
Solusi mengentaskan kesenjangan, kemiskinan, dan keterbelakangan dengan membangun desa.
Trubus — Hanya 1% penduduk Indonesia yang menguasai 46% kekayaan negeri ini. Itulah gambaran kesenjangan sosial dan ekonomi dewasa ini. Kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia memang masalah klise. Kita bisa menelusuri dari kebijakan pada masa kolonial Hindia Belanda yang menerapkan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Belanda meraup bahan mentah di Indonesia untuk kepentingan industri di Eropa.
Kebijakan itu berbeda di negara jajahan Inggris, seperti Malaysia dan Singapura. Penjajah tidak sekadar mengambil bahan mentah. Namun, juga mengedukasi penduduk negeri jajahannya hingga meningkatkan kesejahteraan dan mampu membeli produk hasil revolusi industri di Inggris. Imbas kebijakan tanam paksa, rakyat Indonesia terus berada di garis kemiskinan dan keterbelakangan. Setelah merdeka pun kondisi kesenjangan sosial dan ekonomi tidak jauh berbeda.
Kemiskinan
Pemerintahan yang tidak stabil berimbas pada turunnya sektor ekonomi. Contohnya mata uang Indonesia beberapa kali terdevaluasi. Pada 2009 terdevaluasi 50 miliar persen. Kala itu 1 US$ setara Rp9.000. Kini nilai rupiah sekitar Rp14.000, mungkin terdevaluasi sekitar 75 miliar persen. Sebagai pembanding, di Thailand, sebelum krisis ekonomi Asia Tenggara pada 1998, nilai1 US$ setara 20 bath, akibat krisis naik hanya 100% menjadi 40 bath untuk 1 US$. Setelah krisis nilai tukar bath kembali turun. Nilai itu sangat jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan devaluasi mata uang di Indonesia. Faktor lain yang berperan dalan memicu kemiskinan antara lain korupsi, kolusi, dan nepotisme, bencana alam yang tidak terantisipasi, serta kerusakan lingkunganbyang tidak terbendung.

Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 pun tidak dihayati dengan kebijakan ekonomi. Dalam perundang-undangan tidak disebutkan jelas cabang-cabang ekonomi yang penting dan sumber daya alam dikuasai negara untuk memberantas kemiskinan. Imbasnya hampir 90% kekayaan sumber daya alam dikuasai asing. Sekitar 12 bank swasta di Indonesia pun milik asing. Sebuah fakta ironis bahwa orang luar yang membangun Indonesia.
Itulah yang membuat Bina Swadaya menginisiasi Gerakan Revitalisasi Desa. Memasuki umur 53 tahun, didirikan pada 1967, oleh Ikatan Petani Pancasila pada 1967, hingga kini Bina Swadaya berperan aktif di bidang pembangunan sosial ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan.
Revitalisasi desa
Salah satu solusi untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan dengan revitalisasi desa. Mayoritas msyarakat Indonesia berada di desa. Desa ibarat akar pohon besar bernama NKRI. Jika kualitas akar baik maka pohon pun akan baik. Akar pohon itulah awal nutrisi bagi pohon yang diangkut melalui pembuluh tapis atau floem. Setelah akar kuat, pohon baru memberi “komando” bagian atas seperti cabang untuk tumbuh.
Dewasa ini kerap terjadi marginalisasi desa. Pendidikan pun memberikan efek positif dan negatif. Positifnya masyarakat di pedesaan menjadi lebih berwawasan. Namun, tidak tersedianya lapangan pekerjaan di desa mendorong urbanisasi. Masalah lain di desa, mulai memudarnya gotong royong.
Lembaga perbankan pun tidak mampu melayani kredit perdesaan. Bank tidak bisa memfasilitasi usaha mikro karena tidak bankable, padahal lebih dari 62 juta unit usaha, atau 98,7% dari total entitas usaha adalah usaha mikro. Kebijakan elite politik tidak mengarah ke sana. Selain itu produksi pun bermasalah. Di desa mayoritas orang bekerja sebagai petani, dan untuk menghasilkan produk pertanian butuh lahan cukup.
Hasil kajian Kementerian Pertanian pada 2000, total 88% keluarga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. Kondisi kini mungkin lebih parah 0,2 hektare. Akibatnya mereka tidak bisa hidup sejahtera. Imbasnya 80% pendapatan petani diperoleh di luar sektor pertanian (penelitian Ahmad Erani Yustika, 2000). Rantai pasok pun menjadi masalah. Contoh harga 1 kg bawang merah di tingkat petani Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rp15.000. Setelah sampai di Kota Cirebon, Jawa Barat, harga melonjak Rp50.000.

Kedua daerah itu hanya berjarak 61 kilometer. Artinya nilai tamabah tinggi bukan di petani. Oleh karena itu, untuk membendung marginalisasi itu perlu revitalisasi desa. Bina Swadaya merumuskan, menyusun, dan membangun desa mandiri dan maju. Kriterianya kehidupan masyarakat sehat dan cerdas, mampu berswadaya, mampu mengembangkan kesejahteraan sendiri, rukun, dan lestari.
Rumah tangga di desa ekonomi dipegang ibu-ibu. Perlu ada perubahan memberdayakan ibu-ibu. Bagaimana mencapai itu? Caranya membangun kelembagaan solidaritas di desa. Membangun sistem keuangan mandiri dengan tabungan. Lebih baik miskin punya tabungan, daripada miskin tidak punya tabungan. Membuat organisasi produksi, dan memanfaatkan teknologi tepat guna. Sinergi energi desa pun akan bisa dilakukan jika kelembagaan yang efektif sudah terbentuk.
Bina Swadaya mendukung program Sustainable Development Goals Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) no one left behind. Artinya tidak meninggalkan seseorang pun dalam kemimiskinan. Banyak potensi yang bisa dikembangkan di desa antra lain program wisata desa, produk budaya, maupun kuliner.
Bina Swadaya membantu membina membangun koperasi desa lewat Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Kemudian membentuk Koperasi Serba Usaha (KSU). Dengan demikian koperasi bisa berhubungan dengan bank. Contoh nyata revitalisasi desa yang telah dilakukan Bina Swadaya di 10 desa di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Terjadi sinergi antara KSM, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Kabar gembira lainnya pemerintah kini menurunkan suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari 7% menjadi 6%. Revitalisasi desa memungkinkan dilakukan di seluruh Indonesia. Tujuannya mengentaskan masalah kesenjangan sosial, terutama kemiskinan dan keterbelakangan. (Muhamad Fajar Ramadhan, dirangkum dari acara Bincang-bincang di Wisma Hijau “Ngobrol dengan Bambang Ismawan”, Pendiri Yayasan Bina Swadaya, 17 Januari 2020)