PT Royal Agro Indonesia
Memproduksi pestisida berkualitas tinggi dengan harga rasional untuk membantu petani Indonesia. Itu salah satu setrategi PT Royal Agro Indonesia.
Setiap hari lahir 80-juta bayi yang memerlukan makanan. Selain itu pangan untuk 40 tahun yang akan datang sama dengan jumlah pangan yang telah diproduksi 10.000 tahun sebelumnya. Itulah hasil riset Organisasi Pangan Sedunia (FAO). Namun, kini dunia justru kehilangan lahan pertanian seluas lapangan bola setiap detik. Celakanya produksi pangan terus menurun dalam lima dekade terakhir.

FAO menyebutkan pada 1960-an peningkatan produksti tanaman pangan rata-rata 2,2% kemudian anjlok menjadi 2% pada 1970, 1,7% (1980), 1,4% (1990), dan 1,2% (2000). Salah satu penyebab turunnya produktivitas tanaman adalah ancaman serangan hama dan penyakit. Ahli agronomi dan ilmu pangan dari Universitas Bonn, Jerman, EC Oerke, menyebutkan bahwa padi kehilangan hasil panen 51% jika petani tidak mengupayakan perlindungan tanaman.
Pasar besar
Adapun potensi kehilangan hasil panen pada tanaman jagung mencapai 54%, kentang (46%), dan kedelai (56%). Itulah sebabnya upaya perlindungan tanaman sangat penting agar produktivitas tanaman optimal. Itu pula yang mendorong PT Royal Agro Indonesia (RAI) berkiprah di industri pestisida. Perusahaan itu berafiliasi dengan perusahaan pestisida multinasional di India.

Perusahaan milik pemerintah Tiongkok berpendapatan US$45-miliar, China National Chemical Corporation (ChemChina), mengakuisisi perusahaan induk itu pada 2011. ChemChina yang menyerap 140.000 karyawan itu industri kimia terbesar di Negeri Tirai Bambu. Setahun berselang RAI mendaftarkan beberapa produk pestisida ke Komisi Pestisida Kementerian Pertanian dan mengangkat chief executive officer (CEO) asal Indonesia.
“Saya adalah CEO ketiga yang menjabat,” ujar Presiden Direktur PT Royal Agro Indonesia, Final Prajnanta. Pada 2014 ChemChina mengubah nama perusahaan induk, menjadi Adama Agricultural Solution Ltd. “Tapi untuk di Indonesia nama perusahaan tidak berubah, hanya nama pemilik yang berubah,” ujar Final. Produk Adama tersebar di 120 negara dan memiliki kantor perwakilan di 50 negara, salah satunya di Indonesia.
Menurut Final saat didirikan pemilik RAI melihat Indonesia merupakan pasar yang besar untuk pestisida. Meski sebetulnya pasar pestisida di tanahair sejatinya mengalami pasang-surut. Contohnya pada 2015 Indonesia mengalami gejala alam el nino yang menyebabkan kemarau panjang. Akibatnya sentra-sentra pertanian di Indonesia banyak yang kekeringan sehingga banyak petani tak bisa menanam.

Kondisi itu berdampak pada permintaan pasar pestisida tanahair. “Penjualan pestisida di tanahair turun hingga 16—20%,” tutur Final. Kondisi alam itu tak hanya berdampak pada industri pestisida, tapi juga industri benih dan pupuk. Persaingan pasar pestisida di tanahair juga tergolong sengit. Apalagi kini pasar pestisida dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar yang juga merajai pasar pestisida dunia.
Mereka sudah beroperasi di Indonesia hingga 40—50 tahun. Namun, hal itu tak menyurutkan PT Royal Agro Indonesia untuk berlaga di pasar pestisida di Indonesia. “Kami melihat masih ada ceruk pasar yang belum digarap perusahaan-perusahaan besar,” tutur Final yang sudah berpengalaman 16 tahun di industri pestisida tanahair. Produk berkualitas dengan harga rasional menjadi positioning PT RAI untuk mengambil bagian dalam pasar pestisida.
Menurut Final di pasaran ada pestisida berharga mahal, ada juga yang berharga generik sehingga sangat terjangkau. “Produk kami berada di tengah-tengah. Kami memproduksi pestisida berkualitas bagus, tapi harganya rasional sehingga sangat membantu petani,” kata alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman itu.
Strategi pasar
Untuk mempertahankan harga tetap rasional, RAI melakukan berbagai strategi, seperti menyederhanakan rantai pemasaran. RAI hanya mendistribusikan produknya sampai dengan dealer atau distributor di tingkat provinsi dan kabupaten atau kota yang menjadi penyalur perusahaan-perusahan pestisida lain. Distributor itu yang akan menjangkau para pengecer.
“Dealer tingkat provinsi biasanya memiliki skala usaha yang sudah mapan sehingga risiko masalah pembayaran ke perusahaan dapat diminimalisir,” tutur Final. Meski demikian RAI tetap membantu para agen untuk promosi ke petani dengan pendampingan dalam upaya perlindungan tanaman dan percobaan-percobaan melalui plot demonstrasi (demplot). Itulah sebabnya RAI memilih sumber daya manusia yang militan, muda, dan berpengalaman.

