Armagedon ala Malthus gagal terjadi juga karena benih. Dalam tulisannya An Essay on the Principle of Population Thomas Robert Malthus (1766–1834) menyatakan bahwa cepat atau lambat pertumbuhan populasi akan mengarah ke bencana berupa kemiskinan dan penyakit.
Ketakutan ala Malthus tidak terjadi akibat lonjakan produktivitas tanaman yang dramatis. Di Inggris perlu waktu 1.000 tahun untuk meningkatkan produktivitas gandum dari 0,5 ton menjadi 2 ton per hektare. Selanjutnya hanya perlu 40 tahun untuk meningkatkan produksi gandum dari 2 ton menjadi 6 ton per hektar. Lonjakan produktivitas itu terjadi karena benih.
Pemuliaan tanaman menghasilkan benih-benih berproduktivitas super dan genjah. Benih-benih lokal dengan cepat tergantikan oleh varietas-varietas modern. Di Asia timur, Asia tenggara, dan Pasifik terjadi peningkatan drastis areal varietas unggul pada periode 1970–2000. Areal yang ditanami gandum varietas unggul meningkat dari 0 menjadi 89,1 persen, padi varietas unggul dari 9,7 persen di tahun 1970 menjadi 80,5 persen pada 2000, dan areal jagung varietas unggul bertambah dari 16,2 persen menjadi 89,6 persen.
Pada tengah abad ke-20 muncul mazhab neo-Malthusianisme yang menjadi bagian gerakan pemikiran (school of thought) “limits to growth”. Puncak gelombang dari neo-Malthusianisme adalah laporan Global 2000 untuk Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter yang melukiskan kondisi teramat suram pada 2000 dan setelahnya. Dunia diperkirakan lebih kacau, polusi meluas, kurang stabil secara ekologis, dan lebih peka terhadap kerusakan.
Untuk ratusan juta penduduk miskin upaya mendapatkan pangan dan kebutuhan hidup lainnya menjadi perjuangan berat. Pandangan neo-Malthusianisme dikritik keras oleh Julian Simon bahwa manusia adalah “pencipta sumberdaya bukan perusak sumberdaya”. Dalam “Resouceful Earth”, Kahn dan Simon menulis bahwa dunia pada 2000 akan lebih baik (meskipun lebih banyak penduduknya), polusi menurun, secara ekologi lebih stabil dan kurang peka terhadap kerusakan sumberdaya.
Kemampuan untuk memproduksi pangan dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya akan lebih baik. Kemiskinan global hanya sebuah mitos dan produksi serta pasokan pangan akan terus bertumbuh. Kenyataannya harga tiga jenis pangan pokok yaitu gandum, jagung, dan kedelai terus menurun sejak 1960 hingga akhir 1990-an dan awal 2000-an (Kalaitzandonakes 2013). Itu menyiratkan terjadinya surplus produksi yang mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk. Meskipun demikian kebenaran yang sesungguhnya biasanya tidak berada di salah satu ekstrem.
Produksi biji-bijian dunia mengalami defisit sebesar minus 68,8-juta ton. Defisit terbesar terjadi di Asia timur dan tenggara yaitu minus 126,9-juta ton. Defisit pangan sebagian dipenuhi oleh surplus pangan yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Berkaitan dengan hal itu, banyak akademisi dan politisi kemudian memunculkan paradigma revolusi hijau kedua.
Revolusi hijau kedua hendak dicapai melalui pengembangan benih supermodern dengan mengandalkan rekayasa genetika yang dimotori oleh industri-industri benih raksasa. Sejak 1996 dilepaskan untuk pertama kalinya benih transgenik. Harapan membuncah sehingga benih itu diadopsi dengan cepat. Total luas lahan yang ditanami tanaman transgenik dari 1996 hingga kini mencapai 1-miliar ha.
Dunia ternyata dikecewakan, peningkatan produksi tidak pernah terwujud. Harga riil biji-bijian setelah berada di titik nadir mulai meningkat drastis justru setelah tanaman transgenik diperkenalkan di dunia. Harga riil jagung saat ini hampir sama dengan 1960 demikian juga kedelai. Sebanyak 99,9 persen benih transgenik dikuasai hanya oleh 6 perusahaan transnasional dengan Monsanto sebagai penguasa tunggal sebesar 90 persen.
Tanaman transgenik nyata meningkatkan pundi-pundi perusahaan transnasional sekaligus ketergantungan petani penanamnya. Ketika dunia dilanda krisis pangan pada 2008, perusahaan benih dan herbisida membukukan peningkatan keuntungan sebesar 21–54 persen. Sejak 1900-an dan dipercepat selama periode revolusi hijau sekitar 75 persen keragaman genetik tanaman di seluruh dunia lenyap (FAO 2004).
Program revolusi hijau di Indonesia juga melenyapkan ribuan varietas lokal akibat penanaman monokultur dan monovarietas selama puluhan tahun. Padahal, varietas-varietas lokal merupakan induk dari semua varietas unggul saat ini. Varietas lokal atau tradisional merupakan varietas yang dikembangkan petani kecil selama puluhan hingga ratusan tahun melalui proses domestikasi dan adaptasi sesuai dengan lingkungan tumbuh dan lingkungan budaya masyarakat tani.
Secara genetik varietas itu relatif seragam sekalipun tidak seseragam varietas modern. Benih atau varietas lokal sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pangan pada masa depan. Keanekaragaman benih lokal penting untuk memampukan petani kecil dalam kerangka mitigasi risiko perubahan iklim dan pasar, ketersediaan tenaga kerja dan kepastian panen sekalipun diusahakan diluar waktu normal untuk bercocok tanam (GTZ 2006).
Benih lokal juga menjadi sumber potensial untuk pengembangan varietas-varietas baru berproduksi tinggi yang mampu beradaptasi dengan kondisi agroklimat, lingkungan, tanah, dan budaya pertanian setempat sekaligus menurunkan asupan energi tinggi dalam bentuk pupuk sintetik dan racun hama. Gerakan penyelamatan varietas dan benih lokal perlu menjadi gerakan bersama petani kecil sebelum benih-benih tersebut lenyap selamanya.
Saat ini yang diperlukan bukan revolusi hijau jilid dua, tetapi revolusi untuk mendobrak pemikiran monokultur, monovarietas, dan antikeanekaragaman. Perubahan paradigma itu yang mampu menyelamatkan kita bersama dari bencana pangan di masa depan. (Prof Dr Dwi Andreas Santosa, Guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia dan Associate Scholar Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia)