Saturday, February 8, 2025

Soegianto Ketika Susui dan Tancho Lekat di Hati

Rekomendasi
- Advertisement -

Apalagi kalau bukan tentang sosok pujaan. Sejak dulu koi memang lekat di hatinya. Tak heran bila dering ringtone yang berasal dari seorang calon pembeli koi serius itu tak segan ia acuhkan. Kembali ke Jakarta hari itu bagi Soegianto dianggapnya pengorbanan yang tak seberapa dibanding cintanya pada koi dengan segala tetek bengek-nya.

Obrolan dengan calon pembeli hari itu ia layani dengan senyumnya yang jenaka. Diselingi dengan tawa, beragam pertanyaan seputar budidaya koi ia jawab dengan senang hati. Meski sang klien pada akhirnya memutuskan tak jadi membeli, rasa kecewa sedikit pun tak ada di hati pria berbadan tegap itu.

“Urusan koi tetap nomor satu,” tuturnya. Bahkan rekan-rekan kantornya di PT Alfa Abadi Industri memakluminya. Memang koi adalah segala-galanya bagi Soegianto. Itu bukan sekadar omong. Trubus membuktikannya ketika berkunjung ke rumahnya di Bilangan Taman Modern Cakung, Jakarta Timur. Kamis siang yang terik itu, hampir 3 jam ia habiskan untuk Trubus. Puluhan kali ponselnya berdering, tapi sekalipun tak dijawab. Padahal itu panggilan dari kantor. Dengan senyumnya yang khas ia ngotot untuk menyelesaikan ngobrol dengan Trubus.

Koi lokal

Lima ratus koi menghuni sejumlah kolam berbagai ukuran di samping dan belakang rumahnya. Kohaku, shiro utsuri, showa, dan sanke yang tengah hilir-mudik tampak prima. Warnanya cerah dengan pattern yang sangat tegas. Mungkin sebagian orang tak akan menyangka bila koi-koi miliknya adalah koi lokal.

Koi koleksi Soegianto tak menunjukkan perbedaan fi sik yang nyata dengan koi-koi hasil introduksi Jepang. Kohaku ukuran 70 cm, misalnya, bertubuh proporsional dengan warna putih, seputih salju. Menurut Soegianto koi lokal bisa sama seperti koi impor. Ukuran pun bukan lagi menjadi masalah.

Koi lokal tumbuh hingga berukuran jumbo tanpa pudar warna kini kerap terjadi. Salah satu rekannya di Sunter, Jakarta Utara, dalam waktu 18 bulan koi lokal koleksinya bisa mencapai panjang 68 cm dari semula 20 cm.

Kontes yang menjadi ajang pembuktian kesaktian koi lokal pun mulai terungkap. Kerap koi lokal menyabet predikat bergengsi di beberapa even internasional di ZNA (Zen Nippon Airinkai) dengan juri asal Jepang. Susui kebanggaan Soegianto, misalnya, dinobatkan sebagai juara I di kelasnya pada 2001 di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Cibubur. Ia mengalahkan beberapa saingannya yang notabene koi-koi impor.

Ratusan juta

Permasalahan pelik kenapa koi lokal tidak berkembang karena citra negatifnya. “Masyarakat sudah terlanjur menilai kualitas koi lokal rendah,” ujarnya getir. Persepsi koi impor lebih segalagalanya dibandingkan dengan lokal menurutnya demikian sulit diperbaiki. Citra tidak bisa tumbuh besar, pudar warna, dan sulit menang di kontes rupanya telah mendarah daging dalam masyarakat.

Karena itulah Soegianto bertekad membuktikan persepsi itu salah. “Sejak awal saya memelihara koi lokal,” ujar Soegianto mantap. Pemilik Fei Koi Farm ini mengaku ratusan juta rupiah sudah ia cemplungkan demi mengubah citra koi lokal. Kolam di Majalaya, Jawa Barat, yang ia bangun medio 2002 merupakan salah satu contoh. Tanpa segan Soegianto mendanai pembangunan kolam seluas 2 ha itu. Bahkan di rumahnya kini telah ada showroom dan kolam koi ukuran panjang 8 m, lebar 2,6 m dengan kedalaman 2,3m yang juga menelan dana ratusan juta rupiah.

