Banyak pekebun membelah benih dan menanamnya hingga beberapa turunan. Akibatnya, produksi turun,13—15 ton dari sebelumnya 20 ton/ha.
Kondisi itu berdampak pada kebutuhan kentang industri Indonesia yang cukup tinggi. Budi Priyanto, direktur PT Tani Unggul Nusantara (Tunas), importir kentang di Bogor, menyebutkan, sekitar 20.000 ton/ tahun kentang atlantik diserap industri olahan makanan. Seperti PT Indofood dan PT Siantar Top. Itu belum termasuk restoran waralaba yang semakin marak. Sebanyak 27.000 ton/tahun french fries setengah matang atau 50.000 ton bahan mentah diimpor untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Produksi nasional hanya 12.000 ton/ tahun, paling banter memenuhi 60% dari kebutuhan atlantik. Malah, kebutuhan kentang french fries seluruhnya masih impor. Kebutuhan kentang industri itu memang tidak bisa digantikan dengan varietas lain seperti granola. Kadar air granola lebih tinggi, sehingga tidak bisa kering ketika digoreng. Berbeda dengan atlantik yang tetap renyah walaupun kemasan sudah terbuka. Kelebihan lain, atlantik tidak cepat gosong karena kadar gula lebih rendah.
Benih langka
Saat ini produksi kentang industri Indonesia masih sangat tergantung pada benih impor. Menurut Budi, total impor benih Indonesia mencapai 1.400 ton pada 2003. Jumlah itu belum cukup. Untuk memenuhi pesanan pekebun Jawa Barat saja, PT Mandiri Alam Lestari (MAL), importir benih di Jakarta Selatan mendapat pesanan 400—600 ton/tahun. Namun, ia baru bisa merealisasikan 325 ton/tahun.
Dampaknya pekebun kesulitan mendapat pasokan benih. Kelangkaan benih terjadi karena prosedur impor baru dikeluarkan Badan Karantina Pertanian pada Agustus 2003. Importir kini harus menyertakan kajian analisis resiko organisme pengganggu tanaman lengkap dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dari negara asal.
Keluarnya peraturan itu karena mewabahnya serangan nematoda sista kuning Globodera rostochiensis di beberapa sentra. Tanaman yang terserang, awalnya tampak layu, daunnya menguning yang berlanjut mengering dan akhirnya tanaman mati. Serangan ini dapat menurunkan hasil panen jadi 6—8 ton dari kondisi normal yang bisa mencapai 25 ton. Karena itu di kalangan pekebun, golden cystnematode paling ditakuti.
Karena prosedur lebih rumit, importir jadi lebih berhati-hati. Tahun ini sedikit importir yang sudah memasukkan benih ke Indonesia. Tunas baru mendatangkan 8 ton. “Itu pun hanya untuk riset, untuk pekabun sementara belum ada,” kata Budi. Namun, ia tetap berusaha mengimpor, dengan target 400 ton untuk tahun ini.
MAL juga tengah menunggu 2 kontainer benih yang tengah berlayar dari Skotlandia. “Mudah-mudahan Maret tiba,” tutur Rahmad Mudjiono—dari MAL. Saking hati-hatinya ia harus berkunjung ke sana untuk menyeleksi benih.
Potong umbi
Kelangkaan benih itulah yang membuat Januar membelah umbi untuk dijadikan bibit. Dengan cara itu ia menghemat benih 50%. Kebutuhan benih kentang per ha sekitar 2 ton. Risikonya produktivitas menurun,16—18 ton/ha. Jika menggunakan benih impor bisa mencapai 20 ton/ha. Hasil riset Tunas menunjukkan, produktivitas benih potongan menurun 12% dari benih impor.
Asep Rahmat, pekebun di Ciwidey, Jawa Barat, malah menggunakan benih turunan. “Membagi umbi bukan pekerjaan mudah. Bila tidak, umbi gagal tumbuh,” tutur pemilik PD Kancil Mas itu. Ia menyisakan 20% dari hasil panen yang tidak masuk sortir digunakaan untuk benih.
Awalnya benih turunan itu masih menghasilkan 20 ton/ha, tapi ukuran umbi lebih kecil. Pada periode penanaman selanjutnya, produktivitas menurun, 13—15 ton/ha.
Bakal melonjak
Meski kesulitan benih, masih banyak pekebun yang bertahan dengan atlantik. Karena keuntungan yang diperoleh lebih tinggi. Saat ini pekebun di Ciwidey telah terikat kontrak dengan Indofood. Mereka menerima Rp3.750/kg. Produktivitas atlantik rata-rata 18 ton/ha. Dengan biaya produksi sekitar Rp36-juta/ha, setidaknya Januar bisa mengantongi laba Rp18-juta/ha dari total pendapatan Rp54-juta/ha. “Meskipun produktivitas granola bisa mencapai 25 ton/ha, tapi saat ini harganya hanya Rp1.500/kg,” tuturnya.
H Koesnan, pekebun di Tosari, Pasuruan, juga mengaku untung menanam atlntik. “Kontrak jangka panjang dengan Indofood membuat harga lebih stabil,” papar importir benih asal Pemberton, Australia, itu. Setahun ini harga Indofood untuk sekilo kentang dari lereng Bromo itu berkisar Rp3.000— Rp3.200.
Karena keuntungan itulah, kini minat pekebun di wilayah itu mengembangkan atlantik makin meningkat. Kalau semula petani binaan Koesnan hanya tersebar di Kecamatan Tosari dan Puspo, Kabupaten Pasuruan, kini meluas ke Probolinggo. “Saat ini kebutuhan benih saya meningkat menjadi 100 ton/tahun,” paparnya.
Memang Budi memprediksikan harga benih melonjak. Alasan prosedur baru karantina membuat biaya impor benih lebih tinggi. Selain itu kurs dolar Australia maupun Euro menguat. Stok benih di negara pengekspor seperti Australia Barat berkurang. Harga benih bervariasi berkisar Rp8.500—Rp12.000/kg berisi 8—20 umbi. Tahun ini, alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu memperkirakan harga benih terendah mungkin Rp9.500/kg.
“Dalam waktu dekat mungkin ada kelangkaan, tapi untuk jangka panjang tertutupi. Saat ini pengusaha benih kentang di Indonesia sedang bersiap,” tutur Elda Adiningrat—ketua Asosiasi Benih Indonesia
Tunas mulai mencium peluang itu. Saat ini pihaknya baru menyiapkan diri memproduksi benih kentang, industri yang pernah dilakoni pada 1996—1998. “Sebenarnya benih produksi sendiri lebih sesuai untuk ditanam di Indonesia, karena tidak membutuhkan aklimatisasi lagi. Sedangkan benih impor, perlu penyesuaian dengan iklim yang berbeda dari negeri asalnya,” ujar Budi. (Astutiningsih/Peliput: Sardi Duryatmo & Fendy R. 1 Paimin)