
Alat pengolah sampah berskala kecil sesuai untuk pelaku pertanian perkotaan.
Sampah berupa ranting dan dedaunan kini tak lagi menumpuk di tempat sampah di Sekolah Islam Terpadu Anugerah Insani, Cibinong, Kabupaten Bogor Pasalnya, Muhammad Sidik, karyawasan sekolah, mengolah sampah organik itu menjadi pupuk. Ia mencacah daun dan ranting dengan mesin pencacah. Tujuannya agar sampah organik lebih cepat terurai saat proses fermentasi menjadi kompos. Mesin pencacah buatan CV Bahagia Jaya itu mampu menghancurkan sampah organik hingga 200 kg per jam.
Sidik lalu menyiram tumpukan cacahan sampah organik dengan larutan efektif mikroorganisme (EM) agar terurai. Selanjutnya Sidik menutup tumpukan sampah itu dengan terpal selama dua pekan hingga sampah terurai menjadi kompos. Setelah dua pekan, Sidik mengayak kompos untuk memisahkan butiran kompos yang halus dengan yang kasar. Kompos halus siap digunakan untuk pupuk, kompos kasar menjalani fermentasi ulang.
Kurangi sampah
Anggota Staf Bidang Sarana dan Prasarana, Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup, Hafiz Khaerudin, mengapresiasi upaya tiap daerah untuk mengolah sampah organik menjadi kompos. Upaya itu sejalan dengan program yang ia gulirkan, yaitu untuk mengurangi sampah dari sumbernya. Menurut Hafiz sampah terdiri atas dua bagian, yaitu organik dan anorganik.

Dari kedua jenis sampah itu sekitar 80% di antaranya adalah sampah organik. “Saat ini 80% sampah organik berasal dari pasar,” katanya. Hafiz menuturkan pengomposan merupakan solusi alternatif yang sesuai untuk mengurangi jumlah sampah organik. “Kompos berpotensi untuk dikembangkan karena jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) cenderung meningkat,” kata Hafiz.
Hal itu menyebabkan polusi udara dan lepasnya gas metan ke udara. “Sebaiknya setiap daerah memiliki sistem pencacahan sampah, pengadukan, serta pengolahan kompos sehingga menjadi solusi praktis dan dipakai secara nyata di kalangan masyarakat,” katanya. Selanjutnya Dinas Kebersihan, Pertamanan, dan Pemakaman di setiap daerah bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengatur dan mengontrol proses pengolahan sampah organik di setiap daerah.
Untuk menyukeseskan program pengurangan sampah itu Hafiz bekerja sama dengan PT Bahagia Jaya Sejahtera. Produsen pupuk dan industri mesin pertanian di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu memberi bantuan berupa mesin pencacah sampah organik berkapasitas 1.500 kg per jam untuk beberapa kota, seperti Yogyakarta, Semarang (Jawa Tengah), Medan (Sumatera Utara), dan Padang (Sumatera Barat).

Menurut Direktur PT Bahagia Jaya Sejahtera, Surizal, mesin pencacah dapat mempercepat pengolahan dan pemilahan sampah menjadi kompos. Mesin pencacah itu beroperasi dengan mesin penggerak diesel, menggunakan air radiator, oli, dan pengaturan gas mesin sesuai kecepatan. “Kami juga membuat mesin pencacah skala kecil yang menggunakan penggerak motor listrik,” kata Rizal.
Rizal menuturkan mesin itu dapat mencacah dedaunan, sayuran dari pasar, rumput, ranting pohon yang lunak, dan bahan organik lain. Untuk mengoperasikannya sangat mudah. Sebelum memasukkan sampah ke dalam mesin, pilah sampah dari benda keras, seperti besi dan batu. Selanjutnya, masukkan sampah organik ke corong masuk mesin pencacah secara kontinu. Hasil cacahan keluar melalui corong di bagian bawah. “Usahakan bersihkan mesin setiap kali selesai menggunakannya,” tutur Rizal.
Skala kecil
Menurut Direktur CV Mangkubumi Perkasa, produsen probiotik, pengolah limbah, dan pupuk hayati di Kota Depok, Jawa Barat, Sarjono, pengolahan sampah sejatinya juga dapat dimulai dari rumah tangga. Caranya dengan menggunakan dekomposer. Sarjono merancang alat pengompos sederhana dari tong plastik tebal bekas kemasan cat berkapasitas 20–-25 liter.

Ia melubagi bagian bawah tong dan memasang kran untuk keluarnya air lindi dari hasil pembuatan kompos. Cara menggunakannya, cukup memasukkan sampah organik rumah tangga, seperti kulit buah, sayuran, duri, dan tulang ke dalam tong. Selanjutnya taburkan campuran bahan padat, seperti tanah atau bekatul untuk mengurangi kadar air sampah. “Jika tidak ada penambahan bahan padat, akan terjadi pembusukan,” ujar Sarjono.
Setiap penambahan sampah, taburkan sesendok makan bekatul atau tepung ikan. Selanjutnya siram sampah dengan larutan pengolah limbah organik atau formula probiotik berkonsentrasi 10 cc (1 tutup botol) per liter air. Tutup rapat tong, pertahankan suhu 30– 40°C. Buka tutup tong tiap hari selama 15 menit supaya terjadi sirkulasi udara. Fermentasi sampah organik berlansggung kurang lebih 7 hari.

Pengomposan berhasil bila muncul aroma segar, tidak berbau busuk, dan sampah tidak hancur keseluruhan, “Jika sampah hancur dan hanya air, sulit untuk didaur ulang. Bakteri pengurai mati dan nutrisi untuk pemupukan berkurang,” ujar Sarjono. Menurut Sarjono alat dekomposer rancangannya itu berbentuk mini sehingga bisa disimpan di gudang, halaman, atau dipindah-pindah sesuai tempat yang tersedia.
Dengan kedua alat pengolahan sampah organik itu maka jumlah sampah organik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akan berkurang. Selain itu bagi para pelaku pertanian perkotaan atau urban farming pun lebih mudah. Mereka dapat memanfaatkan sampah itu sebagai sumber nutrisi bagi beragam tanaman. (Marietta Ramadhani)