Petani terlarang membeli pestisida langsung kepada para tenaga lapangan RAI. “Pembelian produk kami arahkan ke para agen. Dengan begitu para agen senang karena jualannya laku. Jadi win-win solution,” ujar Final. Strategi lain dengan memodifikasi rantai produksi. PT RAI mendatangkan bahan aktif dari beberapa pabrik Adama seperti di Meksiko, Kolumbia, dan Tiongkok dalam bentuk curah.
Ketika bahan itu sampai di tanahair, RAI mengemas bahan aktif dalam kemasan siap jual. “Bahan aktif sudah terdaftar dan mendapat izin dari Komisi Pestisida Kementerian Pertanian yang diuji 2—3 tahun sebelumnya,” ujar Final. Menurut Final model produksi seperti itu jauh lebih efisien bila dibandingkan dengan mengimpor langsung pestisida dalam kemasan siap jual.
“Apalagi dalam waktu dekat pemerintah mengeluarkan regulasi bahwa perusahaan multinasional wajib memiliki aktivitas produksi di Indonesia. Saya sangat setuju karena akan membuka lapangan kerja di tanahair,” tutur Final. Pada masa mendatang harga produk lebih terjangkau karena untuk kawasan Asia-Pasifik Adama berencana memusatkan produksi di Tiongkok.
Dengan begitu jarak distribusi ke Indonesia lebih pendek sehingga distribusi lebih cepat dan hemat biaya. “Sebelumnya jika memesan bahan aktif ke pabrik di Meksiko baru dikirim setelah 4 bulan. Jika lokasi pabrik di Tiongkok dalam sebulan sudah sampai di Indonesia,” kata Final. Saat ini pembangunan dan modernisasi pabrik di Tiongkok sedang berjalan. “Kemungkinan akhir 2017 sudah berjalan,” kata Final.
Produk unggulan

Strategi lain adalah fokus pada produk yang menjadi unggulan. Menurut Final hingga kini 30 merek pestisida produksi Royal Agro Indonesia yang terdaftar di Komisi Pestisida. “Namun, dari merek sebanyak itu nantinya mungkin hanya fokus pada 10 merek yang benar-benar diminati pasar,” ujar Final. Produk yang menjadi andalan RAI adalah fungisida dan herbisida. “Kedua jenis pestisida itu adalah core competency kami,” kata Final.
Final menduga pasar fungisida dan herbisida bukan menjadi bidikan utama perusahaan-perusahaan pestisida besar di Indonesia. “Celah itulah yang kita manfaatkan,” ujarnya. Menurut Final biasanya perusahaan pestisida yang baru muncul di tanahair akan “meniru” jenis produk perusahaan lain. Ia menghindari strategi seperti itu. “Jika seperti itu yang terjadi pertarungan produk di pasaran,” kata Final.
Pria 49 tahun itu mengatakan, “Untuk memenangkan pertarungan itu mereka beradu diskon, banting harga, dan cara lainnya.” Final hanya fokus mengembangkan pasar pestisida yang bahan aktifnya memiliki keunggulan unik yang diminati pasar. Sementara ini RAI baru fokus memasarkan produk di Pulau Jawa dan Sumatera Utara. “Kami bergerak dari awal sehingga kapasitas produksinya masih jauh dibandingkan dengan perusahaan lain yang berskala besar dan sudah lama di Indonesia,” ujar Final.
Meski demikian menurut Final pasar di kedua kawasan itu mencapai 70% dari total pasar nasional. “Daripada kita mengembangkan produk di Pulau Kalimantan, misalnya, kita tidak mendapatkan apa-apa,” kata Final. Di luar kawasan itu RAI juga tengah mengembangkan pasar untuk perkebunan tebu di Provinsi Lampung. “Produk herbisida kami memimpin pasar untuk perkebunan tebu di sana,” ujar pria pehobi jalan-jalan itu.
Pemasaran pestisida produksi RAI juga menyasar sentra-sentra komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti cabai, bawang merah, dan kentang. Oleh karena itu para petani ketiga komoditas itu benar-benar menerapkan upaya perlindungan tanaman. Meski menjadi beban biaya produksi, dari segi harga pekebun masih bisa meraup laba. “Kalau nilai ekonomi komoditasnya rendah, biasanya petani enggan merawat tanamannya secara intensif,” ujar Final.
Berbagai strategi dan kerja sama tim yang militan itu membuahkan hasil. “Laba perusahaan pada 2015 naik dua kali lipat dibandingkan dengan pada 2014,” ujar Final. Perusahaan yang didirikan pada Juli 2010 itu juga sukses meraih penghargaan dari Majalah Indonesian Inspire pada ajang Indonesian Creativity and Best Leader Award sebagai The Best Trusted Agricultural Company of The Year selama 3 kali berturut-turut, yaitu pada 2014, 2015, dan 2016. (Imam Wiguna)