Joko Utomo waswas menyambut Ramadan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadan tahun ini tampaknya bukan bulan yang menguntungkan bagi peternak sapi asal Jawa Timur itu. Harga sapi siap potong di wilayahnya berkisar Rp40.000 per kg hidup. Padahal, biaya produksi penggemukan sapi Rp45.000 per kg hidup. Kerugian terbayang di depan mata. Menggemukkan sapi berbulan-bulan tiada hasil.
Peternak sapi asal Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah merasakan hal serupa. Mereka menumpahkan kecemasan itu dalam sebuah diskusi di Jakarta pada akhir April 2017. Rupanya harga daging sapi hidup yang rendah tidak membuat permintaan pemotongan sapi di rumah potong hewan naik. Karnadi dari rumah potong hewan di Jakarta bercerita, jumlah sapi yang dipotong menurun dari 80—90 ekor menjadi 25—30 ekor per hari.
Daging kerbau
Penurunan jumlah sapi yang dipotong itu terjadi sejak pasar diserbu oleh daging beku impor asal India. Mulai September 2016, konsumen daging memiliki alternatif baru: daging kerbau. Pengimpor daging adalah Bulog yang mengantongi izin impor daging dari India sebesar 90.000 ton, terbagi 10.000 ton daging sapi dan 80.000 ton daging kerbau.
Izin impor terbit 10 Juni 2016 dan berlaku hingga 31 Maret 2017. Sampai akhir 2016, realisasi impor daging sapi mencapai 3.409 ton, dan daging kerbau 58.270 ton. Bulog membanderol harga daging sapi Rp80.000 per kg, dan daging kerbau Rp60.000 per kg. Saat itu pemerintah yakin kehadiran daging kerbau akan menekan harga daging sapi yang masih tinggi. Rupanya hal itu tidak terjadi.
Dibandingkan dengan sebelum dan saat Ramadan 2016, menuju akhir tahun 2016 harga daging sapi cenderung turun dari Rp120.000, tapi masih jauh dari yang dijanjikan Presiden Jokowi, yakni Rp80.000 per kg. Menurut laman Kementerian Perdagangan, harga daging sapi pada 10 Mei 2017 tinggi, yakni Rp114.741 per kg. Meski tidak efektif menurunkan harga daging sapi, pemerintah tetap mengguyur pasar domestik dengan daging dari India.
Jika semula hanya untuk melayani pasar Jakarta dan sekitarnya, per 14 Februari 2017, Kementerian Perdagangan membolehkan Bulog memperluas pemasaran di luar Jabodetabek untuk stabilisasi harga dan pasokan daging. Bulog bisa memanfaatkan sisa daging yang ada. Menurut Bulog dari 2016 hingga 23 Maret 2017 realisasi penjualan daging sapi impor mencapai 2.883 ton, dan daging kerbau 16.231.
Jadi, masih tersisa daging sapi 526 ton dan daging kerbau 42.039 ton. Bagaimana memaknai langkah pemerintah mengimpor daging kerbau kali ini? Benarkah daging kerbau akan efektif menekan harga daging sapi? Tidakkah langkah itu bersifat disinsentif bagi peternak lokal?
Daging kerbau
Dari sisi tekstur, daging kerbau lebih keras ketimbang daging sapi. Oleh karena itu, memasaknya perlu waktu lebih lama. Daging sapi beraroma anyir, sedangkan daging kerbau tidak memiliki aroma spesifik. Dari sisi warna, daging kerbau lebih merah ketimbang daging sapi. Kalori daging sapi 2,5 kali dari daging kerbau, sementara kandungan protein hampir seimbang.
Daging kerbau unggul dalam kandungan kalsium dan zat besi serta lemak yang amat rendah. Ditilik dari sisi kesehatan, tentu daging kerbau lebih menyehatkan ketimbang daging sapi. Masalahnya, sebagai konsumen warga tak terbiasa dengan daging kerbau. Memang ada daerah sentra konsumen daging kerbau, seperti Lampung dan Sumatera Utara. Namun, konsumen daging sapi jauh lebih luas.
Hampir bisa dipastikan angka konsumsi per kapita daging kerbau lebih kecil daripada daging sapi. Mungkin karena itulah angka konsumsi daging kerbau tidak dicatat spesifik dalam statistik. Fakta-fakta itu berujung titik kepastian: tak mudah menggaet konsumen daging kerbau. Kini India merupakan eksportir terbesar kedua daging kerbau dengan lebih dari 20% pangsa pasar dunia untuk 65 negara tujuan ekspor.
Asia menerima lebih dari 80% daging kerbau India, Afrika sekitar 15%. Vietnam dan Malaysia yang keduanya negara tertular Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan dua importir terbesar daging kerbau India dengan 52% pangsa pasar. India memiliki sumber daya ternak luar biasa: 199 juta ekor sapi dan 108 juta ekor kerbau. Tapi karena PMK membuat negara itu tidak bisa optimal meraih nilai lebih dalam perdagangan internasional (Naipospos 2016).