Tanpa ragu ia menyatakan keinginannya untuk memajukan koi lokal di Indonesia. “Koi lokal bisa sebagus koi impor kalau diberi pakan berkualitas. Sebaliknya koi impor warnanya akan pudar dan tidak bisa mencapai ukuran jumbo bila pakannya murahan,” tutur ayah 3 putra itu. Dulu koi lokal tidak ada yang bagus karena menggunakan induk tak berkualitas. Sekarang induk berasal dari impor atau paling tidak turunan pertama.

Menurut penilaian Soegianto, koi-koi lokal yang diternakkan petani Blitar sudah bagus. Mereka disiplin dalam menjaga kualitas, sehingga permintaan impor pun berdatangan dari luar negeri seperti Malaysia. Hanya saja untuk mengembangkan lebih lanjut terbentur kendala pemasaran karena minimnya fasilitas.

Publikasi koi lokal belum segencar koi impor. Karena itulah pria kelahiran Bandung 37 tahun silam itu berjuang terus mengibarkan koi lokal. Ia buktikan dengan hanya menyediakan koi lokal di showroomnya meski dengan risiko kurang laris. “Dari tahun ke tahun jumlah pelanggan kian meningkat,” ungkapnya.

Awal mula

Ketertarikan Soegianto pada koi berawal di satu pagi pada akhir 1994. Perjumpaannya dengan sosok susui dan tancho laksana besi dan magnet, tak ingin terpisahkan. Dua buah kolam di depan rumah akhirnya diisi sang pujaan.

Satu dua ekor rupanya tak cukup untuk memuaskan kecintaan itu. Akhirnya hingga 20 ekor dengan berbagai jenis ia datangkan sekaligus. Makin hari kedekatan dengan koi kian terasa. Rupanya rasa cinta telah tumbuh menjadi kebutuhan. Terlebih menyaksikan beberapa koi kesayangan tumbuh besar. Apalagi pada 1997 beberapa permintaan mulai berdatangan. Dari sinilah bisnis koi berawal, hingga kini ia dikenal sebagai penyedia koi lokal berkualitas.

Dari ratusan koleksinya, yang menurutnya istimewa susui dan tancho. Tak salah jika Soegianto menyenangi kedua sosok itu. Kedua ikan favoritnya itu memang unik. Tak seperti kohaku yang kaya warna, tancho hanya putih dengan mahkota merah di kepala. Sementara susui lebih mencolok daya tariknya di ring sekujur punggungnya, biru menawan.

Saking cintanya, tumbuh kejelian tersendiri saat memilih kedua jenis ikan itu. Dengan kejeliannya Soegianto berani menjamin susui dan tancho pilihannya pasti tak akan mengecewakan. Karena itulah kerap langganannya tanpa ragu membeli susui dan tancho di showroom-nya. Dan inilah yang sering terjadi, persediaan susui dan tancho kosong.

Di kolamnya koi-koi lokal Soegianto tumbuh mempesona, tak kalah dengan koi impor. Rahasia dibalik itu berkutat di seputar pemberian pakan, perlakuan air, dan kolam yang dalam. “Perawatan harus benarbenar sama dengan impor kalau ingin dapat koi sebanding kualitas impor,” ulangnya. Menurutnya kedalaman kolam minimal 2 m, karena koi impor pun tak akan tumbuh baik bila dipelihara di kolam dangkal.

Sayangnya, para pemilik koi lokal merawat dengan teknologi apa adanya sehingga hasilnya tak sebagus koi impor. Padahal, menurut Soegianto dengan koi lokal banyak rupiah yang bisa dihemat. Bayangkan untuk koi berukuran 18—20 cm kualitas kontes hanya perlu mengeluarkan Rp2-juta, sedangkan impor Rp15-juta atau paling murah Rp8-juta.

Soegianto kini tengah belajar menatap harapan baru. Pengorbanan cintanya pada koi melahirkan asa citra koi lokal akan terangkat. “Kalau bukan kita yang mengangkat nasib koi lokal, lalu siapa lagi?” ujarnya. Penanaman akan rasa cinta pada produk sendiri ini menurutnya akan berdampak positif bagi kehidupan petani koi selain juga hemat devisa negara. (Hanni Sofi a)

 

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Sukses Rehabilitasi Kakao: Suwardi Tingkatkan Panen hingga 200%

Trubus.id–Tanaman kakao milik pekebun di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Suwardi tumbuh subur dan berbatang kekar. Ia mengganti...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img