Trubus.id—Teknologi garam tanpa lahan menjadi salah satu solusi memenuhi kebutuhan garam. Kebutuhan nasional akan garam setidaknya memerlukan 2,4 juta ton pertahun. Untuk mencukupinya Indonesia masih impor garam.
Menurut Periset di Pusat Riset Teknologi Industri Proses dan Manufaktur, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ali Nurdin setidaknya membutuhkan lahan baru hingga 40.000 hektare (ha) jika ingin mencukupi kebutuhan itu.
“Salah satu terobosan yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan rejected brine (limbah larutan garam jenuh) atau air buangan dari proses desalinasi air laut di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memiliki kadar garam tinggi,” ujar Ali di lansir pada laman BRIN.
Ia menjelaskan rejected brine berasal dari berbagai proses desalinasi yang menentukan karakteristik brine water melalui teknologi reverse osmosis (RO) dan multi-stage flash (MSF).
Menuru Ali rejected brine berpotensi sebagai bahan baku industri garam, karena memiliki kandungan garam dan mineral yang tinggi. Selain itu rejected brine juga menjadi sumber garam tanpa lahan.
Ali menuturkan dari PLTU di Pulau Jawa saja setidaknya bisa memeroleh 1,8 juta ton garam dari rejected brine. Keunggulan lain beberapa industri bisa menerima manfaat dari pengolahan rejected brine itu.
“Misalnya Indonesia Power yang dapat memeroleh bahan kimia yang digunakan untuk pengolahan air, sehingga dapat menghasilkan air bersih sebagai produk sampingannya,” ujar Ali.
Selain itu, menurut Ali perusahaan yang berhubungan dengan garam dapat memeroleh bahan baku garam industri Chlor Alkali Plant (CAP) yang selama ini impor. “Sehingga bisa mengurangi biaya dan waktu pengiriman,” kata Ali.
Ia menuturkan bagi PDAM, pengolahan rejected brine dapat membuka peluang usaha baru yakni produksi garam dan sumber air bersih. Menurut Ali tentu masyarakat juga akan terbantu dengan suplai air bersih terutama di daerah pesisir yang dekat dengan PLTU.
“Bahkan ada potensi pembukaan lapangan pekerjaan baru sebagai turunan dari pabrik garam PLTU ini,” ujar Ali.