Indonesia yang bebas PMK sampai kini masih harus berjuang meningkatkan populasi, terutama jumlah sapi indukan, dan produksi daging untuk memenuhi kebutuhan nasional. Namun, pelbagai upaya yang dilakukan belum mendekatkan Indonesia pada pencapaian swasembada daging sapi. Sebaliknya, cita-cita itu seperti semakin jauh untuk diraih sehingga target swasembada daging sapi berulang-ulang direvisi.
Peternak kecil
Impor daging kerbau dari India sebenarnya memiliki dampak berantai yang berpotensi menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging sapi. Pertama, ancaman perubahan status bebas PMK Indonesia. UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memang membolehkan impor dari suatu zona bebas PMK dari sebuah negara yang belum bebas PMK seperti India dan Brasil.
Aturan itu menegasikan pentingnya kaidah maximum scurity. Bagi negara-negara bebas PMK, seperti Indonesia, penting memastikan impor ternak dan produknya bersumber dari negara dengan status sama. Jika PMK kembali berjangkit, kerugian yang ditimbulkan tak ternilai. Kerugian ekonomi Indonesia menangani PMK selama 100 tahun (1887-1986), menurut Ditjen Peternakan (2002), mencapai sebesar US$ 1,66 miliar.
Kedua, kematian mata rantai industri daging sapi. Harga daging kerbau India yang murah, kurang dari setengah harga daging sapi Australia, membuat produk daging sapi domestik sulit bersaing. Bukan hanya peternak, pengusaha yang selama ini bergerak di industri daging sapi terancam gulung tikar. Ada baiknya belajar dari dampak ekonomi yang diderita Filipina dan Malaysia yang lama mengimpor daging kerbau India.
Dari 220 peternakan sapi potong teregistrasi di Filipina pada awal 1990-an, kini tinggal tujuh. Sabah, Malaysia, pada awal 1990-an yang biasa menyembelih sapi tiap 3 pekan berhenti begitu saja dengan masuknya daging India (Naipospos 2016). Harga daging kerbau yang rendah berpotensi memukul telak semua mata rantai dalam industri daging sapi. Industri daging sapi menjadi gantungan hidup jutaan pekerja.
Perlu perisai
Peternak kecil yang jumlahnya 5,1 juta rumah tangga, menguasai 98% atau 12,3 juta ekor sapi. Sebanyak 2% sisanya dipelihara oleh perusahaan. Meskipun hanya sambilan, memelihara sapi menjadi sumber penting pendapatan rumah tangga peternak. Dalam setahun nilai ekonomi daging sapi lebih Rp63 triliun. Itu belum menghitung nilai yang tercipta di industri pakan, pemotongan, pelayuan, dan di hilir.
Subsektor peternakan, khususnya daging sapi potong, memiliki keterkaitan erat terhadap 120 sektor ekonomi lain ke hulu maupun ke hilir dan memiliki daya ungkit tertinggi dari 175 sektor ekonomi lainnya (IRSA 2009). Usaha peternakan rakyat merupakan tulang punggung dalam penyediaan pangan, khususnya protein hewani. Daging sapi domestik berkontribusi sekitar 60%, susu 20% dari konsumsi nasional, ayam dan telur telah swasembada.
Menurut Sensus Pertanian 2013, peternak rakyat mayoritas (37,4%) berpendidikan SD, mengusahakan sapi dalam skala kecil-subsisten-tradisional, terkendala teknologi, dan memperlakukan ternak sebagai rojo koyo. Data-data itu menunjukkan peternakan punya kontribusi besar dalam ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, peternakan rakyat amat rentan, sehingga perlu proteksi.
Tanpa perisai, bukan mustahil mereka bakal gulung tikar pelan-pelan. Pertama, harus dipastikan daging (kerbau dan sapi) dari India tidak masuk pasar tradisional. Aparat pengawas harus memastikan rembesan tak terjadi. Tanpa jaminan itu, harga daging sapi lokal yang hampir dua kali lipat dari kerbau akan terjun bebas. Pada gilirannya, peternak mutung dan pasar domestik sepenuhnya diisi daging impor.
Kedua, memberi insentif pada peternak, baik subsidi pakan, sapi lahir maupun permodalan berbunga rendah. Sampai sekarang, pembibitan (breeding farm) diserahkan kepada peternak kecil yang kemampuannya terbatas. Padahal, menurut UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pembibitan jadi tugas pemerintah. Ini tentu tidak adil. Saat ini defisit induk sapi betina diperkirakan 1,3 juta ekor. Tanpa memperbesar jumlah sapi indukan sebaiknya Indonesia membuang jauh-jauh cita-cita swasembada daging. *** Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat.