Pria kelahiran Sukabumi 19 Februari 1949 itu tersohor sebagai pemulia tanaman di Kota Bogor, Jawa Barat. Greg, demikian sapaan singkatnya, menyilangkan tanaman hias dan tanaman buah. Salah satu karya yang mendunia adalah aglaonema pride of sumatra.
Greg, sapaan akrabnya, bagai penghulu yang mengawinkan Aglaonema commutatum tricolor dan Agloanema rotundum. Greg melihat A.commutatum tricolor saat pameran tanaman hias di Ancol pada 1982. Tanaman hias berasal dari Luzon, Filipina, menjadi induk betina. Sementara itu A. rotundum berasal dari Sumatra menjadi induk jantan sekaligus mewarisi warna merah.
Salah satu hasil silangan itu berupa aglaonema pride of sumatra yang monumental pada 1990. Disebut monumental karena untuk kali pertama di dunia muncul aglaonema berdaun merah. Sebelumnya aglaonema berdaun hijau. Saat itu pamor aglaonema sebagai tanaman hias terkerek.
Di kalangan pehobi tanaman hias, terjadi perubahan penyebutan nama. Masyarakat semula menyebut tanaman hias anggota famili Araceae itu dengan nama sri rejeki. Namun, sejak kelahiran pride of sumatra sebutan berubah menjadi aglaonema (pinjaman bahasa Latin berarti daun yang bercahaya).
Harga naik
Selain perubahan warna daun dan nama, juga terjadi perubahan harga yang luar biasa setelah kehadiran pride of sumatra. Pada awal kelahirannya harga pride of sumatra Rp3 juta—setara harga sebuah sepeda motor terbaru ketika itu.
Bahkan, para pedagang di Thailand membanderol harga pride of sumatra setara Rp1,2 juta per daun. Jadi, jika tanaman itu memiliki 5 daun, pedagang menetapkan harga Rp6 juta. Mana pernah ada sebelumnya orang menjual tanaman setinggi itu.
Keruan saja Greg juga memperoleh royalti pride of sumatra setelah produsen di Amerika Serikat mendaftarkan paten atas namanya. Hingga kini pride of sumatra menjadi kebanggan pehobi, pengecer, dan pedagang. Sejak itu dari tangan dinginnya lahir beragam varietas aglaonema yang tampil amat elok.
Sekadar menyebut contoh, ada herlequin (dari bahasa Prancis berarrti menghibur) yang rilis pada 2006. Harga jual harlequin amat fantastis, yakni Rp660 juta per pot.
Greg juga merilis aglaonema donna carmen atau miss adeliah yang laku Rp100 juta per pot. Varietas lain hasil silangannya antara lain aglaonema golden hope dan jayanti yang diminati pasar tanaman hias. Hanya aglaonema? Greg juga membidani kelahiran dracaena john stardust yang eksotis.
Greg juga menghasilkan silangan salak mawar (persilangan salak varietas gula pasir, salak sidempuan, dan salak pondoh). Ada lagi silangan nangka (Artocarpus heterophyllus) dan cempedak (A. champedens) alias nangkadak (2007). Ia “memperbarui” varietas itu menjadi berdaging jingga pada 2015.
Greg energetik
Greg amat mencintai tanaman. Mantan redaktur Tanaman Hias Majalah Trubus Ir. Syah Angkasa menyebutkan, “Greg itu ensiklopedi tanaman Indonesia.” Ia amat betah berjam-jam berdiskusi mengenai tanaman.
Penyuka batik, setiap hari ia mengenakan batik, meski tengah di kebun itu pernah membawa wartawan Majalah Trubus untuk melihat kebun koleksi dan konservasinya. Jaraknya hanya 200—300 meter dari rumahnya di Arcadomas, Kota Bogor. Kejadian itu bukan siang atau sore hari, tetapi pukul 21.15.
Di kebun itu ia menanam aneka spesies langka seperti chupa chupa (Quararibea cordata) dan black sapote (Diospyros digyna). Sambil berjalan energetik, ia menjelaskan asal-muasal tanaman yang tumbuh di kebunnya dan meladeni beragam pertanyaan hingga lewat tengah malam.
Greg tak pernah tampak lelah meski seharian beraktivitas. Di kalangan wartawan Trubus, Greg memang tersohor betah berjam-jam meladeni pertanyaan.
Bahkan, ketika wartawan menyudahi wawancara, pamit, dan masuk mobil yang parkir di depan rumahnya, Greg masih berapi-api menjelaskan. Biasanya istrinya, Indrijani, yang mengingatkan dengan suara jernih, “Sudahlah, Greg. Dia mau pulang.”
Pada kesempatan lain ia pernah menunjukkan lahong atau kerantungan (Durio dulcis) yang berbuah cukup lebat di kebunnya. Sosok buah lahong persis durian, tetapi berduri lebih panjang dan lebih lancip, serta berkulit merah marun.
Pohon lahong di kebun Greg amat tinggi, mencapai 20 meter. Pada sebuah siang ia memanjat pohon itu untuk memanen buahnya. Ia tanpa mengenakan alat pengaman apa pun ketika memanjat pohon. “Hati-hati, Pak Greg,” ujar wartawan sebelum Greg memanjat.
Namun, Greg menimpali singkat dan enteng, “Jatuh ya paling mati,” ujar Greg datar. Meski berumur lebih dari 60 tahun, ia amat gesit memanjat pohon anggota famili Malvaceae itu. Gerakan Greg amat lincah.
Alumnus Biologi Konservasi Universitas Birmingham, Inggris, itu juga hobi bertualang dan eksplorasi ke berbagai wilayah di dalam dan luar negeri. Ia pernah ke wilayah Banten dengan sepeda motor. Ia terbiasa berhari-hari berhari-hari tinggal di hutan Amazone, Peru, Brasil, Vietnam, Thailand, atau Filipina untuk mengidentifikasi plasma nutfah.
Gajah mati meninggalkan gading, Greg pergi meninggalkan beragam varietas tanaman. Selamat jalan Greg, terima kasih atas semua warisan tanaman yang amat berharga. (Sardi Duryatmo)