Lokasinya pun jauh di pelosok, melewati jalan desa yang kiri-kanannya penuh dengan durian dan manggis. Namun, dari rumah sederhana itulah setiap bulan keluar ratusan ribu boks camilan durian. Sebagian dinikmati penggemarnya di Cina, Hongkong, dan Eropa.
Di teras rumah yang mirip ruang pertemuan itu setiap hari seorang pria sibuk membelah monthong mentah dengan pisau khusus. Durian yang sudah terbelah sesuai juringnya itu kemudian dioper ke 4—5 wanita. Oleh mereka daging buah dilepas dari juring dan dikumpulkan di wadah plastik. Pongge mentah itu selanjutnya dibawa ke ruang dalam. Di sana, 12 wanita memotongnya tipis-tipis memanjang. Setelah dibumbui, digoreng, dan dioven akhirnya dipak untuk dikirim ke negara pemesan.
Keripik monthong itu cuma satu dari aneka ragam produk yang dibuat. Ruangan depan yang disulap menjadi toko kecil jelas menunjukkan kreativitas para ibu rumah tangga itu. Selain keripik monthong, dijajakan pula dodol, semprong, roti, mi, dan tepung. Semua berbahan baku monthong dan sudah pasti beraroma durian. Lantas, apakah hanya durian yang mereka olah? Ternyata tidak. Jambu air, nanas, pepaya, dan lidah buaya juga menjadi sasaran diversifikasi. Semua dimulai 4 tahun lalu, saat terasa perlunya mengolah produk untuk mengatasi kelebihan produksi.
Desa Thamai di Provinsi Chantaburi—lokasi rumah itu—jaraknya sekitar 300 km dari Bangkok. Bentang ratusan kilometer itu tidak menjadi penghalang lancarnya pendistribusian produk. Di Bandara Don Muang atau di kompleks pertokoan Mak Bung Krong, Bangkok, misalnya, olahan durian dari Thamai dipajang di setiaptoko.
Diolah
Bangkok selama ini dikenal karena kemampuannya mengekspor produk hortikultura. Namun, sebenarnya yang paling mendongkrak nama ialah ekspor durian. Padahal hasil panen Negara Gajah Putih itu sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri. Hanya sekitar 2% yang diekspor. Jumlah yang sedikit itu tetap melambungkan nama Thailand lantaran mereka sanggup memenuhi selera konsumen. Rasanya seragam, manis.
Faktor lain yang mendongkrak nama Thailand ialah maraknya kebun durianmonthong di Indonesia. Hasil panen monthong lokal itu dijajakan di pasar swalayan dengan nama “durian bangkok”. Mangga kioe sawoei, namdokmai, kelapa pandan, dragon fruit, atau asam manis yang kadang-kadang terlihat di showcase pasar swalayan tidak mendominasi pasar. Posisi buah-buahan itu sama saja dengan anggur dan jeruk australia, mangga india, atau jeruk pakistan. Musababnya jelas, kebun buah-buahan itu belum marak di sini sehingga 100% mengandalkan pasokan impor.
Kalau saja harga durian ayem tinggi, belum tentu Thailand suksesmengembangkan beragam olahan. Beberapa tahun lalu parlemen Thailand diserbu pekebun durian yang membawa hasil panen mereka. Ribuan butir durian digeletakkan di halaman parkir gedung parlemen sebagai tanda protes rendahnya harga. Saat itu durian cuma dihargai 6 baht/kg (setara Rp1.380). Pada kondisi normal lapak-lapak durian di pasar Rayong dan Chantaburi—2 sentra terbesar durian — mematok harga 10—17 baht/kg (Rp2.300—Rp4.000).
Nah, supaya protes itu tidak menjadi sebuah rutinitas maka pekebun dianjurkan mengolah hasil panen, seperti yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga di Thamai. Hasilnya, kini di toko-toko kudapan bisa dibeli manisan mangga, keripik nangka, manisan jambu air, manisan brotowali dan cabai, buah kalengan. Semua dikemas indah sehingga layak menjadi oleh-oleh untuk dibawa ke tanah air.
Kisah sukses diversifi kasi Thailand itu ujung dari sebuah proses yang panjang. Bayangkan saja ibu-ibu di Thamai itu. Bagaimana mungkin mereka tahu kadar gula monthong paling rendah—supaya warna tidak cokelat setelah digoreng—daripada channee, kan yao, atau kradum thong. Dari mana asal informasi bahwa kadar tepung monthong paling banyak? Itu berkat jasa Department of Agriculture (DOA) melalui lembaga risetnya. Hasil riset disebarkan oleh Department of Agricultural Extention (DOAE). Sedangkan jalur pasarnya menjadi urusan Department of Export Promotion.
Oleh-oleh
Kerja bareng itu menghasilkan pendapatan luar biasa. Durian mentah yang di Pandeglang, Jawa Barat, disayur untuk teman makan nasi, di Thailand malah melanglang buana. Nilai tambahnya luar biasa. Sekilo keripik durian dijual 300 baht (Rp69.000), jauh lebih tinggi daripada harga durian segar yang hanya 10—17 baht/kg. Sekilo keripik diperoleh dari 10 kg durian segar.
Tidak hanya olahan yang dijual. Bentuk segarnya pun dikreasikan melalui aneka ragam kemasan. Bahkan sticky manggo sempat-sempatnya disediakan di Bandara Don Muang untuk oleh-oleh wisatawan. Dengan harga 250 baht (= Rp 57.000), seiris nam dok mai dan setampuk ketan putih bisa dibawa pulang.
Yang mencolok, semua produk itu dihasilkan oleh pekebun-pekebun buah di pelosok desa. Memang ada industri olahan buah skala besar, seperti Saico Co. Ltd. Namun, mereka mengemasnya dalam bentuk kalengan. Sementara kemasan kardus dan plastik keluar dari kelompok-kelompok tani. Tujuannya satu, menampung produk berlebih saat panen raya tiba.
Wajar jika saat musim buah berlalu, maka kegiatan pun menurun drastis. Syukurlah ragam produk itu tahan simpan 3—6 bulan sehingga sebelum pasar berteriak kehabisan barang, produksi sudah bisa bergulir lagi lantaran musim buah kembali menjelang. Pola rumahan ini yang bisa diterapkan oleh pekebun-pekebun buah kita di Indonesia. (Onny Untung)