Menikmati rambutan “bebas hambatan” karena tak berbiji.
Subandi memetik beberapa tangkai buah rambutan dan menyajikan di atas meja. Satu tangkai yang panjangnya hingga 30-an sentimeter itu digelayuti 8—30 buah. Bentuk buah bulat lonjong. Panjang 4,5—4,7 cm dan lebar 3,3—3,5 cm. Ukurannya relatif kecil, bobot hanya 20—35 gram per buah. Sosok merah menyala itu mengundang selera. Kulitnya tipis hanya 2—3 mm sehingga cukup mudah dibuka.
Begitu tersingkap, tampaklah daging buah yang putih bersih. Ketika digigit, daging rambutan itu langsung terbelah, tanpa halangan biji. Kulit ari di bagian tengah pun relatif tipis. Rasanya manis dengan tingkat kemanisan lebih dari 100 briks. Rasanya menyegarkan karena kandungan air cukup banyak, sekitar 78%. Buah demi buah pun saya nikmati, dan tidak satu pun yang berbiji.
Produktif
Sosok tanpa biji itu adalah rambutan taji yang tumbuh di halaman rumah Subandi di Desa Binusan, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Keberadaan rambutan tanpa biji terbilang langka. Sebab, lazimnya buah rambutan berbiji. Jika menjumpai rambutan tanpa biji, itu pun hanya satu atau dua buah di antara satu dompolan. Biasanya buah itu berbentuk gepeng. Setelah kulit dibuka, terlihat daging buah agak keriput dan bijinya kempis atau sangat kecil.
Rambutan di kebun Subandi semuanya memang tak berbiji. Pada Agustus 2014 pohon rambutan itu bagai berselimut merah. Dompolan buah ranum menyelimuti sekujur tajuk tanaman anggota famili Sapindaceae itu. Pohonnya pun genjah, berbuah perdana pada umur 3 tahunan dari bibit asal cangkok. Selain itu pohon rambutan taji itu produktif. Subandi mampu panen sampai 300 kg per pohon berumur 7 tahun.
Ia menjual di pasar lokal di Nunukan Rp15.000—Rp20.000 per kilogram. “Minggu ini kami sudah panen sekitar 2 kuintal,” kata Subandi mengawali perbincangan di bawah pohon rambutan taji. Tanpa biji bukan satu-satunya kelebihan rambutan taji. Keunggulan lain rambutan taji adalah tak menyebabkan batuk walau dikonsumsi dalam jumlah banyak.
Subandi membeli bibit rambutan taji di sebuah pasar di Nunukan pada 2007. Semula ia ragu bahwa pohon menghasilkan buah tanpa biji sebagaimana penuturan penjual bibit. Namun, karena penasaran ia tetap membeli kedua bibit kerabat cengkih itu. “Hitung-hitung menambah koleksi tanaman di rumah,” kata pehobi tanaman buah itu. Ia menanaam sebuah bibit di kebun. Sementara sebuah bibit lagi dibawa kawan sesama kolektor tanaman.
Sekilas penampilan taji tidak berbeda dengan Nephelium lappeceum pada umumnya. Tingginya 7 m dengan lingkar batang 67 cm, tajuk berbentuk payung dengan percabangan mendatar selebar 7—8 m. Namun, bila diamati lebih saksama, rambutan taji berciri khusus. Daunnya sepanjang 18—21 cm dan lebar 7,5—9 cm, lebih besar daripada rata-rata daun rambutan binjai atau lebak bulus. Ukurannya itu mendekati daun rambutan rapiah. Yang paling mencolok ialah ukuran tangkai buah yang mencapai 31 cm.
Meluas
Melihat potensi tinggi itu, Subandi berusaha mengembangkan taji sebagai tanaman unggulan Kabupaten Nunukan. Ia memperbanyak taji di kebunnya sehingga kini mencapai 20 pohon dewasa dan berbuah. Subandi juga mengajak beberapa petani untuk menanam di kebun masing-masing. Sejak 2009 hingga kini, 27 petani di Nunukan menanam 914 pohon taji. Sebanyak 700 pohon di antaranya berbuah tahun ini. Umumnya wilayah itu berada di dataran rendah.
Pemerintah Kabupaten Nunukan, BPSB Kalimantan Timur, dan Universitas Mulawarman mendukung misi Subandi mengembangkan taji. Pemerintah akan mendistribusikan 1.000 bibit kepada warga Kabupaten Nunukan pada 2015. Saat ini Balai Penelitian Buah (Balitbu) Tropika dan beberapa instansi terkait sedang melaksanakan proses pendaftaran rambutan itu ke Pusat Perlindungan Tanaman dan Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Kementerian Pertanian RI.
“Dengan demikian bibit atau tanaman taji dapat berkembang secara legal ke luar Kabupaten Nunukan,” ujar Subandi. Bukan hanya pengembangan jumlah pohon yang dilakukan Subandi, tetapi juga aspek pemasaran. Bila produksi rata-rata 300 kg per pohon berumur 7—8 tahun, maka dari 700 pohon yang berbuah, akan dihasilkan 210 ton per musim panen.
Volume produksi itu terus meningkat seiring bertambahnya umur tanaman, ukuran tajuk, dan penanaman baru yang terus dilakukan. Buah sebanyak itu, tidak akan habis dipasarkan lokal sehingga perlu ke daerah lain seperti Surabaya dan Jakarta. Karena menyadari adanya kendala transportasi dan daya tahan buah yang singkat, Subandi menawarkan kerja sama pemasaran rambutan tanpa biji itu baik buah segar maupun olahan. (Panca Jarot Santoso, periset di Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Badan Litbang, Kementerian Pertanian)
>